"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Mantu Rahasia
Juli bersikeras agar hanya Rama yang menemaninya belanja, dan Ayu tak punya pilihan lain.
"Kalau gitu, kalian aja yang pergi. Rama, kamu masih ada uang, kan?" tanya Ayu sambil menatap Rama.
"Masih kok," jawab Rama santai. Terakhir kali Ayu memberinya uang beberapa juta, masih tersisa cukup banyak.
"Ya udah, lanjut aja. Kalau ada apa-apa, kabarin aku ya," kata Ayu lembut.
"Oke."
Rama mengangguk kecil.
"Mas ipar, ayo jalan!" seru Juli sambil menarik lengan Rama keluar dari rumah.
Ayu memperhatikan mereka yang pergi bareng, dan sekilas terlihat seperti pasangan pacaran.
Perasaan aneh langsung muncul di hati Ayu, sedikit gak nyaman, tapi dia mencoba gak mikir yang aneh-aneh.
Toh, Juli itu adiknya sendiri. Gak mungkinlah ada yang gak pantas antara mereka berdua.
Saat Ayu masih larut dalam pikirannya, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Halo, Bu? Ada apa?” tanya Ayu sambil mengerutkan kening.
“Ayu, cepetan pulang. Sepupu kamu dari luar kota udah sampai. Ayo cepet, kita harus ke rumah sekarang,” suara Bu Heni terdengar buru-buru.
“Ibu dan Ayah pulang dulu aja,” jawab Ayu.
“Gimana bisa? Sepupumu itu datang khusus buat ketemu kamu. Cepetan balik, kamu yang nyetir mobilnya.”
Bu Heni makin mendesak.
“Ya udah deh...”
Ayu akhirnya menyetujui dengan sedikit malas.
Sementara itu, Rama dan Juli sudah sampai di toko HP.
Seorang pegawai langsung menyambut mereka dengan ramah dan mulai menunjukkan berbagai pilihan handphone.
Tanpa basa-basi, Juli langsung nunjuk salah satu model terbaru.
“Mas Rama, menurutmu warna yang mana yang bagus?” tanya Juli sambil menoleh manja.
“Aku nggak tau warna favorit kamu. Pilih aja yang kamu suka,” jawab Rama santai.
“Aku pasti suka apa pun yang kamu pilih. Jadi bantuin dong, pilih yang terbaik,”
Juli merajuk sambil menggandeng lengan Rama erat-erat.
Pegawai toko di dekat mereka menahan tawa sambil menutup mulutnya, lalu bercanda, “Waduh, Mas, jadi pacar kok gak tau warna kesukaan ceweknya? Ayo dong, pilih warna yang cocok buat Mbaknya biar makin glowing.”
“Betul tuh! Betul banget!” kata Juli sambil meletakkan tangannya di pinggul. “Kamu tuh ya, gak becus jadi pacar!”
“Haha, ya udah, kalau gitu kamu gak usah dibeliin HP deh,” jawab Rama dengan senyum menggoda.
“Eh jangan dong, Mas ipar, aku ngaku salah!” Juli langsung mundur dan cengengesan.
Tapi pegawai toko yang tadi tiba-tiba bengong. Mas Ipar? Jadi si cowok ini beliin HP buat adik iparnya?
Hmmm… ini pasti ada cerita menarik di baliknya.
Tanpa sadar, mereka mulai berbisik-bisik sambil bergosip pelan.
“Tolong ambilkan yang warna putih keperakan,” kata Rama kepada pegawai toko itu.
“Baik, silakan tunggu sebentar ya, Mas,” jawab pegawai wanita itu sambil tersenyum, lalu segera pergi mengambil unitnya.
Tapi baru saja dia hendak membuka kotaknya, seorang pegawai pria berlari tergesa menghampiri.
"Mel, tunggu dulu sebentar!" serunya.
Meli pegawai wanita tadi menoleh bingung. “Indra, ada apa?”
Indra mendekat dan berbisik pelan, “Ada pelanggan di sana yang juga mau warna putih keperakan. Stoknya habis, dan harus nunggu dua hari. Tapi dia nawarin nambah delapan ratus ribu biar dikasih yang ada ini. Gimana kalau kita kasih ke dia aja?”
“Gak bisa!” Meli langsung menolak. “Yang ini udah dipesan sama Kakak ini dan adik ceweknya. Gak sopan kalau kita ubah begitu aja.”
Indra menarik napas panjang, lalu melangkah ke depan dan tersenyum ke Rama dan Juli.
“Maaf ya, Kak. Tapi sebenarnya warna rose gold, hitam, atau biru juga gak kalah keren loh. Gimana kalau diganti aja warnanya?”
Rama langsung menatap datar. “Kami maunya yang putih keperakan. Titik.”
Indra sempat terdiam sejenak, lalu menurunkan suara dan menawarkan, “Kalau Kakak mau ganti warna, saya kasih potongan tiga ratus ribu deh.”
Rama menyipitkan mata. “Terus kamu tetap dapet untung lima ratus?”
Indra tersenyum kaku. “Gak sebanyak itu, Kak. Lagian ini bukan soal uang. Yang mau HP itu teman saya. Namanya Rio. Dia cucunya Tuan Besar Adi.”
