Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Setelah sarapan yang sempat memanas, suasana berangsur mencair meski belum sepenuhnya kembali normal. Begitu jam menunjukkan pukul sepuluh, Bunda mulai menyuruh semua bersiap. Hari ini adalah fitting terakhir gaun pengantin Rada sebelum pernikahan besok.
“Rada, jangan lupa bawa sepatu dan aksesori yang kemarin,” suara Bunda menggema dari bawah tangga.
“Iya, Bun!” balas Rada sambil memeriksa tasnya yang hampir penuh.
Alia muncul dari kamar tamu dengan dress kasual warna hijau muda, rambutnya diikat tinggi. “Aku ikut, ya. Aku harus lihat kamu pakai gaun itu lagi. Kemarin aku cuma lihat lewat video call, nggak cukup puas!”
“Aku juga. Aku nggak mungkin melewatkan momen ini.” Ashley yang berdiri di sampingnya ikut menyahut
Lalu, dari belakang muncul David, santai dengan kemeja putih dan celana panjang abu-abu. Ia menepuk bahu Alia sambil tersenyum, “Sepertinya kita semua akan ikut, ya. Lagipula, siapa yang mau melewatkan Rada di wedding dress?”
Alia langsung meliriknya dengan tatapan geli yang tak disembunyikan. “Nah, kamu juga harus ikut komentar nanti. Aku butuh perspektif cowok.”
“Tentu, asal kamu nggak suruh aku coba bajunya juga.” kelakar David lalu tertawa pelan.
Ashley langsung menepuk lengan David. “Tenang, dia cuma butuh kamu buat alasan aja, biar bisa duduk di sebelah kamu di butik nanti.”
“ASHLEY!” seru Alia spontan, membuat Rada yang baru turun tangga ikut tertawa kecil.
Melihat mereka bertiga, Rada merasa lebih ringan. Setidaknya, hari ini ada hal yang bisa mengalihkan pikirannya dari semua ketegangan yang melingkupi rumah itu.
Saat mereka turun, Gavin sudah menunggu di ruang tamu, berdiri di dekat sofa dengan jas hitam sederhana dan wajahnya tetap tenang.
“sudah siap?” tanyanya dengan suara tenang.
“Sudah,” jawab Rada sambil tersenyum. “Tapi… sepertinya aku nggak cuma sendiri. Alia, Ashley, dan David ikut juga.”
Gavin menatap ketiganya sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk pelan. “Baik. Mobilnya cukup besar.”
David langsung mengangguk sopan. “Terima kasih, Gavin.”
“Sama-sama.” Gavin hanya membalas dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat
Tak lama kemudian, mereka semua berjalan keluar menuju mobil hitam panjang yang sudah menunggu di depan. Supir membuka pintu, dan Bunda sempat melambaikan tangan dari teras.
“Hati-hati di jalan! Rada, jangan lupa makan siang di sana ya, jangan sampai lupa gara-gara fitting!”
“Iya, Bun!” jawab Rada sambil tersenyum.
Begitu mereka masuk ke mobil, suasana sempat hening beberapa detik. Gavin duduk di kursi depan bersama supir, sementara Rada, Alia, Ashley, dan David duduk di belakang.
“Aku nggak sabar lihat kamu pakai gaunnya lagi, Ra. Kayaknya semua cowok di resepsi nanti bakal menyesal kenapa bukan mereka yang berdiri di pelaminan.” kata Alia langsung memecah suasana
Ashley tertawa kecil. “Kecuali satu orang, yang pasti bakal menyesal seumur hidup, si El itu.”
David hanya menoleh sekilas ke arah Rada, lalu tersenyum lembut. “Aku rasa siapa pun yang lihatmu nanti harus tahu kalau kamu benar-benar bahagia.”
Rada menatap keluar jendela, sedikit terdiam. Kata-kata itu terasa hangat, tapi juga menimbulkan getaran kecil di dadanya. Gavin di depan tampak tetap diam, hanya sesekali melirik ke kaca spion, memperhatikan Rada yang sedang menatap ke luar.
Mobil melaju pelan di jalanan kota Jakarta, menuju butik mewah tempat fitting terakhir dilakukan. Meski cuaca di luar terik, di dalam mobil terasa anehnya dingin, bukan karena AC, tapi karena seseorang di kursi depan terlalu sunyi untuk ukuran seorang calon mempelai pria.
Dan di antara tawa kecil sahabat-sahabatnya, Rada sempat menatap Gavin di kaca dan untuk sesaat, ia bertanya dalam hati. Apakah dinginnya pagi itu hanya karena udara… atau karena hati seseorang mulai berjarak?
Begitu mobil berhenti di depan butik mewah, suasana langsung berubah riuh. Dari luar saja sudah terlihat jendela besar bertuliskan Maison Livia Bridal & Couture, butik langganan para sosialita dan rancangan desainer papan atas.
