Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Calya menatap kotak kalung yang ada di tangannya. Ia tidak mengerti mengapa Aksa memberinya hadiah semahal ini. Ia mengambil ponselnya, memotret kalung itu, lalu mengirimkannya ke grup chat yang berisi Vira dan Jojo.
Tidak butuh waktu lama, ponsel Calya langsung dipenuhi notifikasi. Vira dan Jojo langsung heboh.
"CAL! GILA! ITU KALUNG LIMITED EDITION!"
"SUMPAH?! ITU KALUNG CUMA ADA EMPAT DI DUNIA INI! MAHAL BANGET!"
Calya hanya membaca balasan mereka dengan santai. Ia masih tidak terlalu peduli dengan kalung itu. Ia bahkan tetap mengenakannya di leher, entah mengapa.
"Eh, guys," ketik Calya di grup. "Besok gue nggak masuk sekolah."
"Loh, kenapa?" tanya Vira.
"gue... mau nikah," jawab Calya, membiarkan jarinya mengetik kata itu.
"HAH?!" Jojo dan Vira sama-sama terkejut.
"Serius, Cal? Dengan Aksa?" tanya Jojo.
"iya," jawab Calya, lalu menambahkan, "gue mau kabur. Tolongin gue, ya!"
Belum sempat Calya menyelesaikan ucapannya, sebuah notifikasi lain muncul di ponselnya. Kali ini dari Aksa.
"Jangan coba-coba kabur. Percuma."
Calya membelalakkan matanya. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan tidak percaya. "Kok dia tahu?" gumamnya. "Apa Aksa ini cenayang, ya?"
Ia sangat heran. Aksa seolah-olah bisa membaca pikirannya. Calya kembali mengetik di grup chat, "Gue harus gimana, guys? Dia tahu kalau gue mau kabur."
Ponselnya kembali bergetar, kali ini dari Vira dan Jojo. Mereka mengirimkan pesan yang sama, "Tenang, Cal. Kita pasti akan bantu."
...----------------...
Calya menunggu di kamarnya, berharap Vira dan Jojo akan datang dengan ide brilian untuk membantunya kabur. Namun, yang ia dapatkan malah suara gaduh di lantai bawah. Suara tawa yang sangat dikenalnya, diikuti dengan pekikan heboh.
"Calyaaaaaa! Selamat yaaa!"
Calya menepuk jidatnya. Ia tahu itu suara Vira. Dan benar saja, tidak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka dan Vira serta Jojo sudah berdiri di sana dengan senyum lebar. Mereka bahkan membawa spanduk kecil bertuliskan "Selamat Menempuh Hidup Baru, Calya & Aksa!" dan beberapa balon.
"Kami datang!" seru Jojo dengan heboh.
Calya hanya bisa mendengus. "Kalian ini, gue minta bantuan untuk kabur, bukan untuk merayakan," katanya dengan nada putus asa.
"Kabur? Mana bisa?" Vira terkekeh. "Kamu ini, Cal, sebentar lagi jadi istri orang. Jangan aneh-aneh, deh."
"Lagi pula, Aksa itu kan baik," tambah Jojo. "Kamu beruntung, lho."
Calya memutar bola matanya. "Baik dari mana? Dia itu menyebalkan!"
Vira dan Jojo tidak peduli dengan protes Calya. Mereka malah sibuk menggoda Calya. "Ciee, yang sebentar lagi jadi nyonya Aksa," goda Vira, mencolek lengan Calya.
"Nanti kalau sudah menikah, jangan lupakan kita ya, Cal," tambah Jojo.
Mereka bertiga duduk di ranjang Calya. Vira dan Jojo terus saja mengobrol tentang pernikahan, tentang gaun, tentang bulan madu, dan hal-hal lain yang membuat Calya semakin pusing. Di tengah-tengah obrolan, Vira tiba-tiba terdiam. Matanya berkaca-kaca.
"Kenapa, sih?" tanya Calya.
"Gue....gue terharu," kata Vira, suaranya bergetar. "Sahabatku, Calya, yang dulu suka ngejar-ngejar Dion, sekarang mau menikah."
Jojo ikut memeluk Calya. "Gue juga, Cal. Nanti kalau sudah punya anak, jangan lupa kenalkan ke kita ya."
Calya tidak bisa menahan senyum. Meski kesal dengan kelakuan mereka yang tidak membantunya kabur, ia merasa terharu juga. Ia memeluk Vira dan Jojo erat. "Terima kasih, teman-teman," bisiknya.
