tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
proposal
Lakso memperhatikan ular itu dengan seksama,
" aku rasa ular itu menyukaimu " katanya berbisik kepadaku, aku masih bersembunyi di dadanya, aku tersentak mendengar kata-katanya.
" Apa kau gila " kataku.
" pandangan ular itu berbeda kepadamu " aku semakin begidik ngeri.
" Apa dia menginginkan tubuhku untuk ditelan ?" tanyaku
" sepertinya tidak seperti itu, dia begitu tenang dengan pandangan hangat kepadamu, saat kau terdesak dia juga menyelesaikan masalahmu dengan menelan kakek itu " kata Lakso menganalisa, aku mencoba mencuri pandang ke arah ular besar itu, mata kami bertemu dan aku kembali menjerit histeris.
" kita segera keluar dari sini baik ular itu suka atau tidak padamu " perintah Pradaba, kami semua mengangguk.
" bagaimana dengan dia " kata Wuni menunjuk kepada Ayu yang sedang pingsan,
" bagaimana kalau kita bawa, bagaimanapun kita tidak bisa meninggalkan seorang manusia di sini " kata Pradaba
" angkat perempuan itu " kata Pradaba memerintah Lakso, tentu saja Pradaba dengan luka di hampir sekujur tubuhnya tidak akan punya kemampuan untuk menggendong seorang perempuan.
kami bergerak meninggalkan tempat itu dengan sempoyongan dan mata ular itu terus mengawasi kami, dan dengan gerakan yang lambat ular itu bergerak mengikuti kami, serempak kami menoleh dan ular itu berhenti juga seketika,
" dia mengikuti kita " kata Pradaba,
" jangan terpancing, sebaiknya kita tidak terprofokasi, kalau dia tidak jngin menyerang lebih baik kita menghindar, kekuatan kita tidak seimbang, Ki Gedhe terluka parah, dan Gemi lumpuh total dihadapan ular, sebaiknya kita segera keluar dari sini " kata Lakso sambil menggendong Ayu di bahunya, tentu saja kekuatan kami dalam menghadapi ular ini bertumpu pada Lakso seorang.
" berbicaralah sesuatu kepada ular itu, mungkin dia benar-benar menyukaimu " kata Lakso
" aku ... " kataku sambil menunjuk kearah mukaku sendiri.
" cobalah, tidak apa kalau mencoba, hanya bicara, aku pernah mendengar kalau nenek Paman Singo juga disukai seekor ular, ketika dia mengatakan sesuatu maka ular itu mengikutinya " kata Lakso,
aku mencibir " mana ada yang seperti itu "
seketika aku berhenti dan menoleh kebelakang.
" berhenti " dengan patuh ular besar itu berhenti mengikuti kata dan isarat tanganku, ternyata ada hal semacam ini.
" Kau terlalu besar untuk mengikuti kami, pulanglah kembali ke dalam " kataku masih dengan nada takut, kemudian seakan merajuk ular itu menggeliatkan tubuhnya yang besar, kembali aku merinding, sungguh mengerikan, tapi rasa percaya diriku tumbuh seketika.
" Kau akan menjadi sasaran pemburu, kau harus tetap berada di dalam hutan, aku akan mencarimu suatu hari nanti " kataku, aku benar-benar dimengerti, ular besar itu matanya berbinar, apakah benar ada hal yang seperti ini, masih menjadi misteri.
walaupun tentu saja mereka semua bersiap dengan senjata masing-masing, siapa yang percaya pada ular sebesar ini benar-benar akan menurut kata-kataku.
Ular itu menggeliat seperti mengerti kata-kataku, aku sendiri sedikit takjub, kemudian memberi tanda dengan tanganku " Pergilah... sembunyikan dirimu, danau itu akan menyamarkan kehadiranmu " kataku, menurutku telaga Bidadari adalah tempat yang pas untuk Ular monster itu.
kembali ular itu menggeliat, tapi sesuatu kembali terjadi, tiba-tiba saja ular itu memuntahkan apa yang sudah ditelanya, kami semua kompak menjerit bersama, bahkan Lakso melemparkan Ayu dari Punggungnya karena kaget, kemudian ular itu dengan santai melenggang pergi berbalik meninggalkan kami yang sedang trauma dan jantung kami hampir copot dibuatnya, Lakso menutup mukaku dengan kedua tanganya.
" tenang, itu hanya mayat " kata Lakso.
