GUBRAAKK !! Suara itu menyerupai nangka berukuran 'babon' jatuh dari pohon yang tinggi. Xavier (Zac) segera berlari meloncati semak-semak untuk segera mengambil nangka yang jatuh. Sesampainya di bawah pohon nangka, Xavier tidak melihat satu pun nangka yang jatuh. Tiba-tiba...
"Siapapun di sana tolong aku, pangeran berkuda putih, pangeran kodok pun tidak apa-apa, tolong akuu ... "
Di sanalah awal pertemuan dan persahabatan mereka.
***
Xavier Barrack Dwipangga, siswa SMA yang memiliki wajah rusak karena luka bakar.
Aluna Senja Prawiranegara, siswi kelas 1 SMP bertubuh gemoy, namun memiliki wajah rupawan.
Dua orang yang selalu jadi bahan bullyan di sekolah.
Akankah persahabatan mereka abadi saat salahsatu dari mereka menjadi orang terkenal di dunia...
Yuks ikuti kisah Zac dan Senja 🩷🩷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Pisah Tanpa Kata Putus
Deru motor sport berkejaran dengan waktu menuju bandara. Dua pemuda memacu roda duanya dengan kecepatan tinggi. Ketika mereka sampai di parkiran Bandara Soeta, Zac dan Sam segera berlari mengejar Senja dan mamanya di terminal 3 bandara.
"Senja!" teriak Zac saat punggung gadisnya terlihat dari kejauhan.
Senja menoleh, berhenti berjalan lalu meminta ijin pada mamanya. Monica mengangguk pelan tanda menyetujui. Mendapat lampu hijau dari mamanya ia langsung menyongsong Zac dan Sam dengan berlari ke arahnya.
"Nja, jangan lari!" teriak Sam, khawatir adiknya terjatuh.
"Kak Zac!" teriak Senja melemparkan tubuhnya pada dada Zac.
Sam menaikkan tangan kanannya untuk mencegah para bodyguard kakeknya mendekati mereka, tatapannya membelah udara menjadi garis batas privasi yang dilarang untuk dilewati.
Zac memeluk Senja dengan penuh perasaan, mengecup pucuk kepala Senja dengan lembut.
"Kak, maafkan aku, maafkan aku... Huhuhu."
"Ssstt ... Kamu nggak salah, Nja. Kak Zac nggak pernah marah padamu. Kamu sudah baca surat kakak, kan?" tanyanya lembut
Senja menggeleng, "suratnya disita Grandpa Morgan, Kak."
Zac mendengus perlahan, ia sudah menduganya, tapi dia tidak bisa marah. Ia membingkai wajah Senja yang semakin tirus dan layu. Matanya sempat bergetar menahan sedih dan airmata melihat kondisi kekasihnya. Ia terdiam sebentar hanya untuk menyimpan di memorinya setiap inchi wajah sang kekasih.
"Senja ... Aku tidak pernah membencimu, kamu harus ingat itu. Aku mencintaimu sampai kapan pun, jaga hati mungil mu hanya untukku. Suatu hari, saat aku sudah memiliki segalanya yang pantas dibanggakan, aku akan datang mencari mu, meminta kamu pada keluargamu, Nja."
"Ka Zac minta, jangan pernah benci Papamu, Sayang. Dia melakukan semua itu karena dia sangat menyayangimu, cinta dan sayangnya Papa Bastian lebih besar dari siapapun, termasuk aku. Percayalah semua akan baik-baik saja, aku dan Sam akan memperjuangkan agar Papa Bastian tidak mendapat hukuman berat dan keluarga kalian bisa berkumpul lagi."
"Kenapa kakak masih baik pada kami, setelah apa yang Papa lakukan, Papa kejam kak, dia tidak punya hati."
"Sstt... Nggak boleh bilang begitu, itu karena Papa Bastian khilaf, semua manusia pasti pernah salah, aku, kamu, siapapun pasti pernah salah dan khilaf. Kita hanya butuh melapangkan dada untuk memaafkan."
