Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 - Eddie
Vee
Kata-kata Elara masih bergema di dadaku. “Aku hamil, Vee.” Kalimat sederhana itu sehangat selimut di musim dingin. Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat membantu Elara mengeringkan piring. Ia tampak lebih ringan, matanya berbinar, bahunya tak lagi tegang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa diterima dalam keluarga yang saling mencintai. Rasanya… aman. Sebuah kata yang jarang bisa kugunakan dalam hidupku.
Ponselku berdering, memecah ketenangan itu. Nama Chloe muncul di layar. Aku mengangkatnya. “Hey, Chloe, ada apa?”
Suaranya terburu-buru, panik. “Vee, kamu harus kembali sekarang juga.”
Perutku mengencang. “Kenapa? Ada apa?”
“Adikmu. Eddie. Dia di sini.”
Dunia seolah berhenti berputar. “Eddie? Apa maksudmu di sini?”
“Dia muncul di asrama. Terbang sendirian dari California. Vee, dia bilang harus ketemu kamu. Dan dia… dia kelihatan nggak baik-baik saja.”
Napasku tercekat. Edward Sinclair. Lima belas tahun, keras kepala, dan terlalu pintar untuk usianya. Satu-satunya hal baik yang tersisa dari masa laluku. Dan sekarang dia di sini, melintasi negara hanya untuk menemuiku.
Satu detik aku masih berdiri di dapur bersama Elara, dan detik berikutnya aku sudah berlari ke ruang tamu. “Tyler,” suaraku hampir tak terdengar, “bisa antarkan aku ke asrama? Eddie—adikku—dia terbang sendirian ke sini.”
Ia menatapku sesaat. Terkejut, tapi dengan cepat kembali tenang. “Let’s go,” katanya singkat, lalu meraih jaketnya.
Kami berpamitan terburu-buru. “Terima kasih banyak sudah mengundangku makan siang disini,” ucapku cepat, menatap Thomas dan Elara.
Thomas hanya mengangguk pelan, tapi matanya menyiratkan sesuatu antara khawatir dan penasaran. Elara menggenggam tanganku erat. “Pergilah. Jaga dia. Dan kabari aku kalau kamu butuh apa pun.”
Aku hanya sempat mengangguk. “Terima kasih…”
Perjalanan pulang terasa panjang dan sunyi. Tanganku gelisah di pangkuan, jari-jariku memutar pita di rambut sampai hampir terlepas. Tyler menyetir dengan tenang, tapi aku tahu ia memperhatikan dari sudut matanya.
“Adikmu,” katanya akhirnya. “Umurnya berapa?”
“Lima belas.” Aku menelan ludah. “Dia masih anak SMA. Nggak seharusnya bepergian sejauh itu sendirian.”
“Menurutmu kenapa dia datang?” Nada suaranya hati-hati, tapi jujur seolah takut terdengar terlalu menekan.
Aku menggeleng, suara tercekat. “Aku nggak tahu. Dan itu yang paling menakutkan.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Eddie nggak ceroboh. Kalau dia nekat sampai sini, pasti ada sesuatu yang serius. Sesuatu yang dia nggak bisa dia ceritakan lewat telepon.”
Aku menekan tangan ke mataku, menahan air mata. “Mungkin Ayah. Mungkin dia melakukan sesuatu lagi…”
Tyler tidak menjawab. Suara mesin mobil mengisi ruang di antara kami, berat dan dingin.
Lalu, suaranya terdengar, datar, tapi mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan. “Kalau memang begitu,” katanya pelan, “kita akan hadapi bersama.”
Itu bukan janji. Bukan kata manis. Hanya kepastian sederhana, tapi cukup membuat napasku bergetar.
Aku menatap keluar jendela. Jalanan Ashenwood membentang sepi di bawah langit kelabu. Dan di dalam mobil itu, di tengah sunyi yang ganjil, aku tahu satu hal pasti
Aku tidak sendirian lagi.
\~\~\~
Aku setengah berlari di lorong menuju kamar. Tyler hanya beberapa langkah di belakangku.
Ia bersikeras ikut, dan aku tidak punya tenaga untuk berdebat. Setiap detik berharga.
Pintu kamarku sedikit terbuka. Chloe duduk di kursi belajar, wajahnya tegang, dan di ujung tempat tidur, aku melihatnya—Eddie.
Duduk membungkuk, dengan tas di kakinya, bahunya kecil, tapi matanya langsung berbinar saat melihatku.
“Dasar bodoh…” suaraku pecah sebelum bisa kutahan. “Apa yang kamu pikirkan, hah? Bagaimana bisa kamu terbang sejauh ini tanpa bilang padaku dulu? Kamu masih anak-anak, Eddie!”
“Aku lima belas tahun, Vee!” balasnya cepat, suaranya naik satu oktaf. “Aku bukan anak kecil lagi!”
“Oh ya?” Aku menatapnya tajam. “Selama aku masih hidup, kamu tanggung jawabku! Sekarang jelaskan, apa yang kamu lakukan di sini?”
Jawabannya datang seperti tamparan. “Mungkin kalau kamu baca pesanku, atau angkat teleponku seminggu ini, kamu bakal tahu apa yang terjadi.”
Kata-katanya menusuk dalam dan tajam. Aku mematung. Dadaku mengencang, dan rasa bersalah menelan semua amarahku. Dia benar. Aku tahu ada pesan-pesannya, tapi selalu kuabaikan—syuting, editing, euforia bertemu Thomas, semuanya membuatku lupa… pada satu hal terpenting yaitu Eddie.
