tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang terpilih
Rumah itu kecil tapi sangat terawat, berbau harum semerbak bunga-bunga, jelas pemiliknya adalah orang yang teliti, rapi dan pecinta kebersihan, mungkin sedikit berbeda denganku yang serampangan, kalau punya rumah sendiri pasti rumahku tidak seindah ini, kami berempat mengikutinya,
" namaku ayu " katanya sambil berjalan di depan.
" aku pradaba , ini teman seperjalanan kami Gemi, Wuni dan Laksono " kata pradaba, aku meliriknya sejenak dan aku merasa kalau Bujang ini terpukau dengan kecantikan Ayu.
" cocok dengan namamu " kataku tulus.
kulihat Wuni sesekali melirik Lakso dan berusaha melihat apa reaksi anak itu, jelas Wuni sangat cemburu kepada gadis cantik di depan kami.
kami belum sampai di rumah, seorang tua yang masih gagah keluar dari dalam.
" Masuklah ... Masuklah rombongan ki Gede Pekanten, saya sudah menunggu kalian " kami terkejut, kakek ini bukan orang sembarangan, dia sudah tahu siapa kami, kami harus lebih berhati-hati.
kami semua tersenyum terpaksa, aku sendiri tidak terlalu perduli kakek ini se sakti apa, asal tidak
mengendalikan para ular aku siap juga melayaninya.
"seperti yang kakek ketahui kami serombongan dari Pekanten, membuka pemukiman disana, sebagai Junior saya kesini untuk mengunjungi tetangga " kata Pradaba sambil mengeluarkan beberapa batu akik sebagai hadiah pertemuan,
Si kakek tersenyum senang,
" tentu saja, saya menerima ketulusan ki Gede, mari silahkan " katanya sambil menunjuk pada minuman yang disuguhkan,
" tinggalah disini barang semalam, saya juga mempunyai hadiah pertemuan untuk kalian " kata sang kakek ramah, semua orang senang, kakek itu tidak terlihat jahat, mungkin dia memang sengaja menggoda kami, secara senioritas wajar kalau kami para anak muda mendatanginya.
Neneknya Ayu juga menyuguhkan makanan berupa ikan bakar segar dari telaga, rasanya manis dan gurih dipadu dengan bumbu yang lezat membuat kami makan sampai kenyang, keramahan pemilik rumah membuat kami merasa krasan, hawa dingin mulai menusuk tulang.
" kalau malam disini apakah dingin sekali ?" bertanya Lakso kepada Ayu, anak itu sedikit tersipu
" benar kang , hawa di sini sangat dingin " kata Ayu
" kalian anak muda berjalan-jalanlah, aku akan mempersiapkan hadiah untuk kalian semua " kata kakek, Ayu menggandeng tanganku dan mengajak kami semua menikmati sore hari di tepi telaga, terlihat anak ini sedikit manja kepadaku, mungkin karena selama gadis ini tidak punya teman sebaya.
" bagaimana kalau kita naik sampan " kata Ayu, kami setuju dan mengikutinya,
" Apakah kamu sudah lama tinggal disini ?" Tanya Wuni, aku tahu anak ini terlihat iri pada kecantikan gadis ini.
" aku tinggal disini mulai aku lahir " kata Ayu
" dimanakah orang tuamu " tanya Lakso
" kedua orang tuaku, meninggal di telaga ini, sampanya karam di tengah telaga, itulah kenapa aku selalu menaburkan bunga di sana setiap malam Pon " kami semua mangut-mangut dan memahami kesedihan Ayu.
" Apakah Ayu tidak punya saudara ?" tanya Lakso lagi, gadis cantik itu menggeleng lemah.
