"Aku tidak bisa mencintainya, karena sejak awal hatiku tidak memilihnya. Semua berjalan karena paksaan, surat wasiat ayah, janji ayah yang harus aku penuhi."
"Semua yang terjadi bukan atas kemaunku sendiri!"
"Dengarkan aku, Roselyn... hanya kamu yang mampu membuatku merasakan cinta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qireikharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Jaga Jarak.
Sejak gosip menyebar di kampus, Roselyn berusaha menjaga jarak dari Jayden, Ia selalu mengabaikan perintahnya untuk masuk ke dalam ruangan dosen, saat berpapasan pun di lorong kampus ia tak pernah menoleh pada Jayden, justru melangkah dengan cepat meninggalkannya terlebih dulu, bahkan saat pulang pun ia buru-buru agar tidak bertemu dengannya di parkiran kampus.
Semua mahasiswa duduk rapi dengan pandangan mengarah ke papan tulis. Jayden membahas materi tentang dialog dalam naskah novel klasik Prancis.
Semua mata tertuju kearahnya, kecuali Roselyn yang tak mau berpandangan dengannya. Ia sungguh tak nyaman sekaligus takut jika hatinya goyah dan berdebar bila melihat tatapan matanya yang sarat obsesi terhadapnya.
"Saya akan membahas naskah salah satu novel klasik Prancis dan akan berdialog dengan kalian, satu persatu akan saya panggil ke depan," ucapnya tegas namun tenang.
"Roselyn, kamu yang pertama maju ke depan." Roselyn menarik napasnya dalam, hatinya berdebar sekaligus gelisah. Semua mahasiswa saling berpandangan.
Roselyn berpikir pasti mereka tambah curiga ditengah kabar gosipnya yang ramai saat ini, dengan berani dan tatapan tegas, ia mengangkat kepalanya dengan tenang seolah tak peduli lagi soal gosip yang beredar.
"Kenapa harus aku dulu Pak?," tanyanya kesal. Jayden tersenyum tipis.
"Karna kamu yang paling lancar berbahasa Prancis," jawabnya singkat. Roselyn dengan malas beranjak dari tempat duduknya.
Roselyn sudah berdiri tepat di hadapan Jayden, wajah Roselyn tegang, menahan debaran di dadanya, sementara Jayden berdiri dengan tenang wajahnya dingin dan datar memperhatikan Roselyn. Jayden tersenyum sekilas sebelum memulai percakapan.
"Ok, Roselyn santai, kamu terlihat tegang," Jayden sengaja ingin membuatnya semakin tak nyaman. Roselyn mendelikan matanya sinis. Namun Jayden justru senang melihat Roselyn kesal seperti itu.
FiFi dan teman-temannya memperhatikan mereka berdua dengan menahan tawa. "Semangat Roselyn, kamu pasti bisa," ujar Fifi. Roselyn tersenyum tipis ke arah teman-temannya.
"Roselyn, di dalam cerita novel ini ada sebuah percakapan antara si pria dan wanita yang sangat bagus, jawaban kamu harus sesuai dengan karakter wanita yang ada di cerita, ok?." ucap Jayden panjang lebar seolah memperlambat waktu sedangkan Roselyn hanya menatapnya dingin, berusaha menutupi kegelisahan yang merayap dihatinya.
"Kamu baca teks nya dulu, jawaban kamu harus sama percis seperti yang ada di novel itu," lanjut Jayden dengan tersenyum penuh arti.
Roselyn mengambil novel yang diberikan Jayden kepadanya, lalu dengan perlahan mulai membuka halaman dan membacanya baris demi baris teks yang tertera di novel tersebut.
Seketika tangannya mulai gemetar dan jantungnya berdetak kencang. Kata-kata dalam dialog tersebut bukan hanya percakapan biasa melainkan sebuah pengakuan cinta yang begitu dalam dari seorang pria kepada wanita.
“Ini, maksudnya apa sih? batinnya. Lalu mengalihkan pandangannya pada Jayden yang sedang berdiri tenang menatapnya.