Nama Pak Adi memang cukup dikenal di Kota Dakarta. Orang-orang segan pada keluarga Hartono.
“Saya gak mau bikin masalah, Kak. Tapi saya yakin Kakak juga gak mau berselisih sama keluarga sebesar itu hanya karena ponsel, kan?”
Rama menyilangkan tangan. “Saya gak peduli Tuan Adi punya cucu. Tapi apapun itu, saya gak akan kasih barang ini ke orang lain. Masalahnya bukan di ‘siapa’, tapi di cara kalian main akal.”
Indra mulai merasa frustrasi, wajahnya mengeras. Ia segera berbalik dan mendekati seorang cowok muda yang duduk santai di sofa mewah di ujung toko.
Indra membisikkan sesuatu.
Cowok itu Rio melirik ke arah Rama dan Juli. Matanya langsung berubah dingin.
Ia berdiri, menyilangkan tangan dan berjalan mendekat, penuh percaya diri.
Dengan nada pelan tapi tajam, ia bicara ke Rama. “Dengar-dengar kamu gak menghormati kakekku?”
Rama hanya menoleh santai. “Kenapa aku harus hormat sama kakekmu? Kalau dia tahu cucunya Bawa nama keluarga demi rebutan HP, kayaknya dia bakal malu sendiri.”
Ekspresi Rio langsung berubah dingin. “Kalau gitu urusannya bukan soal HP lagi.”
Rama nyengir tipis. “Emang mau jadi apa? Mau adu mulut? Mau bawa geng?”
Rio mendekat, suaranya makin tajam. “Kau menghina keluargaku. Mulai sekarang, hidupmu di Kota Dakarta bakal serba susah. Jangan remehkan kekuatan keluarga Hartono.”
Rama tertawa kecil, dingin. “Wah, gak nyangka Tuan Adi punya cucu segoblok ini. Jadi penasaran… jangan-jangan kamu anak pungut?”
Rio mengerutkan dahi. “Kamu ini siapa, hah?”
Ternyata dugaan Rama benar.
Rio memang bukan cucu kandung Tuan Adi. Ia hanyalah anak yatim piatu yang diasuh dan dibesarkan oleh keluarga Hartono. Rahasia ini hanya diketahui oleh orang-orang dalam lingkaran inti keluarga Hartono.
Rama menatap Rio dengan tenang, lalu berkata, "Sepertinya dugaanku tidak meleset." Ia tersenyum tipis, penuh sindiran. "Rio, aku sarankan jangan sembarangan menggunakan nama besar Tuan Adi untuk kepentingan pribadi. Itu hanya akan merugikan dirimu sendiri."
Wajah Rio mengeras. "Kau pikir dirimu siapa, berani-beraninya menasehatiku? Kalau tidak pergi sekarang juga, jangan salahkan aku kalau aku patahkan kakimu," ucapnya sambil menunjuk tajam.
Nada suara Rio yang keras langsung menyita perhatian para pengunjung toko.
"Eh, ada keributan, tuh!" "Mereka gak sampai berkelahi, kan?"
Beberapa orang mulai mendekat, penasaran dengan apa yang terjadi. Sebagian pegawai tampak gugup, tapi tak satu pun berani ikut campur.
Rama mengerutkan kening, lalu berkata dengan suara yang tetap tenang namun tegas, "Rio, aku tidak peduli apakah kamu cucu kandung Tuan Adi atau bukan. Tapi demi menghormati beliau, aku tidak akan memperpanjang masalah ini."
"Soal ponsel, sudah jelas aturannya: siapa cepat, dia yang dapat. Kalau kamu memang menginginkan warna putih keperakan, silakan tunggu sampai stok baru datang."
Rio mencibir. "Siapa cepat? Aku datang ke toko ini lebih dulu dari kamu!"
Syut!
Tanpa aba-aba, Rio tiba-tiba mengayunkan tendangan ke arah Rama.
Plak! Namun Rama dengan mudah menghindar, dan dalam satu gerakan cepat, tamparan keras mendarat di pipi Rio.
Tamparan itu membuat tubuh Rio sedikit terputar, dan suasana toko langsung sunyi. Semua orang terpaku melihat kejadian itu.
Wajah Rio memerah, bukan hanya karena tamparan, tetapi karena amarah yang meledak-ledak. "Berani-beraninya kau menyentuhku! Ini sudah keterlaluan. Kau benar-benar tamat!"
Rama menatapnya tanpa gentar. "Kalau begitu, hubungi kakekmu sekarang juga. Aku ingin bicara dengannya."
Rio tampak ragu. "Apa kau serius?"
"Panggil saja," jawab Rama mantap.
Rio mengatupkan rahangnya. "Baik. Akan kuturuti permintaanmu. Tapi setelah ini, kau akan menyesal."
Ia segera mengeluarkan ponselnya dan mulai menekan nomor. Semua mata di dalam toko kini tertuju pada satu titik.
Beberapa pengunjung bahkan mulai merekam dengan ponsel mereka, menyadari bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah pertikaian besar yang tidak biasa.