Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Riana tertawa kecil melihat keributan di rumah sakit.
Ia langsung menghubungi Umi Farida yang ada di tempat lain.
"Umi, rencana umi berhasil. Santet yang umi lakukan berhasil. Sekarang Erlin pergi jauh dari Abimanyu."
Umi Farida tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan dari Riana.
Setelah itu Riana mematikan ponselnya dan memanggil taksi.
Sementara itu di tempat lain Abimanyu masih mengejar Erlin yang masih melajukan motornya sekencang mungkin.
“Ya Allah, lindungi dia. Jangan biarkan dia celaka. Aku rela dihina, dibenci, asal jangan ambil dia dariku,” doa Abimanyu berkali-kali, tangannya menggenggam erat setir.
Erlin menoleh sekilas ke belakang, melihat mobil Abimanyu yang terus membuntuti.
“Kenapa dia terus mengejarku?! Aku tidak butuh dia! Pergi dan jangan ikuti aku!!” teriak Erlin, meski hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Tiba-tiba, sebuah truk besar melintas dari arah berlawanan.
Abimanyu melepaskan setang sepeda motornya dan lompat ke arah Erlin.
BRAKK!!
Dentuman keras terdengar saat motor mereka hancur, pecahan kaca dan logam beterbangan. Debu dan asap menyelimuti jalan.
Abimanyu menahan Erlin di dadanya, merasakan denyut napasnya yang tersengal, wajahnya pucat dan penuh luka lecet.
“Lin, bangun, Lin! Abi di sini!” teriak Abimanyu sambil mengguncang tubuh Erlin dengan lembut.
Air matanya mengalir deras, sementara hatinya hancur melihat istrinya terluka karena dirinya tidak bisa melindunginya lebih cepat.
Erlin perlahan membuka mata, melihat sosok Abimanyu yang penuh luka tapi tetap menatapnya dengan kasih sayang.
"A-abi....."
Abimanyu menangis sesenggukan ketika mendengar suara istrinya yang memanggilnya 'Abi'.
Tak berselang lama Billy dan ambulans datang ke tempat lokasi
Mereka segera membawa Erlin dan Abimanyu ke dalam ambulans.
Di dalam ambulans, sirene meraung kencang menembus malam.
Erlin masih terbaring lemah di atas tandu, wajahnya pucat dengan beberapa lecet di pipi dan tangan.
Ia merasakan rasa sakit di kepala dan di seluruh tubuhnya.
Namun, di balik rasa takut itu, ada secercah kehangatan yang muncul dari genggaman Abimanyu.
“Abi, suruh lelaki itu pergi. Aku takut. Aku takut, Bi." ucap Erlin dengan matanya yang masih menutup.
Abimanyu langsung terkejut ketika mendengar perkataan dari istrinya.
Abimanyu menatap wajah Erlin yang pucat, bibirnya bergetar menahan perasaan campur aduk antara cemas, marah, dan sedih.
“Lin, siapa yang kamu maksud, sayang? Tenang dulu, jangan panik. Abi di sini, nggak akan ninggalin kamu,” bisik Abimanyu sambil menggenggam tangan Erlin lebih erat, mencoba menyalurkan rasa aman.
Erlin tertawa terbahak-bahak dan tubuhnya memberontak.
"Bi, ada yang aneh dengan istri kamu." ucap Billy
Tak berselang lama ambulans telah tiba di rumah sakit.
Kyai Abdullah meminta dokter untuk membawanya ke kamar lain.
Dokter menganggukkan kepalanya dan sesampainya di kamar lain.
Abimanyu dan Billy mengikat tangan dan kaki Erlin.
Kyai meminta mereka untuk duduk dan melantukan ayat-ayat Al-Quran.
Tubuh Erlin langsung kembali kejang dan setelah itu tubuhnya melayang.
"Astaghfirullah!"
Dokter dan perawat yang ada disana langsung terkejut.
Kyai Abdullah dan Abimanyu memejamkan matanya.
Abimanyu telah masuk ke dimensi lain dan melihat istrinya yang terikat disana.
Di dalam dimensi itu, Erlin tampak melayang di udara, tubuhnya seolah tak lagi terikat gravitasi.
Matanya terbuka lebar, menatap kosong ke arah kegelapan yang menyelimuti sekelilingnya.
Suasana hening, hanya terdengar gemuruh samar seperti bisikan tak kasat mata.
Abimanyu merasakan jantungnya nyaris berhenti, ia menatap Erlin, tubuhnya gemetar, namun ia tahu satu-satunya cara untuk menyelamatkan istrinya adalah melalui doa.
