Hidup Aruna sudah susah dan kini bertambah susah karena dikejar seorang pria yang mengaku menyukainya.
Awalnya pekerjaan Aruna tidak ada masalah tapi setelah bertemu dengan bosnya dia semakin pusing karena mendapatkan masalah baru.
Aksa, pria yang selalu menguntitnya bahkan dia mau melakukan apapun demi mendapatkan hati gadis pujaannya, Aruna.
Maukah Aruna menjadi kekasihnya sedangkan dirinya sendiri tidak ingin terikat hubungan dengan siapapun karena dia ingin memanfaatkan sisa hidupnya untuk membantu panti asuhan tempat dimana selama ini dia dirawat oleh seorang pengasuh yang sudah dia anggap seperti ibunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena_Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Aruna Jatuh Sakit
”Dona ... aku ingin bicara denganmu!” ucap Hermawan.
Dona melihat ke arah Bima yang baru saja datang ke ruangan tersebut.
”Kita pergi saja dulu biarkan ibu berbicara dengan tamunya,” ucap Bima kemudian.
”Oh baiklah jika demikian adanya, ibu aku tinggal dulu ya.” Aruna mengajak Aksa untuk keluar dirinya merasa ada yang aneh dan disembunyikan oleh ibu panti dan juga Aksa melihat kedatangan Pak Hermawan yang tiba-tiba.
”Kenapa tiba-tiba papamu datang ke sini?” tanya Aruna.
”Urusan pribadi, biarkan saja,” sahut Aksa.
”Oh.” Aruna memilih ke kamarnya bersandar di ranjang melepas lelahnya beberapa hari ini dia kerap merasakan pusing hanya saja dirinya tidak memberitahukannya pada Aksa. Dengan pelan memijat pelipisnya sendiri.
”Ternyata kamu di sini, aku mencarimu kemana-mana,” ucap Bima.
”Kak Bima, ada apa?” Aruna bangun berniat untuk turun tapi Bima mencegahnya.
”Apa sakit sekali?”
”Eh?”
”Aku tahu karena melihat wajahmu yang terlihat pucat, apa kamu kurang tidur?”
Aruna tersenyum tipis, ”Aku hanya lelah saja Kak, istirahat sebentar nanti juga sehat lagi.”
”Aku tidak percaya jika memang demikian tinggallah di panti jangan kembali ke rumahnya,” bujuk Bima.
”Aku pasti akan pulang Kak, nanti jika semuanya sudah selesai.”
”Kamu memang keras kepala!”
”Sama denganmu,” sahut Aruna keduanya pun tertawa bersamaan dengan Aksa yang masuk ke kamar Aruna.
”Apa itu sangat lucu sehingga kalian berbahagia?” ucap Aksa.
”Eh?”
”Aruna aku keluar dulu.” Bima melirik pada Aksa dengan tatapan kebencian karena dia sudah tahu masalah yang membelit antara orang tuanya dan Dona, cinta segitiga di antara mereka terendus ketika Aksa berbicara dengan ibu panti tempo hari.
”Kenapa tidak bilang jika kamu di sini, aku mencarimu kemana-mana tapi kamu tengah asyik berduaan dengannya bahkan bercanda berduaan tidakkah kamu mengingatku tadi.”
”Apakah kamu sedang cemburu?”
”Ck! Cemburu?” ulang Aksa.
Aruna mengangguk mantab, ”Iya, biasanya ini adalah tanda-tandanya orang yang cemburu, suka marah-marah tanpa sebab,” bisik Aruna.
”Terserahlah, aku mau ke kantor apa kamu tidak masalah jika aku tinggal?”
Aruna hanya mengangguk merasa senang karena bebas dari pantauan kekasihnya. ”Pergilah, jemput aku nanti sore.”
”Aku akan merindukanmu,” bisik Aksa mencium singkat bibir Aruna.
Sementara di dalam ruang tamu panti kedua orang sedang berdebat menyalahkan satu sama lain.
”Kenapa kamu tidak jujur di awal?” desak Hermawan.
”Apakah itu penting sekarang? Semua sudah berlalu kenapa masih saja dibahas ingat kita bukan lagi anak muda lagipula aku telah mengikhlaskan semuanya.”
”Tapi tidak denganku bertahun-tahun aku mencarimu, awalnya aku tidak menyangka jika perkataan putraku adalah sebuah kebohongan namun dia memintaku untuk membuktikannya sendiri dan hari ini aku melihatnya langsung jika kamu memang benar-benar masih hidup. Maafkan aku,” sesal Hermawan.
”Sungguh tidak ada yang perlu disesalkan karena semuanya telah berlalu dan kita telah menemukan kehidupan kita masing-masing.”
”Tapi tidak denganku karena kamu masih sendiri kan?”
”Tapi aku bahagia dengan semua ini karena aku bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain.”
”Aku menyesal karena telah percaya ucapan Devi waktu itu, sekali lagi maafkan aku.”
”Pulanglah aku tidak mau ada orang yang salah mengira tentang kita, anak-anak di sini masih membutuhkan bantuanku jadi aku minta tolong padamu untuk tetap menjaga jarak agar Devi tidak lagi datang dan membuatku malu.”