Roselyn merasakan dadanya berdebar lagi seolah setiap baris kalimat yang dibacanya mengungkap perasaan jayden, seakan Roselyn tengah ditekan untuk merespon sebuah pernyataan cinta yang bukan hanya bagian dari novel saja.
“Apa amarahnya belum reda? Apa dia akan menghukumku seperti ini?” bukankah ini semakin membuktikan gosip itu benar,” umpatnya kesal dalam hati sambil menarik napasnya dalam.
“Bagaimana, Roselyn?” suara Jayden terdengar lembut, tapi sarat tekanan.
Suasana ruangan kelas hening, teman-temannya sedang memperhatikan ke arah Roselyn menunggunya memulai percakapan, sementara hatinya merasa gelisah dan bingung, ia tersenyum tenang tanpa ragu. Hingga akhirnya Roselyn benar-benar pasrah dan siap untuk memulai percakapan.
Jayden bersiap untuk mengucapkan dialog dalam novel itu, ia terlihat begitu tenang, menatap mata Roselyn begitu lekat, lalu dengan suara lantang berbicara sesuai kalimat dari novel itu, ia mewakili sang tokoh pria.
“Depuis le premier jour où je t'ai vu, mon cœur n'a jamais cessé de battre pour toi. Tu es peut-être le destin de Dieu, créé pour moi. Tu es mon souffle, et sans toi, je suis faible et impuissant. Seras-tu le seul dans ma vie ? À mes côtés ?
"Sejak pertama kali melihatmu, jantungku tak henti berdetak untukmu. Mungkin kau takdir Tuhan, diciptakan untukku. Kau napasku, dan tanpamu, aku lemah dan tak berdaya. Maukah kau menjadi satu-satunya dalam hidupku? Di sisiku?”
Seisi kelas terdiam, teman-temannya saling pandang diiringi bisik-bisik halus yang tak jelas. Fifi dan Reina langsung saling sikut, mereka membelalakan matanya terkejut sambil menahan tawa. Clara tak kalah terkejut matanya membelalak, lalu saling pandang dengan Alisya yang sama masih dengan ekspresi terkejut. Semua tatapan mahasiswa kini tertuju pada Roselyn.
Roselyn menarik napasnya dalam, menenangkan debaran yang menderu dalam dadanya, pipinya bersemu merah, ia merasa malu dan gelisah sehingga sedikit menundukan kepalanya.
"Ayo jawab," lanjut Jayden dengan tenang. Ia tidak memperdulikan mahasiswa lain yang berbisik membicarakannya.
"Pak Jayden! Kamu benar-benar menyebalkan," gumamnya dalam hati sedangkan Jayden seolah menikmati situasi saat ini.
Roselyn terdiam dengan perasaan ragu sebelum mengucapkan kalimat jawaban, lalu ia tiba-tiba memberanikan dirinya.
"Tes mots me mettent mal à l'aise... mais au fond, je ressens la même chose. Oui, Je veux être celui qui partage ton amour avec toi. Je suis prêt à être ton amant.
"Kata-katamu membuatku tak nyaman, tapi jauh di lubuk hatiku, aku juga merasakan hal yang sama. Ya, aku ingin menjadi orang yang berbagi cinta denganmu. Aku siap menjadi kekasihmu."
Begitu kalimat itu terucap dari mulut Roselyn, ruangan kelas langsung riuh oleh suara teman-temannya. Ada yang tertawa, ada yang bersorak pelan, bahkan ada yang bertepuk tangan.
“Ehem, kayanya itu Pak Jayden lagi nyatain perasaannya deh, ke Roselyn.” ucap Fifi dengan nada menggoda, menahan tawa.
Jayden hanya terdiam tak menanggapi namun ekspresinya seolah tak membantah perkataan Fifi.
Clara menambahkan sambil tertawa “Aduh, kayak adegan drama romantis nih antara Dosen dan mahasiswinya.”
