Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 — Memborong Biji Jarak (2)
Kuda Suraghana melangkah mantap di atas jalan tanah yang membelah pemukiman desa.
Udara pagi masih lembap, membawa aroma asap dapur dari tungku-tungku bambu di kejauhan.
Di hadapannya, satu prajurit menunggang lebih dulu.
Dua lainnya mengikuti di belakang, menjaga jarak dengan langkah kuda yang teratur.
Halaman luas di tengah desa itu tampak tenang sesaat,
hingga beberapa penduduk berlarian kecil sambil berseru riuh,
“Pangeran datang!”
“Pangeran Galuh datang!”
Suara mereka menggema di antara rumah-rumah bambu, membuat orang-orang keluar dari halaman, menunduk hormat saat rombongan itu melintas.
Tak lama, Ki Lurah keluar tergopoh dari pendopo, diikuti beberapa pejabat desa.
Juru Wilah berjalan cepat sambil memeluk gulungan lontar di dadanya, sementara Juru Banyu melangkah di belakang, kulitnya legam oleh matahari dan kerja keras di sawah.
Mereka menunduk serempak, gugup namun penuh hormat di hadapan sang Pangeran.
“Duh Gusti Pangeran...” Ki Lurah menangkupkan tangan di dada, tubuhnya sedikit membungkuk.
“Seandainya kami tahu kedatangan Paduka, tentu kami siapkan sambutan yang lebih layak."
Suraghana menurunkan dirinya dari kuda. Gerakannya tenang, matanya lembut namun berwibawa.
“Tidak perlu berlebihan, Ki Lurah,” ujarnya .
“Aku datang bukan untuk jamuan. Cukup secangkir air pun tidak mengapa"
Ki Lurah memberi isyarat pada istrinya untuk menyiapkan tempat duduk di pendopo.
Pendopo itu sederhana, tiang kayu jati menopang atap sirap, dan di tengahnya tersusun meja bambu serta tikar pandan.
“Silakan, Pangeran...” ujar Ki Lurah menunduk. “Air hangat dan sedikit singkong rebus, cocok di makan di pagi hari.”
Suraghana mengangguk, duduk perlahan. Ia menatap sekeliling, dinding pendopo berhias anyaman bambu, dan dari celahnya tampak sawah yang mulai menghijau.
“Wilayahmu subur,” katanya tenang. “Aku melihat banyak sawah dan ladang palawija di sepanjang jalan masuk sudah mulai layak panen.”
Juru Banyu tersenyum bangga. “Syukur pada Yang Maha Agung, Pangeran. Sejak saran dari Yang Mulia Raja untuk membuka saluran air dari sungai kecil di sebelah timur, lahan yang dulu tandus kini bisa ditanami.”
“Bagus,” Suraghana mengangguk. “Dan hasilnya?”
Ki Lurah menjawab sambil menunduk hormat.
“Baik adanya, Pangeran. Akhir-akhir ini harga biji jarak juga bagus. Jadi warga mendapat penghasilan tambahan.”
Suraghana menatap lurah itu.
“Apakah bijinya diolah sendiri untuk kebutuhan lentera di wilayah ini?”
Juru Wilah, yang duduk di sebelah kiri Ki Lurah, menjawab,
“Sebagian, Pangeran. Namun karena tak banyak yang mampu mengolah, jadi lebih banyak dijual ke luar wilayah.”
Suraghana mengambil sepotong ubi rebus yang masih hangat dari piring tanah liat.
“Ke luar wilayah?” tanyanya tajam. “Apakah para petani sendiri yang membawanya keluar?”
“Tidak, Pangeran,” sahut Ki Lurah cepat. “Para saudagar di sini yang menjadi pengepul seperti biasa. Mereka membeli dari warga, lalu menjualnya kembali pada saudagar lain.”
“Saudagar lain?” ulang Suraghana.
Ki Lurah mengangguk pelan. “Betul, Pangeran. Kalau tidak salah, tadi pagi-pagi sekali ada pedagang dari luar wilayah datang. Mereka mengambil dua karung besar biji jarak.”
Suraghana mengerutkan alis. “Pagi-pagi sekali?”
“Ya, Pangeran,” jawab Juru Wilah. “Katanya mereka dari tempat jauh. Jika berangkat terlalu siang, kuda mereka akan cepat lelah karena membawa beban berat.”
Suraghana menatap bergantian antara keduanya.
“Hanya dengan kuda?”
“Benar, Pangeran,” ujar Ki Lurah polos. “Dua ekor kuda. Mereka datang tanpa banyak bicara, hanya menimbang, membayar, lalu pergi.”
Suraghana menaruh kembali sisa ubi di piring, matanya menajam.
“Kalian tahu dari mana asal mereka?”
Ki Lurah mencoba mengingat. “Mereka menyebut dari arah barat, Pangeran... tapi tak menyebut nama desa. Seperti pedagang biasa.”