Begitu Rada turun, pintu kaca langsung dibuka oleh staf butik yang menyambutnya dengan senyum sopan.
“Selamat pagi, Miss Rada. Kami sudah menunggu kedatangan Anda,” ujar seorang wanita bergaun hitam elegan, manajer butik yang mengenal Rada sejak pertama kali ia datang untuk fitting.
Begitu mereka masuk, aroma bunga peony dan musik lembut langsung menyambut. Alia berdecak kagum, “Astaga, Ra… butik ini seperti istana. Aku bisa aja jatuh cinta di sini.”
Ashley menyenggolnya pelan. “Kamu jatuh cinta di mana aja juga bisa, Al.”
David hanya tertawa pelan, sementara Gavin berjalan di belakang mereka, dengan langkah tenang dan wajah datar khasnya. Dari cara para staf butik langsung menunduk hormat, jelas mereka tahu siapa dirinya.
“Silakan ke ruang fitting utama, Miss Rada. Gaun pengantin dan gaun resepsi sudah kami siapkan,” kata manajer butik sambil mempersilakan mereka masuk ke ruangan besar di lantai dua.
Begitu pintu dibuka, Alia langsung berteriak kecil. “Ya Tuhan! Itu gaunnya?!”
Gaun itu berdiri anggun di atas manekin, gaun putih lembut dengan renda tipis di bagian lengan dan detail mutiara halus di sepanjang garis leher. Cahaya lampu menimpa kain satin itu, membuatnya berkilau lembut seperti kabut pagi. Di sebelahnya tergantung gaun resepsi berwarna champagne blush dengan sentuhan payet yang halus, sederhana tapi menawan.
“Rada, aku serius, kalau kamu nggak pakai ini dengan attitude princess, aku bakal marah.” ucap Ahsley sedikit dramatis.
Alia berlari mendekat sambil meneliti renda bawah gaun. “Lihat ini, setiap detailnya dijahit tangan! Ra, kamu benar-benar seperti… calon ratu.”
David yang berdiri di belakang hanya tersenyum lembut. “Kamu memang cocok pakai warna itu, Ra. Tenang tapi kuat.”
Rada menatap gaun itu dalam diam beberapa detik, jantungnya berdetak lebih cepat. Mungkin bukan karena gugup, tapi karena segala sesuatu yang ia alami tiba-tiba terasa nyata. Ini bukan sekadar fitting. Besok… ia benar-benar akan menikah.
“Silakan, Miss Rada. Ruang ganti sudah siap,” ucap staf dengan sopan.
Rada mengangguk, lalu melangkah ke ruang ganti ditemani oleh dua asisten butik. Alia dan Ashley sudah bersiap dengan ponsel masing-masing di tangan, jelas tak sabar menunggu.
Beberapa menit kemudian, tirai ruang ganti bergeser.
Rada melangkah keluar pelan-pelan.
Semua yang ada di ruangan langsung diam.
Gaun putih itu benar-benar seperti diciptakan hanya untuknya, menyatu sempurna dengan warna kulitnya yang lembut, dan rambut panjangnya yang digerai alami. Cahaya dari langit-langit memantul di renda dan mutiara halus, menambah efek berkilau setiap kali ia bergerak.
Alia menatap tak berkedip. “Oh. My. God.”
Ashley menepuk bahu Alia pelan, tapi suaranya pun bergetar. “Dia… gila banget cantiknya.”
David, yang biasanya cerewet, hanya menatap diam-diam dengan senyum kecil. “Aku rasa… nggak ada yang bisa ngalahin pemandangan ini.”
Namun yang paling tenang di antara mereka adalah Gavin. Ia berdiri bersandar di sisi ruangan, tangannya di saku celana, wajah tetap datar tapi matanya menatap tajam, nyaris tak berkedip. Sekilas, Alia bahkan sempat berpikir ada sesuatu yang bergetar halus di tatapan itu, sesuatu yang tidak mudah dibaca.
Rada menatap Gavin sekilas melalui cermin besar di depannya. “Kenapa diam saja?” tanyanya setengah bercanda.
Gavin menunduk sedikit, lalu menjawab tenang, “Karena tidak ada komentar yang bisa menandingi apa yang sudah terlihat.”
Kalimat itu membuat Alia dan Ashley langsung saling melirik, setengah ingin menjerit, setengah berusaha tidak ribut di butik.
“Aku… hanya ingin memastikan gaunnya pas.” ucap Rada. Sialnya, ia sedikit tersipu.
“Pas,” jawab Gavin.
Manajer butik tersenyum puas. “Semuanya sempurna. Besok tinggal pengambilan terakhir dan pengiriman ke lokasi pernikahan.”
Alia langsung menepuk tangan. “Oke, sekarang giliran gaun resepsi! Ayo, Ra! Aku belum puas!”
Rada hanya tertawa kecil, lalu kembali masuk ke ruang ganti.