Tyler melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Suaranya tenang tapi tegas. “Kita bicarakan baik-baik. Tanpa teriak.”
Chloe berdiri, menepuk bahuku pelan. “Aku kasih kalian privasi ya,” bisiknya sebelum keluar, menutup pintu di belakangnya.
Keheningan menggantung beberapa detik sebelum pecah oleh suara tangisan pelan.
Eddie. Bahunya bergetar.
“Aku kangen kamu, Vee,” ucapnya di sela isak. “Ayah sering membawa satu wanita ke rumah belakangan ini. Minggu lalu… dia bilang mau menikahinya. Tapi dia bilangnya kayak bukan minta pendapatku, cuma ngasih tahu. Dia bicara kayak Ibu nggak pernah ada.” Suaranya pecah, tubuhnya gemetar. “Aku butuh kamu.”
Aku duduk di sebelahnya, menariknya ke dalam pelukanku sebelum ia sempat hancur lebih dalam. Tubuhnya menempel di pundakku, menangis seperti anak tujuh tahun yang ketakutan. Aku langsung teringat beberapa tahun lalu saat ia menangis saat diejek teman-temannya karena tidak memiliki ibu. Dadaku sesak. Lima belas tahun aku tidak pernah meninggalkannya, dan lihat apa yang terjadi begitu aku pergi enam bulan.
“Maafkan aku, Ed…” bisikku, menahan air mata. “Maafkan aku.”
Ia tidak menjawab, tapi genggamannya di bajuku semakin erat. Beberapa menit kemudian, napasnya mulai tenang. Aku membiarkan dia bersandar di bahuku lebih lama. Tyler, tanpa banyak bicara, menuangkan air dan memberikannya ke Eddie.
Hanya kehadirannya yang membuat ruangan terasa sedikit stabil kembali.
Tapi di dalam diriku, amarah perlahan membara. Aku tahu pada siapa aku harus melampiaskannya.
Aku menyisir rambut Eddie ke belakang, menatap wajahnya. “Tunggu sini ya. Dua menit saja.”
Ia menatapku khawatir. “Vee—”
Aku memotongnya, memaksakan senyum. “Aku janji, cuma sebentar.” Aku meremas tangannya sebelum keluar kamar.
Lorong asrama terasa sunyi dan dingin. Aku berjalan cepat ke arah tangga, jauh dari pintu-pintu kamar. Aku tahu Tyler mengikutiku, tapi aku tidak berhenti. Tanganku gemetar saat mencari kontak di ponsel.
Richard.
Nama yang selalu kutulis tanpa embel-embel Ayah. Karena dia tidak pantas.
Aku menekan tombol Call.
Nada sambung berdering beberapa kali sebelum suara itu terdengar. Tenang dan dingin. “Victoria. Kejutan yang menyenangkan. Ada apa kali ini?”
“Jangan pernah panggil aku dengan nama itu lagi.” Suaraku rendah, bergetar tapi tajam. “Apa yang salah dengan otakmu, Richard? Anakmu terbang sendirian dari California ke Ashenwood. Remaja lima belas tahun, sendirian, dan kamu bahkan nggak sadar?”
Sunyi beberapa detik. Lalu suaranya, dingin dan berjarak “Jaga bicaramu, Victoria.”
“Bisa-bisanya kau menarik Eddie kedalam kekacauan yang kau buat!” suaraku naik, menekan setiap kata. “Kau cerita soal pernikahan ke anak lima belas tahun? Kau bahkan nggak pernah cerita tentang ibu dengan Eddie, seolah-olah Ibu nggak pernah ada. Kamu nggak bisa melampiaskan rasa bersalahmu padanya!”
Tarikan napasnya terdengar, tajam dan malas. “Kau berlebihan. Edward harus belajar bahwa hidup terus berjalan.”
“Ya, hidup terus berjalan untukmu, begitu kau selingkuh dari Ibu!” Suara teriakanku menggema di sepanjang lorong. Aku tidak peduli. “Kau tidak bisa menghapusnya, Richard! Dan jangan kau berani menggunakan Eddie untuk memulai hidup barumu!”
Hening.
Lalu suaranya terdengar lagi, dingin dan menusuk. “Hati-hati dengan nada bicaramu, Victoria. Jangan lupa siapa yang membiayai impian filmmu itu di Ashenwood.”
Aku membeku.
Peganganku di ponsel mengencang. Untuk sesaat, aku tak bisa bernapas. Tapi Tyler ada di sampingku, diam tapi menguatkanku, tangannya menekan bahuku pelan. Matanya menyiratkan Jangan biarkan Richard Sinclair menang.
Aku menarik napas panjang, menegakkan kepala. “Satu hal lagi, Richard,” kataku perlahan. “Kalau kau berani menyakiti Eddie lagi, aku bersumpah akan membawanya pergi. Dan kau tidak akan pernah melihat kami lagi. Selamanya.”
Aku menutup telepon sebelum ia sempat menjawab. Tanganku bergetar. Nafasku pendek. Tapi entah bagaimana, aku merasa sedikit lebih kuat.
Tyler tidak berkata apa pun. Ia hanya berdiri di sana, masih dengan tangan di bahuku—hangat, kokoh, tenang. Dan itu cukup.
Kami berjalan kembali ke kamar. Dari balik pintu, masih terdengar isak kecil Eddie.
Adikku. Tanggung jawabku.
Dan kali ini, aku berjanji dalam hati—aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun melukainya lagi.
\~\~\~