**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. KARENA HANYA KAMU
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruang tamu itu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar perlahan, berpacu dengan detak jantung Nadra yang masih tak beraturan. Ia duduk membungkuk di atas sofa panjang, kedua lututnya ditekuk ke dada, seperti ingin melindungi diri dari dunia luar yang terasa begitu kejam malam ini.
Wajahnya pucat, mata beningnya berkaca-kaca, menatap hampa pada ruang di hadapannya. Bayangan Wiratama masih jelas tergambar di benaknya, sorot mata tajam, penuh kekuasaan dan penolakan. Wajah itu membuatnya merinding lebih dari siapapun yang pernah ia temui dalam hidup.
"Apa aku pantas bertahan?" pikirnya. "Apa aku memang seharusnya pergi sebelum lebih jauh jatuh?"
Namun di balik semua ketakutan itu, ada kehangatan lain yang sulit diabaikan. Rasa tenang ketika berada di sisi Agra. Rasa nyaman saat pria itu memandangnya seolah ia satu-satunya. Rasa yang perlahan berubah menjadi akar cinta.
Nadra nyaris terisak saat pikirannya kembali menumbuhkan harapan dan pada saat itulah, langkah kaki Agra terdengar. Ia kembali dari dapur, membawa segelas air hangat. "Ini, pelan-pelan saja ya." Suara Agra lembut, nyaris berbisik.
Ia berlutut di hadapan Nadra, mengulurkan gelas itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menyentuh lutut Nadra dengan ringan, isyarat bahwa ia ada di sini. Bahwa Nadra tidak sendirian.
Nadra menerima gelas itu dengan kedua tangan gemetar. Ia mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu. Air matanya nyaris tumpah. Bukan karena takut lagi, tapi karena ia sadar, pria di depannya adalah rumah. "Om Agra." Suara Nadra lirih, hampir tidak terdengar.
"Ya?"
"Kalau aku menyerah, kamu masih akan tetap ada, kan?"
Agra tidak langsung menjawab. Ia menatap dalam ke mata Nadra. Kemudian tangannya mengusap pelan kepala gadis itu, menyelipkan rambut yang menutupi wajah mungilnya. "Selama kau ingin di sini, Nadra. Aku akan selalu ada."
Nadra menatap bayangan Agra yang terpantul samar di marmer lantai. Bayangan itu tidak utuh, bergoyang seperti perasaannya saat ini. Penuh tanya, penuh takut.
Perlahan, suaranya keluar, pelan dan ragu, seperti daun yang jatuh di tengah senyap. "Kalau, kalau suatu hari orang tua Om tak menyukaiku, Om Agra, kamu akan tetap memilihku?" Ia menarik napas, seakan mengumpulkan keberanian untuk pertanyaan selanjutnya. "Kalau, mereka menjodohkan Om dengan wanita lain, Om akan pergi meninggalkanku?"
Agra terdiam.
Wajah Nadra tertunduk, namun suara itu terdengar jelas ke dadanya. Tanpa berkata, Agra berjongkok di depannya. Ia duduk tepat sejajar dengan wajah Nadra yang tertunduk dalam. Air hangat di gelas itu memantulkan wajah mereka berdua. Wajah Agra yang tenang, dan bayangan Nadra yang berkaca-kaca.
Agra berbicara, suaranya berat namun penuh ketegasan, "Aku pernah ada di tempat Nayaka sekarang, Nadra. Aku tahu rasanya dijadikan pion. Menikah bukan karena cinta, tapi karena kehendak keluarga." Matanya memaku pandang ke dalam mata Nadra. "Dan aku tidak akan mengulang luka itu untuk kedua kalinya."
Nadra mengatup bibir, air mata menetes, tapi Agra belum selesai. Ia menunduk sedikit lebih dekat, tangannya menyentuh pelan jemari Nadra yang menggenggam gelas. "Tapi aku juga ketakutan sendiri. Bagaimana jika suatu hari aku kehilangan segalanya, bisnisku, rumah ini, hidupku berubah. Apakah kamu masih mau bersamaku, dalam hidup yang tidak mewah, mungkin bahkan sulit?"
Nadra langsung mengangkat wajahnya. Air mata itu sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia menggeleng kuat, seolah kata 'tidak' tak cukup menjelaskan isi hatinya. "Om Agra, aku bukan di sini karena mobilmu, rumahmu, atau statusmu." Suaranya pecah, sesekali terisak. "Aku di sini, karena kamu. Karena hanya kamu."
Agra diam. Jantungnya berdegup pelan namun dalam. Seketika, dunia di sekeliling mereka terasa hening. Ia menatap gadis di hadapannya, rapuh tapi tulus. Tak sempurna, tapi jujur.
Perlahan, Agra meraih tubuh kecil Nadra, memeluknya dengan hangat. Tak ada lagi yang mereka katakan. Hanya pelukan yang menjawab segalanya. Tubuh mungil Nadra tenggelam dalam dekapan Agra. Air hangat dalam gelas bergetar, lalu tumpah sedikit, membasahi ujung jarinya.
Beberapa detik berlalu, Agra perlahan melepaskan pelukannya. Ia menyentuh wajah Nadra dengan lembut. Ibu jarinya menghapus air mata yang masih mengalir perlahan di pipi gadis itu. "Kamu nggak usah khawatir," ujarnya pelan, penuh keteguhan. "Apapun yang orangtuaku lakukan, itu urusanku. Bukan tanggung jawabmu."
Nadra mengangguk kecil. Masih bisu, tapi percaya.
Agra tersenyum tipis. Lalu, perlahan menunduk, menyentuh high heels di kaki Nadra. Dengan hati-hati, ia melepaskan satu per satu. "Sekarang istirahat, ya." Ia mengulurkan tangannya. "Kamu tidur di kamar aku."