"Kak ... Aku takut kehilanganmu, aku nggak mau pindah ke Jerman," rengeknya seperti bayi.
"Jerman bukan tempat yang buruk, kamu bisa mengembangkan ilmu seni rupa yang kamu punya, bisa sekolah balet di Staatsballett Berlin. Saat liburan musim semi nanti aku akan ke sana untuk menemui mu."
"Aluna!" teriak Morgan memanggil Senja. Zac melerai pelukannya pada Senja dan menggenggam tangan gadisnya yang gemetar.
Zac memasukan sesuatu ke dalam saku jaket Senja, sebuah kotak yang berisi liontin dan sepucuk surat.
"Grandpa, biarkan mereka—" cegah Sam
"Diam kamu, minggir!" murkanya.
Pria paruh baya berwajah bule itu sangat tidak bersahabat, alisnya yang tebal dan sedikit beruban berkumpul di tengah batas hidungnya yang mancung dan tinggi. Tatapannya setajam elang yang siap mencabik mangsa. Bibirnya yang tipis dan kendur mengerucut menutup rapat mulutnya agar tidak melontarkan cacian yang berlebihan.
Ketika jarak mereka kian menipis, tangan kekarnya yang mulai keriput menarik tangan cucu perempuannya dengan kasar. Dia menarik tubuh Senja menjauh dari Zac, lalu menyembunyikan gadis itu di balik tubuhnya yang tinggi besar.
Kini Zac tahu, wajah Sam banyak mengambil dari lelaki yang mungkin masa mudanya sangat tampan dengan wajah dan perawakan bule. Zac mengangguk sopan dan ingin mengambil telapak tangan lelaki paruh baya itu, namun tangan Zac ditepis dengan kasar.
Ia menunjuk wajah Zac dengan tatapan merendahkan. "Kamu! Apa di rumahmu tidak mempunyai kaca besar, lihat penampilanmu, apa pantas kamu berdiri di samping cucuku, Scheiß*!" Ia mengumpat kasar dengan bahasa Jerman.
"Grandpa, aku tahu aku saat ini bukan waktu yang tepat mengatakan bahwa aku mencintainya, tapi suatu hari aku akan datang menemui grandpa untuk meminta Senja," ucap Zac jujur
"Kamu pikir kesempatan itu ada?" cemooh nya.
Tenggorokan Zac terasa tercekat oleh kenyataan. Ia terdiam, tidak ingin menanggapi amarah yang berapi-api dari kakeknya Sam dan senja.
"Bawa mereka ke boarding lounge, kalau lelaki buruk rupa ini masih berada di sekitar cucuku, jangan segan untuk mematahkan kakinya!" perintahnya pada para bodyguard.
"Grandpa!" Zac mencoba mengejar Senja.
"Senja! Baca pesanku!" teriak Zac
Sam menahan lengan Zac sambil menggelengkan kepalanya. "Seperti itulah kakekku, Zac. Kamu bisa menilai sendiri kenapa Papaku begitu keras padamu, karena Grandpa lebih keras kepala Zac. Bagi dia, kehormatan keluarga diatas segalanya."
Mata zac berkaca-kaca saat Senja terus ditarik menjauhi mereka, gadis itu terus meronta dan menoleh ke belakang. Hingga punggung itu menghilang di balik dinding pembatas, Zac hanya bisa pasrah dengan dada yang terasa nyeri. Kenapa akhir pertemuannya dengan Senja harus seperti ini. Ia tertunduk lesu.
Lama mereka duduk di kursi bandara, berharap sebuah keajaiban akan datang. Hingga Sam menyampaikan pesawat ke Eropa sudah take off setengah jam lalu.
"Kenapa kamu tidak ikut ke Jerman? Siapa yang akan jaga Senja?" tanya Zac seraya menoleh ke arah Sam, ada sisa airmata di bulu matanya yang tebal.