Hening sesaat.
Angin yang masuk dari celah pendopo menggoyangkan tirai bambu di belakang mereka.
Suraghana memandang keluar, ke arah jalan tanah yang tadi ia lewati. “Dua kuda, dua karung besar... dan berangkat sebelum matahari terbit,” gumamnya perlahan.
Ia menatap Ki Lurah lama, bukan curiga, melainkan menimbang.
Ia tahu lurah di wilayah ini terkenal jujur. Bila ia berkata tidak tahu, maka memang tak ada yang disembunyikan.
Akhirnya Suraghana berkata dengan nada lembut,
“Baiklah, Ki Lurah. Kalau begitu, adakah keluhan atau kekhawatiran di wilayahmu yang perlu kusampaikan kepada Ayahanda Raja?”
Ki Lurah tampak ragu. “Masalah kami sederhana, Pangeran. Mungkin tak layak sampai ke telinga Raja Wretikandayun...”
“Tak apa,” sahut Suraghana tenang. “Katakan saja. Apa yang mengganggumu sebagai kepala wilayah?”
Ki Lurah menghela napas panjang. “Memang benar, Pangeran, akhir-akhir ini biji jarak bernilai tinggi. Warga senang, penghasilan meningkat. Tapi...”
Ia menatap ke luar pendopo, ke arah ladang yang menguning.
“Hamba khawatir jika terlalu banyak menanam jarak, maka palawija akan tersingkir perlahan. Padahal, palawija itulah yang selama ini menyelamatkan kami di masa paceklik.”
Suraghana diam mendengarkan dengan seksama.
Lurah itu menunduk semakin dalam.
“Hamba hanya takut, Pangeran... jika rakyat kami menjadi serakah....Jika hanya bergantung pada satu jenis tanaman tumbuh di atasnya, apakah bumi ini masih mau memberi kami kehidupan lain?”
Suraghana menatapnya lama sebelum berbicara.
“Kekhawatiranmu bukan hal kecil, Ki. Justru dari hal-hal sederhana yang sering diabaikan seperti inilah sebuah negeri bisa goyah... atau tetap berdiri.”
Ia menegakkan duduknya.
“Mungkin jika harga palawija dan padi sebanding dengan biji jarak, rakyat akan berpikir untuk bertani lebih seimbang.”
“Yang utama,” lanjutnya, “tetap penuhi lumbung wilayah kalian. Itu perisai di musim paceklik.
Sedangkan untuk palawija, di beberapa wilayah lain harganya cukup mahal. Kalian bisa menyalurkan hasil panen ke sana.”
Suraghana lalu mengambil gulungan daun lontar dari sabuknya, membuka bagian kosong, dan menulis beberapa nama wilayah dengan arang hitam.
Ia menyerahkannya kepada Juru Wilah.
“Bicarakan ini dengan para saudagar dan bangsawan. Pertimbangkan jarak tempuhnya.
Hitung berapa lama mengepul palawija dan berapa gerobak yang harus penuh agar perjalanan tidak merugi.
Dengan begitu, petani mendapat harga layak, dan saudagar pun tetap beruntung."
Suraghana menatap sekeliling sebelum melanjutkan, "Mungkin dengan begitu, rakyat tidak tergiur untuk menyingkirkan ladang-ladang palawija.”
Ki Lurah menunduk dalam-dalam. “Titah Pangeran... akan segera hamba laksanakan.”
Suraghana hendak meneguk air di gelas tanah liat, tapi mendapati isinya telah habis.
Melihat itu, Ki Lurah memberi isyarat.
Tak lama, seorang perempuan paruh baya keluar membawa kendi berisi air hangat.
Di sampingnya berjalan seorang gadis muda dengan nampan berisi kedelai dan jagung rebus.
Wajah gadis itu bersih, pipinya bersemu merah karena gugup. Ia menunduk dalam.
“Silakan, Pangeran...” katanya lirih.
Suraghana tersenyum sopan, menerima air hangat itu.
“Terima kasih,” ucapnya tenang.
Di sudut pendopo, seorang Danghyang tua yang sedari tadi duduk bersila dalam diam menatap pemandangan itu dengan mata teduh.
Jubahnya bergoyang lembut ditiup angin pagi.
Di tangannya tergenggam akṣamālā, untaian biji suci yang biasa ia gunakan untuk japa.
Butiran itu bergerak perlahan di antara jemarinya, seirama dengan napas dan doa yang lirih.
Ia menunduk, menggumamkan mantra dalam bahasa Sanskerta,
“Semoga tanah ini tetap subur oleh kebajikan,
dan hati para pemimpinnya senantiasa terang oleh dharma,”
ucap sang Danghyang pelan.
Suraghana sempat menoleh, seolah menangkap getaran doa itu.
Ia menatap sang pendeta tua, lalu membalas dengan anggukan pelan.
“Begitu juga... untuk seluruh rakyat Galuh,” balasnya mantap.