Nadra menatap tangan itu sejenak, lalu menatap wajah Agra. Tatapannya ragu, tapi lembut. "Aku nggak bisa tidur di kamar Om Agra." Ia menunduk, suaranya pelan. "Kita belum menikah."
Agra tak tersinggung. Ia malah tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Tenang aja, aku janji tidak melakukan apapun. Kamu tidur di kamarku, aku tidur di sini, di sofa." Lalu ia menambahkan, dengan nada sedikit menggoda. "Lagian, makeup kamu udah luntur semua, Nadra. Bajumu juga nggak nyaman buat tidur. Ganti dulu, ya. Pakai bajuku dulu sementara."
Nadra masih tampak ragu. Tapi kemudian Agra menyebutkan nama yang membuat matanya langsung berbinar. "Nanti malam, Raline dan Razan bakal mampir, mereka bawain baju buat kamu."
"Kak Raline?" Nadra langsung menatap Agra. Air matanya belum benar-benar hilang, tapi senyum kecil kini muncul di sudut bibirnya. "Kak Raline beneran mau ke sini malam ini?"
Agra mengangguk pelan, lalu mengusap puncak kepala Nadra. "Iya. Jadi jangan sedih lagi."
Nadra mengangguk cepat, senyum itu kini lebih jelas. Ada cahaya kecil di matanya, secercah rasa aman yang mulai tumbuh kembali. "Oke, aku ganti baju dulu, ya."
😊😊😊
Menit selanjutnya, Agra menggiring Nadra masuk ke dalam, kamarnya. Suasana kamar itu sederhana tapi nyaman. Pencahayaan hangat membuat ruangan terasa menenangkan.
Di atas ranjang, ia meletakkan sepasang pakaian, kaos oblong putih dan celana boxer longgar miliknya. "Kamu ganti baju dulu, ya." Agra menunjuk ke kamar mandi di pojok ruangan. "Di dalam aja. Aku turun ke bawah sebentar, nungguin Razan sama Raline."
Nadra mengangguk. Matanya masih lelah, tapi ada senyum kecil di sana. "Hati-hati turun tangganya," gumamnya lirih.
Agra tersenyum kecil, menutup pintu dan meninggalkannya sendirian.
Nadra memandangi pakaian di tangannya. Kaos oblong itu besar, baunya khas, bau sabun yang dipakai Agra, bau kamar ini, bau yang entah bagaimana menenangkan.
Ia masuk ke kamar mandi, mencuci wajah, lalu mengganti bajunya. Riasan di wajahnya sudah benar-benar hilang. Yang tersisa hanya sisa mata sembab dan pipi lelah.
Beberapa menit kemudian, Nadra keluar. Langkahnya pelan, napasnya lebih tenang. Ia berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, dan terdiam.
Kaos oblong itu begitu longgar, hampir selutut. Celana boxer nya juga kebesaran, tapi tetap nyaman dipakai. Dan saat Nadra memandangi bayangannya sendiri, senyum malu-malu merekah. "Gila," gumamnya sendiri, pelan. "Aku pakai bajunya Agra."
Wajahnya memerah. Bukan karena takut, tapi karena gugup, dan juga rasa hangat yang mulai mengalir. Tangannya menyentuh kaos itu pelan. Seolah ingin menyimpan rasa ini lama-lama. Seolah ingin mengingat momen ini sampai kapan pun.
Senyum malu-malu perlahan memudar menjadi ekspresi kagum, lalu berubah menjadi rasa ingin tahu. Perlahan, ia mulai mengelilingi kamar Agra. Langkahnya pelan. Matanya memandang setiap sudut setiap benda.
Kamar itu bersih dan rapi. Tidak banyak hiasan. Di meja rias yang menyatu dengan lemari, hanya ada sedikit barang. Sisir, parfum pria, dan satu bingkai foto.
Nadra mendekat, dan mengambil bingkai itu. Senyumnya kembali muncul, kecil, hangat. Dalam foto itu, ada Agra dan Nayaka. Foto itu diambil saat Nayaka lulus SMA. Seragam putih abu-abunya masih tampak baru, meski dasinya sudah longgar.
Wajah Nayaka terlihat cemberut, sangat khas. Sedangkan Agra disebelahnya tampak tersenyum lebar, tangannya menekan lembut puncak kepala sang adik, seolah mengejek manja.
"Lucu banget," bisik Nadra, suaranya mengambang pelan. Namun, senyum itu tidak bertahan lama. Tatapannya mulai kosong, dan perlahan matanya mulai berkaca-kaca. Bayangan masa lalu menyeruak, dan nama itu muncul dalam kepalanya, Arven.
Nadra menunduk, menggenggam bingkai foto itu erat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Air mata mulai menetes, perlahan. Tetes pertama jatuh diam-diam di atas kaos oblong yang ia kenakan. "Kak Arven," bisiknya pelan, hampir tak terdengar. "Kamu di mana, sih?"
Ia buru-buru menyeka air matanya dengan telapak tangan. Tapi matanya sudah memerah, dan napasnya mulai berat. Ingin sekali ia bercerita. Tentang Nayaka, tentang pesta tadi. Tentang betapa ia merasa sendirian di antara keramaian.
Dan biasanya, yang pertama kali ia hubungi adalah Arven. Pria itu dengan semua ketegasannya, lembut, dinginnya, tapi selalu menyempatkan diri untuk mendengar keluh kesah Nadra.
Tapi sekarang. Nomor itu sudah tak aktif. Pesan-pesan hanya berstatus 'terkirim', tak pernah 'dibaca'. Arven seperti hilang dari dunia, meninggalkan jejak yang hanya menyakitkan untuk dikenang.
...Bersambung ...