"Kakek membenciku. Baginya cucu keluarga Morgan hanya dua orang, Shaka dan Senja."
"Why?"
"Mama sempat koma saat melahirkan ku, apa itu salahku, menurutmu?"
Zac menggelengkan kepala seolah tak percaya dengan pernyataan Sam. "Di dunia ini ada kakek seperti itu?"
Sam mengangkat singkat bahunya, lelah.
"Perjalanan cintaku berat sekali, Sam."
"Semangat Bro!" Sam menepuk pelan kepala Zac. "Lupakan sedih, kita habiskan masa liburan ini dengan bahagia. Aku butuh penyegaran, kita squash di Padel, hm?"
"Itu cara kamu penyegaran? Kamu mau cari sugar baby di sana? Ku beritahu, ada tempat yang bisa membuatmu ketagihan datang ke sana."
"Oh yeah? bawa aku ke sana, Zac."
Dua motor sport itu memacu adrenalinnya di jalanan menuju tempat yang Zac janjikan. Mereka tiba di sebuah tempat latihan wall climbing di daerah Sudirman.
"Climbing?" tanya Sam sedikit ngeri, olahraga yang belum pernah ia coba.
"Di sini kamu akan memacu adrenalin, tubuhmu akan segar dan 'cuci mata'," goda Zac sambil mengedipkan sebelah matanya.
Mereka menyewa sepatu dan membeli outfit yang sesuai dengan olahraga climbing. Ketika mereka berjalan memilih wall yang cocok untuk pemula, seorang gadis menyapa Zac dari puncak di dinding setinggi dua puluh meter.
"Bonyok! Akhirnya lo mampir juga ke sini!" teriak Rosi dari ketinggian empat belas meter.
Sam mendongakkan kepala ke arah sumber suara lalu membuka mulutnya, satu kata yang terucap 'Gila!' pada gadis yang berani menampar wajahnya saat itu. Rosi memakai baju crop top ketat, di bagian bahu dan lengannya terbuka hingga menampakkan ototnya yang kuat dan keras.
Srreekk!
Tali climbing meluncur turun dengan posisi kepala Rosi di bawah. "Hap!" pekiknya melakukan salto dan berdiri di depan Zac.
"Ayo mulai!" ajak Rosi tidak sabaran.
"Bukan aku yang kamu lawan, tapi dia." Zac menunjuk Sam
"Hmm... Aku meragukan kemampuannya, dia hanya jago menghina orang dan meninggikan kesombongannya belum tentu bisa melawanku di sini."
"Hei, jangan sombong kamu!" Sam melirik Rosi dengan kesal.
"Kamu bisa katakan aku cewe gila dan sombong kalau kamu bisa melawanku!" tantang Rosi
"Okey, siapa takut!" suaranya sedikit bergetar, karena ia belum pernah mencoba olahraga tersebut, tapi gengsi mengalahkan rasa takut dan segalanya. Sam mengambil alat-alat untuk tanding melawan Rosi, perempuan arogan yang pernah menampar pipinya.
"Kamu yakin ingin melawannya, Sam? Dia perempuan sedikit g*ila," sindir Zac
"Apa aturannya dalam permainan ini?" tanya Sam merancang strategi di kepalanya.
"Kamu hanya butuh waktu lebih cepat darinya," jawab Zac membantu memasangkan karabiner.
"Tidak ada pengurangan nilai jika ada kecurangan?"
"Kurasa dia sangat licik, jadi tidak masalah," dusta Zac dengan senyum penuh misteri.
Daripada dilanjut jadi 2000 kata. Bersambung aja deh, lanjutannya episode berikutnya... 🩷
jalan masih panjang, raih mimpi sampai sukses ❤🤗
,, Zac dan Sam fokus menjalin persahabatan dulu yaa, biar makin klop 😚❤
,, gk mau coba tengok k Dee 👉👈 👉👈