“Lin, dengarkan aku! Abi di sini, Abi tidak akan meninggalkanmu. Tetap fokus, dan jangan biarkan mereka mengambilmu dari aku,” bisik Abimanyu, suaranya penuh keikhlasan dan keteguhan.
Erlin menatapnya dengan mata kosong, tapi secercah cahaya muncul di dalam bola matanya.
Sesuatu dalam dirinya seakan mengenali kehadiran Abimanyu, meski pikirannya masih terselimuti amnesia.
Kyai Abdullah mulai melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara tegas namun lembut.
Gemuruh suara itu memenuhi ruang mistis di sekeliling Erlin.
Tubuhnya bergetar hebat, namun ada rasa aman yang mulai menyusup ke dalam hatinya.
“Abi, aku tidak bisa, Aku takut…,” suara Erlin terdengar rapuh dari dimensi itu, nyaris tak terdengar oleh dunia nyata.
Abimanyu mengangkat tangannya, menyalurkan doa dan keteguhan hatinya ke arah Erlin.
“Lin, dengarkan aku! Aku tahu kamu takut, tapi Abi ada di sini. Kamu istriku, dan tidak ada satu pun yang bisa memisahkan kita. Pegang aku, pegang cintaku, Lin!”
Secercah cahaya putih muncul di sekitar Erlin, tubuhnya mulai stabil.
Ia merasakan kehangatan dari tangan Abimanyu, meski secara fisik mereka masih terpisah oleh dunia nyata.
Billy yang menyaksikan dari sisi lain tercengang, takut sekaligus kagum.
“Ya Allah, ini bukan hal biasa. Dia sedang berperang dengan sesuatu yang tak terlihat,” gumam Billy sambil menunduk.
Kyai Abdullah menatap Abimanyu penuh keyakinan.
“Bi, tetap tenang. Fokuskan hati dan doa kamu. Cinta yang tulus adalah kunci untuk menariknya kembali ke dunia nyata.”
Abimanyu menundukkan kepala, menahan air mata, dan melantunkan doa dengan suara yang pecah tapi mantap:
“Ya Allah, satukan aku dengan istriku, kembalikan dia ke sisi kami. Lindungi hatinya, lindungi jiwanya, dan jangan biarkan dia tersesat dalam kegelapan. Amin.”
Tiba-tiba, tubuh Erlin bergetar hebat, seolah ada tarikan kuat dari arah Abimanyu.
Cahaya di sekelilingnya semakin terang, memaksa kegelapan mundur.
Perlahan, tubuhnya mulai turun ke ranjang rumah sakit, napasnya tersengal tapi stabil.
Abimanyu segera meraih tangan Erlin di dunia nyata, menempelkan dahinya di tangan istrinya.
“Lin, aku di sini. Kamu aman sekarang.”
Erlin membuka matanya perlahan, melihat wajah suaminya yang penuh air mata dan ketulusan.
“Abi…?” suaranya lirih, masih samar tapi ada pengakuan di dalamnya.
Tubuhnya lemah, tapi hatinya mulai merasakan cinta yang tak bisa dipisahkan. Cahaya yang aneh dan dimensi gelap mulai memudar, meninggalkan kedamaian di dalam ruang perawatan.
Kyai Abdullah tersenyum tipis, menepuk bahu Abimanyu.
“Bi, kamu telah menjaga cintamu. Allah menunjukkan jalan bagi hamba-Nya yang bersabar dan tulus.”
Abimanyu memeluk Erlin dengan lembut, menahan tubuhnya yang lemah.
“Lin, tidak ada yang bisa memisahkan kita, aku berjanji. Kita akan melewati semuanya, bersama.”
Kyai Abdullah meminta dokter untuk membawa Erlin ke ruang perawatan.
Perawat kembali mendorong ranjang ke ruang perawatan
di ruang perawatan mereka kembali memasang selang infus
tak terserang lama Abi Husein dan ibu Minah datang ke rumah sakit
Mereka terkejut ketika mendapatkan kabar kalau Erlin melayang.
Abimanyu duduk disamping tempat tidur istrinya sambil menggenggam tangannya.
"Lin, kamu ingat apa yang terjadi?" tanya Abimanyu.
"Aku hanya ingat terakhir kalinya, kalau aku di rumah Abi Husein. Setelah itu aku tidak ingat. memang apa yang terjadi, Bi?" tanya Erlin.
Abimanyu menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau tidak terjadi apa-apa.