Ayu siuman dari pingsanya, kemudian menjerit dan meraung melihat mayat kakeknya yang begitu mengerikan, kami mematung tidak tahu harus bagaimana.
" aku pastikan kalian semua akan mati " kemudian gadis itu berlari masuk ke dalam hutan,
" Tunggu... " kataku berusaha mencegah.
" sudahlah, biarkan ini adalah rumahnya" kata Pradaba, setelah kami tenang kami segera pergi dari tempat itu dengan berjalan cukup jauh, sampai kami menemukan kembali kuda-kuda kami yang lebih dulu lari mencari selamat.
Selama beberapa hari Pradaba di rawat oleh wuni, kondisi Pekanten mulai kondusif, tidak ada lagi hal aneh yang terjadi lagi, pelan-pelan kami mulai melupakan peristiwa di telaga Bidadari,
pembangunan tanah perdikan Pekanten tampak semakin maju, penduduk yang tinggal sudah banyak, pasar sudah berjalan normal, layanan kesehatan juga cukup, ketahanan ekonomi bisa dibilang stabil, dan kami masih terus membuka lahan sebagai pemukiman baru, pertahanan dan keamanan bisa dibilang baik, kami mempunyai pasukan yang melindungi wilayah kami, hubungan diplomasi dengan tetangga juga sangat baik, nama Ki Gedhe Pekanten Pradaba semakin berkibar walau dia adalah orang yang masih sangat muda dia dikenal cerdas, baik dan bijaksana. dua tahun yang tidak sia-sia, tugasku membantu menjadikan tanah perdikan Pekanten wilayah yang layak huni sepertinya sesuai ekpetasi.
" ni, ada Ki Gedhe " kata seorang anak muda yang membantu Wuni di kliniknya dan tinggal bersama kami di rumah memberi tahu kedatangan Pradaba ke rumah kami, aku segera menemuinya, kami saling melempar senyum, kami sebenarnya jarang berinteraksi secara pribadi, hanya pekerjaan yang sering menyatukan kami, aku mendengar ada utusan yang datang dari kotaraja hari ini, mungkin ini berhubungan denganku.
" tumben sekali kakang mengunjungiku " kataku berbasa-basi, walaupun Pradaba adalah seorang pemimpin wilayah ini tapi aku juga mempunyai kedudukan prajurit menengah, secara hierarki aku bukan bawahannya secara langsung.
" ada yang ingin kubicarakan denganmu " kata Pradaba, aku pikir dia pasti akan membicarakan tentang pekerjaan atau tanah perdikan yang sedang kami bangun ini.
" aku siap mendengarkan kang , apakah ada perintah untuku ?" kataku,
" waktumu di sini tinggal beberapa saat lagi, Selir Gatari akan segera menarikmu kembali ke kotaraja " kata Pradaba mengawali kata-katanya, memang seperti itulah dua tahun yang di janjikan, aku harus kembali ke kesatuanku, aku merasa waktu untuk kembali ke pasukan semakin dekat.
" perintah penarikan pasukan sudah datang dari kotaraja, tapi tidak berbarengan dengan penarikanmu, akan ada pasukan pengganti, mungkin kita akan pergi bersama menghadap setelah ini " kata Pradaba, aku mengangguk mengerti, hal ini sudah biasa terjadi, aku harus membuat pengaturan pasukan baru sebelum benar-benar pergi dari Pekanten.
" aku mengerti kang, kapan pasukan baru akan datang " tanyaku
"mungkin dalam minggu ini " kata Pradaba.
" Apakah kau akan kembali ke pasukanmu " tanya Pradaba tiba-tiba seperti ada tulang yang menyangkut di tenggorokannya.
" tentu saja kang, aku tidak punya tujuan lain " kataku, tentu saja walaupun selir Gatari menjanjikan sebuah tanah di wilayah lumajang, itu nanti untuk masa pensiunku bukan sekarang, aku masih senang berada di pasukan.
" Apa kau tidak ingin tinggal disini saja bersamaku ?" tiba-tiba dia bertanya sesuatu dan aku diam tidak memahami apa maksud dari perkataannya.
" maksudku kalau kau berkenan, kita bisa menikah dan membangun wilayah ini bersama, mungkin kelak anak-anak kita tidak bisa mewarisi tanah ini tapi kita akan menyiapkan pekerjaan yang lain untuk mereka " aku melongo mendengar Proposal pengajuan pernikahan ini.