Meski ia membenci Aksa dan pernikahan ini, setidaknya ia punya Vira dan Jojo yang selalu ada untuknya.
Amelia, mama Calya, masuk ke kamar dengan wajah yang sedikit serius. "Calya, turun sebentar ke ruang keluarga," panggilnya lembut. "Ada yang ingin papa dan mama bicarakan."
Calya menghela napas. Ia tahu, ini saatnya. Ia berjalan menuruni tangga, pandangannya menyapu seisi rumah. Ruang tamu sudah dihiasi dengan dekorasi pernikahan yang cantik, didominasi warna putih dan emas. Ia sempat menolak kamarnya ikut didekorasi, beralasan nanti kotor, padahal ia hanya ingin ada satu tempat di rumah ini yang tidak mengingatkannya pada pernikahan.
Di ruang keluarga, papanya sudah duduk di sofa, di sampingnya ada mamanya. Keduanya menatap Calya dengan tatapan yang sulit diartikan. Calya duduk di seberangnya, gugup.
"Calya," suara papanya memecah keheningan, "Papa dan Mama tahu, kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini. Tapi... inilah takdirmu."
Calya menunduk, tidak berani menatap mata papanya.
"Papa ingin kamu menjadi istri yang baik," lanjut sang papa. "Hormati Aksa. Dia akan menjadi suamimu, teman hidupmu. Jangan pernah menyakitinya."
"Tapi Pa, Aksa..."
"Papa tahu, dia bukan tipe pria yang kamu suka," potong papanya. "Tapi, Calya, Aksa itu pria yang baik. Dia pintar, bertanggung jawab, dan yang terpenting, dia sangat mencintaimu. Jangan pernah meragukan itu."
Calya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Sekarang giliran mamanya yang berbicara. "Calya, hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Pernikahan juga begitu. Akan ada saat-saat kamu bahagia, tapi juga akan ada saat-saat kamu merasa sedih. Mama ingin kamu tetap kuat. Jangan mudah menyerah."
"Kamu harus belajar untuk mengurus rumah tangga. Belajar masak, membersihkan rumah, dan hal-hal lainnya. Jangan hanya mengandalkan Aksa," tambahnya.
Calya menahan air mata. Ia merasa sangat tertekan. Semua ini terlalu berat baginya. Ia hanya ingin kembali ke kehidupannya yang normal, kehidupan di mana ia tidak perlu pusing memikirkan pernikahan.
"Kami tahu kamu bisa, Calya," kata papanya, seolah membaca pikiran Calya. "Kami percaya padamu."
Calya hanya mengangguk, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia merasa terharu sekaligus takut. Terharu karena orang tuanya begitu peduli, dan takut karena ia tidak tahu apakah ia bisa menjadi istri yang baik seperti yang mereka harapkan.
Calya memeluk kedua orang tuanya dengan erat, air matanya tak terbendung lagi. "Apa tidak bisa ditunda lagi, Ma? Pa?" bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis.
Kedua orang tuanya membalas pelukan itu. Sang papa mengusap punggung Calya dengan lembut, sementara mamanya mengecup puncak kepalanya. Mereka tahu, keputusan ini sulit, tetapi mereka merasa tidak ada pilihan lain.
"Sayang," bisik mamanya, "pernikahan ini bukan hanya tentang kalian berdua. Ini tentang masa depan perusahaan kita."
Sang papa menambahkan, "Bisnis yang Papa dan Mama kembangkan dengan orang tua Aksa, suatu saat nanti harus ada yang meneruskan. Hanya kalian yang bisa melakukannya."
Mendengar itu, hati Calya terasa semakin hancur. Jadi, pernikahan ini hanyalah sebuah kesepakatan bisnis? Ia merasa seperti bidak catur yang harus berkorban demi kepentingan orang tuanya. Ia harus mengorbankan kebahagiaannya, masa mudanya, demi bisnis yang tidak pernah ia minta.
"Kedua orang tua Aksa sangat berjasa pada kami, baby," kata mamanya. "Mereka membantu Papa dan Mama saat kita terpuruk. Jadi, ketika mereka meminta sesuatu dari kami, kami tidak mungkin menolaknya."
Calya hanya mendengarkan. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya terus memeluk kedua orang tuanya, mencoba mencari kekuatan dari pelukan mereka. Ia merasa sangat kecil dan tak berdaya. Ia tahu, ia harus menerima takdirnya. Ia harus menikah dengan Aksa, demi orang tuanya, demi bisnis, dan demi semua yang telah dikorbankan.