" Kau boleh menganggapku saudara " kata Lakso cepat dan kami semua terkejut dengan ucapan itu, Anak ini aneh, tapi Ayu tersenyum berusaha tidak menanggapinya, aku memperhatikan lebih teliti lagi ternyata diam-diam Ayu sering melihat ke arah Lakso, wahhh ini sesuatu yang bagus.
kami menginjak geladak yang menyambungkan daratan dengan tempat sampan menyandar, geladak itu tidak terlalu panjang mungkin hanya beberapa meter saja, tapi aku sedang memperhatikan hal lain di bawah air itu, berpuluh hewan menggeliat itu sedang bermain berkejaran dibawah air bening, aku surut kebelakang dan berusaha mempertajam pandanganku, pada akhirnya aku berbalik
" tidak jadi, aku tidak mau naik sampan " kataku cepat
" kakak kenapa ?" tanya Wuni , aku mencoba memberinya kode tentang hewan melata yang berada tepat dibawah kami, aku dengan langkah hampir berlari segera menyingkir dari galadak itu.
pada akhirnya mereka mengikutiku, tidak jadi naik sampan,
" Apakah ada yang menakutimu ?, hewan itu sudah jinak dan menurut pada kakek, tidak mungkin mengganggu kita " kata Ayu, aku tidak perduli .
" kalian saja, aku menunggu di sini " kataku memberikan kode tanda tidak mau.
" aku juga " kata Wuni
" tidak usah pergi semua " kata Lakso kemudian memutuskan, Pradaba sedikit kecewa tapi dia mau mengalah.
" kakekmu hebat " kata Pradaba.
" biasa saja Ki Gedhe " kata Ayu merendah.
Niat naik sampan tidak kami laksanakan, aku juga enggan berdekatan dengan telaga itu, aku ngeri membayangkan dari dalam telaga itu akan muncul ular besar yang akan menelan kami semua hidup-hidup.
" sebaiknya nanti malam kita segera berpamitan, aku tidak suka tempat ini " kataku, Pradaba mengangguk
" tentu saja " katanya.
kami hany berjalan-jalan di sekitar telaga Bidadari,
" ketika hujan tiba maka akan terlihat pelangi di sebelah sana, itulah kenapa telaga ini disebut telaga Bidadari " jelas Ayu, kami semua mengangguk.
malamnya kami kembali berkumpul di ruang tamu,
" karena kalian sudah datang, aku akan memberikan kalian semua hadiah " kata kakeknya Ayu.
" ini untukmu ki Gedhe " katanya sambil memberikan sebuah senjata berupa keris, mata Pradaba berbinar melihat keris itu.
" keris ini kudapat waktu masih muda sekali, semoga kamu bisa memimpin Pekanten dengan baik "
" saya berterimakasih ki, semoga kedepan kita bisa menjadi tetangga yang saling melindungi " kata Pradaba, ini juga sebagai sinyal bahwa untuk selanjutnya kakek ini tidak akan mengganggu pekanten .
" Kau harus berhati-hati, seseorang yang begitu dekat denganmu sebenarnya sedang merencanakan sesuatu yang tidak baik kepadamu " kata kakek Ayu.
" ini untukmu " kata kakek kepadaku, sambil memberikan sebuah kantong
" Terimakasih, apakah ini kek " tanyaku
" ini adalah obat seribu obat, pakaian disaat kritis, tidak ada duanya " kata kakek, ohhh ini adalah sebutir pil yang cukup berharga, aku menerimanya dengan senang hati.
" dan ini untukmu " katanya kepada Wuni, kami melihatnya
" ini adalah rakitan nenek sendiri, sebuah senjata rahasia, kau bisa menggunakannya saat terdesak saja " aku melihat itu semacam senjata perlontar.
" ikutlah bersama nenek, dia akan mengajarkan cara kerja senjata itu, kulihat kamu bukan wanita yang mempunyai ilmu beladiri, itu akan melindungimu " terang kakek lagi, Wuni tersenyum melihat hadiahnya, kemudian dia dan nenek Ayu pergi keluar untuk mencoba senjata itu.
" Kau adalah orang terpilih, aku akan memberimu semua yang kupunya, kau akan bisa mengendalikan ular seperti keinginanmu apakah kau mau menerimanya ?" kata kakek Ayu yang membuat kami semua terperangah.
" saya ... " Lakso menunjuk dirinya sendiri seakan tidak percaya
" Kau adalah orang yang mempunyai kedudukan tinggi dimasa depan aku bisa membacanya, aku akan membantumu meraih kemuliaan itu, nikahilah cucu perempuanku aku akan berada di sisimu " kata kakek Ayu, sebentar aku merasa dingin apakah kakek ini tahu kalau Lakso adalah keturunan Sinuhun?
" saya tidak bisa menerima hal ini kakek " katanya singkat, kata-kata terbodoh yang pernah kudengar sepanjang hidupku.