Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.
Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.
Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.
Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 — Ciuman Tidak Terduga
Wajah Nerios semakin dekat, hingga akhirnya bibirnya menyentuh lembut bibir Camelia. Awalnya hanya sebuah sentuhan ringan, seolah ia takut membuat wanita itu menolak. Namun, detik berikutnya ciuman itu semakin dalam. Bibir Nerios menekan pelan, lalu memberi celah yang membuatnya bisa mencuri lebih banyak.
Camelia sempat menahan napas, jantungnya berdegup tak karuan. Tapi ketika Nerios menggerakkan bibirnya dengan penuh kesabaran, ia justru terbawa oleh arus, membiarkan tubuhnya larut.
“Nerios …” desis Camelia tertahan, hampir tak terdengar karena bibir mereka masih bersatu.
Nerios menarik bibirnya sejenak, menatap Camelia dengan pandangan yang dalam dan gelap. Napasnya memburu, suaranya rendah penuh hasrat. “Jangan melawan, cukup biarkan aku merasakanmu. Hanya sebentar …”
Celah kecil di antara bibir mereka membuat Nerios berani melangkah lebih jauh. Lidahnya menyapu lembut bibir Camelia, meminta izin. Wanita itu bergetar, namun bukannya menjauh, ia justru membalas dengan hati-hati. Lidah mereka akhirnya bersentuhan, saling menari perlahan, penuh kehangatan sekaligus gairah yang tak bisa dibendung.
Nerios tak lagi memberi kesempatan bagi Camelia untuk bernapas tenang. Bibirnya menuntut, mencumbu dengan rakus, membuat Camelia terhuyung hingga akhirnya ia terjepit di sandaran sofa. Tubuh pria itu menunduk, menekan lembut namun tegas, seakan ingin menegaskan siapa penguasa di antara mereka.
Napas mereka tercampur, hangat dan berat, membuat udara di sekitar terasa semakin tipis. Nerios menahan tengkuk Camelia agar ia tidak menjauh, sementara tangannya yang lain menggenggam erat jemari wanita itu. Camelia sendiri tidak tahu bagaimana harus bereaksi, ia hanya mengikuti ritme, meski wajahnya memanas dan tubuhnya lemas dalam genggaman pria itu.
“Nerios ... hentikan …” Camelia berusaha bicara, tapi suaranya tenggelam dalam desahan yang pecah di antara ciuman panjang. Tangannya mendorong dada bidang pria itu, tapi Nerios lebih cepat, menggenggam pergelangan tangannya dan menahannya di sisi tubuhnya.
“Jangan katakan hentikan, aku tak sanggup melepaskanmu,” gumamnya dengan suara rendah yang bergetar. Ia mencium lagi, kali ini lebih dalam, seolah ingin menghapus semua penolakan yang tersisa.
French kiss itu bukan sekadar ciuman. Ada hasrat, ada pengakuan, ada janji tak terucap. Nerios menyalurkan semua cintanya, sementara Camelia tanpa sadar mulai membalas, meski dengan keraguan.
Tepat ketika suasana semakin intens, suara ketukan pintu dari luar membuat keduanya terhentak. Camelia sontak melepaskan diri, bibirnya masih terasa basah, napasnya terengah. Sedangkan Nerios hanya menghela panjang, menutup mata sejenak, berusaha menahan rasa frustrasi yang menumpuk karena interupsi itu.
“Nerios, kau di dalam?”
Suara Rayhan terdengar dari luar pintu, membuat Nerios langsung memaki kasar dalam hati. Sial! Kenapa dia harus datang sekarang? Bukankah siang tadi Rayhan sendiri sudah izin libur karena ingin menemani kekasihnya yang sedang tidak enak badan? Seharusnya pria itu masih bersama kekasihnya. Lagi pula, tidak ada pekerjaan mendesak yang membuatnya harus kembali ke kantor malam-malam begini.
“Sebentar!” sahut Nerios, suaranya cukup lantang, namun ada nada kesal yang samar.
Ia segera bangkit, merapikan kemejanya yang sedikit kusut akibat intensitas tadi. Matanya lalu jatuh pada Camelia yang masih duduk dengan napas yang belum sepenuhnya stabil. Wajah wanita itu memerah, bibirnya sedikit berkilat, jelas menunjukkan apa yang baru saja terjadi di antara mereka.
“Rapikan penampilanmu,” perintah Nerios dengan lembut, meski nadanya terdengar tegas. Jemarinya bahkan sempat menyentuh ujung rambut Camelia, membenarkannya sedikit agar terlihat lebih rapi.
Camelia hanya mengangguk kecil. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang masih terbakar, lalu buru-buru merapikan blusnya dan mengusap bibirnya dengan tangan, berusaha menghapus jejak yang terlalu mencolok. Nafasnya masih tersengal, ia mencoba menetralkannya agar tidak terlihat mencurigakan.
