Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.
Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.
Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Mama Rere menyerahkan buket mawar putih 100 tangkai yang baru selesai dia buat pada Ryu. Sangat cantik, ukurannya juga besar, bisa dijamin sipenerima bakalan langsung lumer hatinya.
"Nyonya Mahendra." Ryu membaca nama sipenerima bunga. "Gak ada kartu ucapannya, Mah?" Ryu memperhatikan buket tersebut, takut jika mamanya lupa menyertakan.
"Gak ada, orangnya minta bunga saja."
"Oh..." Ryu manggut-manggut. "Pengirimnya siapa?"
"Dia gak bilang nama sih, cuma nyuruh ngirim kealamat yang dia sebutkan. Dan penerima atas nama Nyonya Mahendra. Mungkin suaminya yang ngirim?"
"Mungkin?" Ryu memutar kedua bola matanya. "Atau malah mungkin, selingkuhannya." Dia tersenyum miring. "Buktinya gak ada tertulis nama pengirim dan juga kartu ucapan. Biar kesannnya rahasia."
"Hus, gak boleh suudzon. Mama yakin yang ngirim suaminya."
Mama Rere memberikan alamat dan nota tanda terima yang harus ditandatangani pada Ryu. Setelah membacanya sekilas, Ryu segera membawa buket tersebut kedalam mobil. Meletakkan dikursi penumpang yang ada disebelahnya.
Saat kita nikah nanti, aku bakalan ngasih kamu 1000 tangkai bunga mawar.
Ryu teringat kembali janjinya pada Airi. Dia menatap buket disebelahnya, lalu menghela nafas berat. "Dimana kamu Ai, aku merindukanmu."
Ryu menyalakan mesin mobilnya lalu melaju kealamat yang diberi mamanya.
Setelah beberapa saat, mobil Ryu memasuki kawasan perumahan. Dia melihat kembali alamat yang ditulis mamanya karena takut salah. Buket 100 tangkai mawar putih kualitas premium, jelas harganya mahal, apa gak salah jika yang memesan tinggal dirumah kalangan kelas menengah kebawah seperti ini? Seperti apakah Nyonya Mehendra, sehingga seorang pria mengiriminya buket sesepesial ini.
Setelah dia cocokkan, Ya benar, ini perumahannya. Sekarang dia hanya perlu mencari blok serta nomor rumahnya.
Mobil Ryu berhenti didepan rumah bercat putih yang bisa dibilang kecil. Kembali dia melihat kearah buket disebelahnya.
"Jika rumahnya seperti ini, aku tak yakin bunga ini dari suaminya?" Ryu tersenyum getir. "Orang jaman sekarang, susah sekali ditebak."
Ryu mematikan mesin mobil. Mengambil buket cantik disebelahnya lalu turun dari mobil. Pagar yang tidak dikunci membuat Ryu bisa langsung masuk ke halaman. Sampai didepan pintu, dia langsung mengetuk.
Tok tok tok
Beberapa kali Ryu mengetuk, tapi si tuan rumah tak kunjung keluar. Sampai akhirnya Ryu kembali mengetuk lagi.
"Kemana sih orangnya, apa keluar ya? Apa aku telepon di nomor pengirimnya ini saja?" Ryu garuk-garuk kepala karena bingung. Akhirnya dia memutuskan mengetuk sekali lagi.
Tok tok tok
Masih juga belum ada yang keluar, hendak kembali mengetuk, tapi batal karena mendengar sahutan dari dalam.
"Iya, sebentar."
Suara itu, Ryu merasa sangat familiar dengan suara barusan.
Airi
Ryu buru buru menggeleng, mengenyahkan pikirannya yang kacau. Sepertinya karena terlalu merindukan Airi, suara orang sampai terdengar seperti suara Airi.
Ceklek
Begitu pintu terbuka, jantung Ryu seperti berhenti berdetak, begitupun dengan Airi, wanita itu kaget melihat Ryu berdiri didepan pintu rumahnya dengan membawa sebuket bunga mawar putih.
"Ai," lirih Ryu. Buket ditangannya terjatuh begitu saja. Rasanya tak percaya jika Nyonya Mahendra, ternyata adalah Airi.
"B-bang." Dada Airi seketika terasa sesak. Dia tak bisa memungkiri, sangat merasa bersalah pada pria dihadapannya itu.
"Akhirnya aku menemukanmu Ai," ujar Ryu dengan mata berkaca-kaca.
