para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Mobil berhenti di halaman kantor polisi Jogja, dekat kampus dan rumah mereka. Queen melihat orang tuanya menunggu, dan berlari memeluk mereka begitu pintu mobil terbuka.
"Ma... Pa..." isaknya, air mata haru membasahi pipinya.
Wati pun demikian, berhamburan ke pelukan ibunya, tangis mereka pecah dalam kelegaan dan syukur.
Daffa, perantau dari Makassar, hanya mengamati. Orang tuanya sudah tua, tak mungkin menempuh perjalanan jauh. Meskipun hatinya ikut haru, merindukan orang tuanya sendiri, ia hanya memeluk erat tasnya.
Melihat itu, orang tua Queen mengisyaratkan Daffa mendekat.
"Kemarilah, Nak," ajak Bahrudin, ayah Queen, suaranya lembut.
Daffa kebingungan, tak mengerti siapa yang dipanggil. "Daf, sini," panggil Queen.
Daffa mendekat, langkahnya ragu. Tiba-tiba, Bahrudin menariknya ke dalam pelukan hangat. Pelukan itu, dan pelukan Wati yang menyusul, membuat air mata Daffa pun berlinang. Kehangatan keluarga, meskipun bukan keluarganya sendiri, membanjiri hatinya.
"Syukurlah kalian selamat," isak Aliya, ibu Queen, memeluk erat putrinya.
Wajah Queen yang kurus dan kusam membuat hatinya hancur. "Mama dan Papa sangat terkejut mendengar dari polisi tentang penculikan itu."
Bahrudin, ayah Queen, mengusap kepala Queen dan Daffa dengan lembut, matanya dipenuhi iba melihat kondisi putrinya.
"Setelah melapor, kita pulang, ya sayang," lanjut Aliya, masih memeluk Queen. "Kamu pasti sangat terpukul." Ia kemudian menatap Daffa, "Kamu ikut bersama kami sebelum pulang, ya?" ajakannya tulus.
Daffa tersenyum, "Tidak usah, Tante, saya langsung pulang ke kos saja."
"Jangan menolak, Nak," Aliya bersikeras. "Kamu pasti banyak membantu Queen. Tante mohon, jangan menolak."
Daffa, meskipun ragu, akhirnya mengangguk. "Baiklah, Tante, jika Tante memaksa."
Seorang polisi mendekat, memanggil mereka bertiga. Mereka mengikuti polisi itu ke dalam kantor, meninggalkan orang tua Queen dan ibu Wati menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Ketegangan masih terasa, namun di antara kekhawatiran, ada rasa syukur yang dalam atas keselamatan anak-anak mereka.
Mereka keluar dari kantor polisi, wajah-wajah mereka dibayangi kesedihan. Wati dan ibunya pamit lebih dulu, meninggalkan Queen dan Daffa bersama orang tuanya.
"Ayo, Ma, kita pulang," ajak Queen, suaranya lemah.
Aliya merangkul pundak putrinya, langkahnya gontai menuju mobil Inova silver yang terparkir di depan gedung. Bahrudin dan Daffa mengikuti di belakang. Queen duduk di belakang bersama Daffa, sementara orang tuanya di depan.
"Kita cari makan dulu, ya sayang," kata Aliya, suaranya lembut. "Kalian pasti lapar setelah semua ini."
Queen dan Daffa mengangguk lesu. Sepanjang perjalanan, Queen sesekali melirik Daffa, rasa penasaran bercampur dengan kekaguman terpancar dari matanya. Namun, setiap kali Daffa membalas tatapannya, Queen buru-buru menunduk.
Aliya memulai pembicaraan, suaranya sedikit ragu, "Mama tidak akan banyak bertanya sekarang, tapi Mama penasaran... di mana teman-temannya yang lain, sayang? Bukankah kalian pergi bersama rombongan? Bukannya Fahri dan Arjuna yang menjemputmu waktu itu?"
Tangan Queen bergetar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kenangan akan teman-temannya yang tewas mengenaskan masih menghantuinya. Melihat itu, Daffa dengan lembut menggenggam tangan Queen, memberikan ketenangan. Napas Queen perlahan menjadi teratur.
"Mungkin nanti saja ceritanya, Tante," kata Daffa tenang, "Queen masih terlihat sangat syok."
Aliya menoleh, panik melihat wajah pucat dan penuh kecemasan putrinya. "Kamu tidak apa-apa, sayang? Kamu terlihat sangat pucat."
Queen menggeleng, menghapus air mata yang mengalir di pipinya. "Tidak apa-apa, Ma, Queen tidak apa-apa." Suaranya masih bergetar.
"Oh, ya sudah... kamu membuat Mama khawatir, sayang," kata Aliya, kembali fokus pada jalanan. Namun, kekhawatirannya masih terpancar dari raut wajahnya.
Daffa dengan lembut menyandarkan kepala Queen pada bahunya, mengusap rambut putrinya dengan penuh kasih sayang. Gerakan itu begitu natural, penuh kelembutan dan pengertian.
Bahrudin, yang melihat dari kaca spion, tersenyum simpul. Ini pertama kalinya ia melihat putrinya sedekat ini dengan seorang pria, sebuah kedekatan yang melampaui persahabatan biasa. Seulas harapan terpancar dari senyumnya, sebuah harapan akan kebahagiaan putrinya.
.
.
BERSAMBUNG...
lanjut
💪💪💪💪