Sementara Alia dan Ashley sibuk membicarakan betapa ajaibnya gaun pengantin itu, David sempat menatap Gavin yang tetap diam di tempat.
“Dia terlihat… luar biasa, ya,” ucap David dengan nada bersahabat.
“Ya.” Gavin hanya mengangguk tanpa ekspresi.
Tapi di balik ketenangan suaranya, ada sesuatu yang menegang di rahangnya, sesuatu yang ia tekan dalam-dalam agar tak terlihat siapa pun, terutama oleh Rada.
Beberapa menit kemudian, tirai ruang ganti kembali bergeser. Kali ini, Rada melangkah keluar dengan gaun resepsi berwarna champagne blush yang lembut, berbeda dengan putih suci sebelumnya, warna ini memberi kesan hangat dan lebih dewasa. Gaun itu sedikit lebih berani; bagian bahu terbuka dengan detail renda tipis, dan potongan leher berbentuk off-shoulder membuat tulang selangkanya tampak elegan. Di bawah cahaya ruangan, payet kecil yang dijahit rapi berkilau halus setiap kali ia bergerak.
“Rada… sumpah, kalau kamu bukan sahabatku, aku bisa iri setengah mati.” Alia langsung berdecak kagum.
Ashley menatap Rada dari ujung kaki hingga kepala lalu tersenyum lebar. “Kamu tahu nggak, warna ini bikin kamu kelihatan royal. Aku nggak bercanda, kamu kelihatan kayak cewek yang akan duduk di singgasana.”
“Gaun ini seperti Rada versi sebenarnya. Tenang di luar, tapi kuat dan berani.”David menambahkan dengan nada tenang
Rada tertawa kecil mendengar komentar mereka, tapi senyumnya pelan-pelan memudar saat matanya tanpa sadar mencari sosok Gavin.
Gavin masih berdiri di tempat yang sama. Pandangannya menelusuri setiap detail Rada, dari bahu hingga ujung gaun yang menyapu lantai, lalu kembali ke matanya. Tak ada sepatah kata pun keluar, tapi sorot itu membuat Rada tanpa sadar menahan napas.
Alia menyikut Ashley pelan dan berbisik pelan, “Dia nahan banget, kan? Aku yakin dalam kepalanya dia udah nyumpahin diri sendiri karena nggak bisa ngaku kalau jatuh cinta.”
“Aku setuju. Tatapannya barusan… bukan tatapan biasa.” Ashley menutup mulutnya supaya tidak tertawa
Rada menunduk sedikit, pura-pura mengatur lipatan gaunnya. “Kenapa diam semua? Jangan-jangan jelek, ya?” tanyanya ringan, mencoba mengalihkan suasana.
“Tidak.” Gavin menjawab singkat. Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang hampir tidak terdengar, “Kamu terlihat… sempurna.”
Kalimat itu membuat ruangan tiba-tiba menjadi sunyi dari sebelumnya. Alia sampai menatap Ashley dengan ekspresi berbinar.
“Kalau dia ngomong kayak gitu ke aku, aku langsung nikah hari ini juga,” bisik Alia pelan, membuat Ashley hampir tersedak tawa.
Sementara itu, Rada menatap cermin besar di hadapannya memperhatikan pantulan dirinya dengan gaun berwarna lembut itu, pantulan Gavin di belakangnya dengan wajah tenang dan mata gelap yang sulit ditebak. Tanpa bisa dikendalikan jantungnya berdebar kencang. Ia buru-buru menunduk lagi.
“Baiklah,” katanya, mencoba terdengar santai. “Aku rasa cukup untuk hari ini.”
Manajer butik mengangguk sambil tersenyum puas. “Semua pas, Miss Rada. Kami akan kirim kedua gaun ini besok pagi.”
Rada mengangguk dan kembali ke ruang ganti.
Begitu tirai tertutup, Alia langsung mendekati Gavin dengan ekspresi menggoda. “Kamu nggak bisa pura-pura selamanya, tahu.”
Gavin menatapnya sebentar, wajahnya tetap datar. “Pura-pura apa?”
“Pura-pura nggak peduli,” jawab Alia cepat. “Dari cara kamu lihat Rada aja, semua orang di ruangan ini tahu.”
“Tapi tenang aja, kami nggak akan bilang ke dia.” kata Ashley terkekeh pelan di belakangnya
Gavin hanya menatap mereka sebentar sebelum berkata dingin, “Kalau kalian benar-benar peduli pada Rada, jangan ikut membuatnya bingung.”
Setelah itu, ia berbalik dan berjalan keluar butik lebih dulu, meninggalkan Alia dan Ashley yang saling melirik, keduanya tahu Gavin mungkin pandai menyembunyikan ekspresinya, tapi matanya tadi sama sekali tidak bisa berbohong.
selamat rada utk kehamilanya.