Airi hendak menunduk untuk mengambil buket yang jatuh tadi, tapi Ryu lebih dulu menarik tangannya. Menariknya keluar melewati pintu hingga tak sengaja, kaki Airi menginjak buket cantik itu.
"Bang, tolong lepasin Ai, Bang."
Ryu menarik Airi menjauh dari pintu. Bukannya melepaskan, dia malah mengeratkan cekalannya dipergelangan tangan Airi.
"Bang tolong jangan seperti ini. Lepasin Ai, Bang?" mohon Airi dengan mata berkaca-kaca.
Melihat Airi yang hampir menangis, Ryu melepaskan cekalannya. "Apa aku menyakitimu Ai?" dia melihat pergelangan tangan Airi yang tampak sedikit memerah. "Maaf, aku sama sekali tak ada niat menyakitimu." Dia hendak memeluk Airi tapi lebih dulu, Airi menahan dadanya.
"Kita sudah tak seperti dulu lagi Bang." Lirihnya sambil berusaha menahan air mata.
Ryu tersenyum getir dengan mata yang berkaca-kaca. "Tak seperti dulu lagi," dia mengulang kalimat Airi barusan. Kalimat itu terdengar sangat menyakitkan. "Lalu seperti apa Ai? Seperti apa kita sekarang? Kita masih saling mencintaikan Ai?" Tanyanya sambil memegang kedua bahu Airi. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis.
Airi menggeleng sambil menunduk. Air matanya mulai merembes melalui sudut mata.
"Kamu bohong Ai. Aku yakin kamu masih mencintaiku. Iya kan Ai?" Ryu mengguncang kedua bahu Airi. Berharap sekali jika Airi akan mengatakan jika perasaannya masih sama, masih menyintainya.
"Ai sudah menikah Bang."
"Terpaksakan? Kau hanya terpaksa menikah, bukan mencintai pria itu." Ryu menunjuk kearah pintu. "Abian sudah cerita semuanya. Kamu hanya terpaksa menikah agar Abian tidak dipenjara. Kamu mencintai aku Ai," Ryu menunjuk dirinya sendiri. "Kita saling mencintai."
Lagi-lagi Airi menggeleng. "Maaf Bang, aku mencintai suamiku." Meski kalimat itu akan menyakiti Ryu, dia harus mengatakannya.
"Bohong!" pekik Ryu. "Aku sangat yakin jika kamu masih mencintaiku. Tatap aku Ai, katakan kau tidak mencintaiku lagi."
Airi mengangkat wajahnya. Dadanya sesak melihat Ryu menangis. Dia telah menyakiti hati pria sebaik Ryu. Pria yang bahkan saat mereka pacaran, sama sekali tak pernah membentaknya apalagi berbuat kasar. Ryu selalu ada untuknya, selalu melakukan apapun demi mewujudkan semua keinginannya, dan selalu memprioritaskan dia lebih dari dirinya sendiri.
"Aku mencintai suamiku, Bang." Saat ini, Airi merasa jika dirinya adalah wanita paling jahat didunia. Wanita yang patut dibenci oleh Ryu.
Tubuh Ryu seketika lemas. Tangannya tak lagi mampu memegang bahu Airi. Dia mendongak keatas, berusaha menahan laju air mata yang bukannya berhenti tapi makin deras. Dia menepuk dadanya, rasanya sesak sekali, bahkan untuk bernafas saja, rasanya sulit.
"Kenapa kau melupakan janjimu Ai. Janji akan setia menungguku pulang. Janji akan menemaniku menghabiskan sisa hidup bersama, dan janji akan selalu ada disampingku dalam situasi tersulit sekalipun."
Airi makin sesenggukan saat teringat janjinya dulu pada Ryu. Janji yang mereka buat di rooftop saat keduanya tengah menikmati sunset berdua. Bahkan saat itu, Airi meneriakkan janjinya dengan sangat lantang.
"Maaf," hanya itu yang bisa keluar dari bibir Airi.
Ryu meraih tangan Airi lalu menggenggamnya erat. Tak melepaskan meski Airi berusaha menarik tangannya.
"Aku tak bisa hidup tanpamu Ai."
"Tolong jangan bilang seperti itu Bang," Airi menggeleng cepat. "Jangan buat Ai semakin merasa bersalah."
"Sayang, sayang." Airi semakin kuat menarik tangannya saat mendengar White memanggilnya.
/Whimper//Whimper/
ai semoga selalu di beru kuatan
semangat ai