"Ayo, kita pulang sekarang ada yang—"
Ucapan Rayhan terhenti begitu menyadari wajah kesal Nerios, penampilan yang tidak begitu rapi, dan yang paling mencolok adalah bibir pria itu yang terlihat sedikit bengkak.
"Oho ..." Rayhan menyipitkan mata jahil, lalu mendorong pintu lebih lebar hingga melihat Camelia yang duduk di sofa dengan pipi merona dan rambut agak berantakan. "Apa aku mengganggu waktumu?" tanyanya dengan senyum geli.
Camelia buru-buru menunduk, sibuk merapikan penampilannya. Nerios mendelik tajam pada Rayhan. "Jika sudah tahu, maka tidak perlu bertanya lagi!"
Rayhan mengendikkan kedua bahunya tak acuh. "Mana aku tahu kalau kau sedang bermesraan, lain kali katakan dulu padaku."
"Tutup mulutmu. Sekarang katakan ada keperluan apa sampai kau kembali ke sini?!" Suara Nerios yang berat terdengar masih begitu kesal.
Ekspresi Rayhan perlahan sedikit berubah menjadi serius. "Kita tidak bisa membicarakannya di sini. Lebih baik kita ke rumahmu dan membicarakan ini di ruanganmu."
Nerios menghela napas, lalu berbalik pada Camelia. "Camelia, rapikan barang-barangmu sekarang. Kita akan pulang," ucapnya lembut, berbeda jauh dari nada dingin sebelumnya.
Rayhan terkekeh sambil melipat tangan di dada. "Lembut sekali cara berbicara orang yang habis berciuman."
"Diam kau!" bentak Nerios, membuat Camelia semakin menunduk dengan wajah memerah.
...———...
Ruang kerja Nerios terasa sunyi dan menegangkan. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, seolah menambah berat pada setiap kata yang keluar. Lampu meja yang redup membuat bayangan jatuh di wajah Nerios, mempertegas rahang tegangnya.
“Kalau begitu, kita dikhianati oleh orang dekat,” suara Nerios terdengar dalam, hampir seperti geraman. Tangannya menekan keras meja kayu mahoni di hadapannya. “Apa kau sudah punya dugaan?”
Rayhan menatapnya, sorot mata tajam tanpa keraguan. “Ada satu-dua nama yang mencurigakan. Tapi aku tidak mau asal bicara. Kalau salah langkah, kita justru akan memunculkan kepanikan.”
Nerios menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit hitamnya. “Aku sudah curiga sejak awal, mereka terlalu berani untuk menyerang dari luar. Menyusupkan orang ke dalam jauh lebih efektif.”
Rayhan mengangguk kecil. “Dan itu berhasil. Setidaknya sampai tahap ini.”
Hening kembali menguasai ruangan. Lalu Nerios bergumam lirih, tapi penuh ancaman, “Kalau benar ada pengkhianat, aku akan menemukannya. Dan saat aku menemukannya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.”
Rayhan melirik sekilas, lalu mengubah nada suaranya jadi lebih ringan, seakan ingin mencairkan suasana. “Kalau begitu, sepertinya malam ini kau harus mengurangi agenda romantismu. Kita punya musuh yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar rahasia cintamu dengan sekretaris pribadi.”
Tatapan Nerios langsung menusuk. “Rayhan…”
Rayhan hanya terkekeh kecil, mengangkat tangannya tanda bercanda. Namun, sesaat kemudian wajahnya kembali serius. “Aku tidak main-main, Nerios. Ini awal sabotase besar. Kalau kita terlambat, proyek bisa runtuh bahkan sebelum diluncurkan.”
Nerios menunduk, kembali meneliti kertas itu. Matanya berhenti pada kode kecil di pojok bawah. Rahangnya mengeras. “Divisi IT.”
Rayhan mengangguk cepat. “Aku kenal tulisan itu. Milik Ardan. Setengah tahun lalu dia kita pecat karena kasus pencurian. Tapi kalau jejaknya muncul di sini lagi ...”
Nerios menimpali, dingin dan penuh kalkulasi, “Maka ada orang dalam yang masih berhubungan dengannya. Tanpa itu, dia tidak mungkin bisa menyentuh dokumen internal lagi.”
Rayhan mengepalkan tangannya, matanya membara. “Kalau begitu, pengkhianat sebenarnya ada di lingkaran kita sendiri.”
Suasana ruang kerja kian berat. Nerios lalu bersuara tegas, seperti vonis akhir, “Tidak ada yang tahu soal ini dulu. Kita akan diam dan mengintai. Biarkan aku yang mengatur langkah selanjutnya. Aku ingin mereka merasa aman, sampai saatnya kita jebak.”
Bayangan lampu meja memantul di matanya yang berkilat. Dan Rayhan bisa melihat jelas, Nerios bukan hanya marah, dia sudah siap melawan siapa pun yang mencoba menjatuhkan usaha keluarganya.