Hermawan hanya bisa pasrah mendengar penyataan Dona wanita yang dia cintai jika saja dia tidak termakan fitnah istrinya dulu mungkin saat ini Dona yang menjadi istrinya.
Dengan langkah berat Hermawan pergi meninggalkan panti tersebut, dalam hati dia berjanji akan datang lagi.
Dona hanya mampu menangisi kepergiannya dan Bima yang melihatnya pun hanya mampu memberikan bahunya untuk ibunya. Dirinya ikut merasa sesak mengetahui semuanya.
”Sudahlah Bu, sebaiknya ibu kembali istirahat.”
”Terima kasih Nak, ibu mengandalkan dirimu!”
***
Di kantor Aksa mondar-mandir dirinya kesal dengan sikap Aruna tapi di sisi lain dirinya tak ingin gadis itu terlalu dekat dengan pria bernama Bima.
”Bos.”
”Mm. Ada apa katakan!”
”Sepertinya kita akan bekerja sama dengan Tim Delima Jaya.”
”Lalu?”
”Astaga bukankah itu perusahaan yang dipimpin oleh Pak Bima sainganmu itu?”
Aksa menghentikan langkahnya lalu menatap ke arah Farrel. ”Kamu benar.” Aksa nampak berpikir. ”Tunggu darimana kamu tahu soal dia bahkan aku belum bicara denganmu?”
”Orang yang sedang jatuh cinta tak perlu mengungkapkan secara keseluruhan sudah terlihat jelas, benar bukan? Bukankah tempo hari kamu sendiri sudah bercerita hanya saja ceritamu masih mengambang.”
Aksa mengangguk, ”Mereka sangat dekat dan jujur aku cemburu dengan hubungan keduanya bahkan hari ini dengan terang-terangan mereka berdua bercengkrama haha hihi di dalam kamar Aruna. Kekasih mana yang tidak cemburu, coba?”
”Aku mengerti perasaanmu, lalu apakah kamu akan untuk menghadapinya sedangkan hatimu sendiri seperti itu?”
”Jika dibatalkan berapa kerugian yang akan kita tanggung?” tanya Aksa tiba-tiba.
Farrel mengerutkan keningnya, ”Bukankah kamu lebih tahu bos!”
Aksa kembali berpikir, ”Batalkan saja!”
”kamu yakin?”
”Apa yang diputuskan tidak boleh ditarik lagi.”
”Aku mengerti, baiklah aku urus semuanya sekarang juga.” Farrel segera keluar dari ruangan Aksa.
”Semoga ini yang terbaik, aku tidak mau dia terlalu dekat dengannya memangnya siapa dia bahkan hubungan keduanya hanya sebatas kakak dan adik angkat, akulah yang lebih berhak karena aku calon suaminya,” gumam Aksa.
Aksa menarik lengannya melihat jam tangan yang melingkar di sana. ”Jam lima, astaga aku harus menjemputnya sekarang.”
Aksa mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Aruna namun tak ada jawaban yang dia dapatkan. Panggilan yang keempat tersambung namun ...
”Hallo Kak Aksa, Kak Aruna tidak ada di sini ponselnya ketinggalan.”
”Vania, dimana dia?”
”Ke rumah sakit belum pulang.”
”Apa? Apakah dia sakit dan rumah sakit mana biar aku menyusulnya lalu dengan siapa dia pergi?”
”Sepertinya iya dia pergi dengan kak Bima, aku kirimkan alamatnya.”
”Baiklah aku tunggu segera.”
Bip.
Dengan cepat Aksa mengambil ponsel dan kunci mobilnya berharap segera ke rumah sakit menemui Aruna. ”Kenapa aku ceroboh sekali sehingga tidak tahu jika dia sedang sakit.”
Aksa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi karena sudah tidak sabar ingin mengetahui keadaan Aruna. Aksa jalan setengah berlari menuju ruangan Aruna begitu sampai ternyata gadis itu sedang bersama dengan Bima, dirinya kembali kesal kenapa pria itu harus ada di sini. Aksa melupakan satu hal jika keduanya sama-sama dibesarkan di panti yang sama.
”Ehem.”
Keduanya mengalihkan pandangannya ke arah Aksa.
”Bagaimana keadaanmu?” tanya Aksa.
Bima pun berbalik. ”Apakah kamu tidak bisa menjaganya dengan baik?”
”Apa maksudmu?” Aksa benar-benar tidak mengerti kenapa justru dirinya yang disalahkan oleh Bima.
”Sudahlah kalian jangan bertengkar, ingat ini di rumah sakit,” tegur Aruna.
”Aku bertanya padanya bukan denganmu!” ucap Aksa.
”Aku tahu tapi ini takkan terjadi jika kamu menjaganya dengan baik,” sahut Bima tidak terima.
”Aku ingin istirahat kalian keluarlah!” ucap Aruna tiba-tiba dirinya kesal melihat pertengkaran keduanya yang seperti anak kecil.
”Aruna aku mau bicara denganmu,” ucap Aksa namun Aruna memalingkan wajahnya membuat Aksa menatap tajam ke arah Bima.
”Ayo kita selesaikan di luar!” Aksa keluar lebih dulu dengan menahan marah.