“Cieeee,” teriak mahasiswa yang lain, saling tatap.
Roselyn salah tingkah mendengar godaan dari teman-temannya, ia langsung menunduk, wajahnya terasa panas berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia sadar bahwa tadi bukan sekadar dialog novel, tapi pernyataan hati Jayden, ia benar-benar menatapnya seperti pria yang menyatakan cinta pada seorang wanita.
Namun tiba-tiba ponsel Jayden bergetar, seseorang tengah menghubunginya, sebelum mengangkat ponselnya, ia tersenyum tipis ke arah Roselyn dan berkata datar, “Bagus Roselyn, kamu menghayati peranmu, silahkan duduk kembali.”
Roselyn mengernyitkan dahinya mendengar ucapan itu ia mendesah dengan raut wajah kesal, "Bukankah dia yang begitu menghayati," gumamnya pelan.
Roselyn berjalan dengan langkah cepat menuju tempat duduknya, dan mendesah sebal pada teman-temannya, sedangkan Jayden berjalan keluar ruangan kelas untuk mengangkat teleponnya.
“Guys, cuma dialog dalam naskah novel, oke. Jangan membuat gosip lagi,” tegas Roselyn sebelum kembali duduk, ia menarik napasnya panjang, dan memilih tak peduli jika membuat semua orang makin curiga kepadanya.
“Lyn, Pak Jayden suka kamu deh kayanya, lihat aja ekspresinya tadi seolah dia nyatain cintanya ke kamu,” bisik Clara tersenyum menggoda Roselyn.
“Apaan sih! Cla. Engga ah cuma perasaan kamu aja. Biasa aja ah, sudah kubilang hanya dialog dalam novel,” tegas Roselyn dengan wajah malas dan memilih untuk diam, meskipun hatinya menyadari apa yang diucapkan Clara memang benar.
Fifi, Reina dan Alisya saling tersenyum, menahan tawa melihat wajah Roselyn memerah yang tidak bisa disembunyikan lagi.
“Roselyn wajah kamu merah tuh,” celetuk Fifi masih bercanda, mengarahkan wajahnya ke Roselyn yang sedang diam tak menanggapi.
Clara memberi kode pada teman-temannya untuk diam tak menggoda Roselyn lagi, ia terlihat kesal bibirnya cemberut dan fokus pada buku diatas meja.
“Jangan dianggap serius, Lyn. Mereka hanya bercanda, ko,” gumam Clara sambil tersenyum tipis.
“Kesel ah,” desisnya. Tak lama kemudian Jayden kembali melangkah ke ruang kelas. Semua mahasiswa terdiam dan memperhatikan ke arahnya.
“Saya akhiri kelas lebih awal, ada sesuatu yang penting harus saya kerjakan. Kalian kerjakan saja tugasnya, analisis morfologi dalam novel itu, nanti kumpulkan di ruangan saya,” ucapnya dengan tegas.
Jayden beranjak dari kursinya, namun sebelum melangkah pergi ia menatap ke arah Roselyn yang juga sedang memperhatikannya, mereka berdua beradu tatap, Jayden sekilas tersenyum tipis, lalu berbalik berjalan meninggalkan kelas.
Roselyn masih terpaku di tempat duduknya, dadanya berdebar kencang, setelah Jayden tersenyum ke arahnya. Dalam hatinya Roselyn bergumam,”tumben sekali, mau kemana sih dia!” gumamnya tanpa sadar penasaran.
Clara menyenggol lengan Roselyn pelan, memperhatikannya sedang melamun, “Lyn, jangan bilang kamu baper, barusan Pak Jayden tersenyum ke kamu?” bisiknya sambil terkekeh.
Roselyn tersentak, lalu menghela napas panjang, mencoba menutupi rona merah di pipinya. “Ah! jangan ngomong yang aneh-aneh Clara,” jawabnya datar, meskipun dalam hatinya ada perasaan tak rela yang terlintas ketika Jayden pergi meninggalkan kelas.
Lanjut Part 17》