NovelToon NovelToon
Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.

Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.

Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.

Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?

Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…

Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?

Baca selengkapnya hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

"Huda... Yang benar saja... Masa calon istrinya Ustadz Fathur modelan begitu?" Tegur Bi Lusi.

Bi Lusi ke rumah Kyai Huda setelah mengetahui siapa calon istri dari Ustadz Fathur.

Kebetulan hari inu Bi Lusi tidak sengaja lewat depan rumah Aira. Tadi dia melihat Aira sedang menjemur pakaiannya di halaman rumah dengan memakai baju stelan crop topnya yang belum bisa ia tinggalkan.

Kalau sekedar di lingkungan rumah Aira memang masih memakai baju pendek. Kecuali ke warung atau keluar dari halaman rumahnya ia akan memakai celana kulot panjang

"Itu udah pilihan Fathur Bi. Kita tidak boleh ikut campur. Biarkan dia bahagia dengan pilihannya."

"Bukan bahagia, paling juga beban."

"Astagfirullah..."

Kyai Huda berhenti melangkah. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya mengeras... bukan marah, melainkan menahan lelah yang sudah sering ia rasakan dari penilaian orang.

Bi Lusi berdiri dengan tangan bersedekap, napasnya naik turun seolah baru saja melihat sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya.

“Bi,” Kyai Huda membuka suara pelan namun tegas, “yang Bibi lihat itu hari ini. Jangan lupa, yang Allah lihat itu proses hati seseorang, bukan potongan waktu.”

Bi Lusi mendengus kecil.

“Tapi Huda… Fathur itu ustadz. Panutan. Masa istrinya nanti… ya Allah, pakaiannya begitu. Orang kampung nanti ngomong apa?”

“Orang kampung selalu ngomong, Bi,” jawab Kyai Huda lirih. “Kalau kita menikah dengan orang baik, dibilang pencitraan. Kalau menikah dengan orang yang sedang belajar, dibilang salah pilih.”

Bi Lusi terdiam sesaat, lalu berkata lagi dengan nada masih menyayangkan,

“Aku cuma takut Fathur capek. Dakwah itu berat. Jangan sampai pulang ke rumah malah nambah beban.”

Kyai Huda menghela napas panjang.

“Beban itu bukan soal pakaian, Bi. Beban itu kalau hati tidak saling menerima. Kalau Fathur memilih Aira, berarti dia siap menuntun... bukan menuntut.”

Bi Lusi menggeleng pelan. “Zaman sekarang susah, Huda. Perempuan kota… gaya hidupnya beda.”

“Justru itu,” Kyai Huda menatap Bi Lusi dalam-dalam. “Kalau semua ustadz hanya menikah dengan perempuan yang sudah ‘siap tampilan’, lalu siapa yang akan membersamai orang-orang yang masih belajar?”

Bi Lusi tercekat. “Lalu kalau gagal?”

Kyai Huda tersenyum tipis, ada kelelahan dan keyakinan di sana. “Menikah itu selalu ada risiko, Bi. Bahkan dengan orang paling saleh sekalipun. Tapi kita tidak boleh menghakimi sebelum Allah menilai.”

“Astagfirullah…” Bi Lusi bergumam, kali ini nadanya lebih lirih, entah karena kesal atau mulai tersentuh.

Kyai Huda menundukkan kepala sebentar. “Bi Lusi… dulu aku juga tidak lahir dari keluarga yang utuh. Tidak semua yang tampak ‘rapi’ itu kuat, dan tidak semua yang tampak ‘acak’ itu rusak.”

Bi Lusi terdiam lama. Angin sore berdesir pelan.

Di kejauhan, suara Aira terdengar tertawa kecil... entah karena apa... membuat Kyai Huda kembali teringat wajah ibunya di masa lalu.

Dan untuk pertama kalinya, Bi Lusi tidak menyela lagi. Ia berpamitan pergi dari sana

***

Sore harinya.

Aira diajak memilih baju nikahan oleh Ummi Maysaroh ke MUA kampung yang sederhana.

Beruntung karena Aira belum ada pikiran untuk menikah dan dia belum punya dream wedding seperti apa, Aira tidak banyak memilih.

Ustadz Fathur sendiri walaupun waktunya tidak banyak, ia tetap menyiapkan segala keperluan pernikahannya secara rinci.

Mobil milik pondok yang dikendarai Kang Iwan berhenti tepat di depan rumah Aira. Aira yang sudah diberitahu berdiri di teras sambil merapikan rambutnya yang masih setengah kering.

“Ra, ayo. Jangan bengong,” panggil Bu Maryam sambil membawa tas kecil berisi kerudung.

Aira mendesah. “Iya, Ma. Ini rasanya kayak mau kondangan, bukan mau nikah.”

Ummi Maysaroh tersenyum lembut. “Justru bagus begitu, Neng. Hati yang tenang itu lebih indah daripada ribet sama bayangan sendiri.”

Lalu Ummi Maysaroh menggandeng Aura untuk masuk ke dalam mobil.

Mereka berangkat berlima: Ustadz Fathur duduk di depan bersama Kang Iwan, sementara di belakang Aira duduk diapit Bu Maryam dan Ummi Maysaroh.

Sepanjang jalan, Aira lebih banyak diam... bukan karena gugup berlebihan, tapi karena dadanya terasa aneh. Tenang, tapi bergetar.

MUA kampung itu berada di kampung sebelah, tak jauh dari rumah Pak RW. Sebuah rumah sederhana dengan papan nama kecil bertuliskan “Rias Pengantin Bu Sari”.

Begitu masuk, Aira langsung disambut deretan kebaya dan gamis pengantin yang tergantung rapi.

“Silakan, Neng,” sapa Bu Sari ramah. “Mau yang simpel atau rame?”

Aira menoleh ke Ummi Maysaroh, lalu ke Bu Maryam. “Yang gak bikin aku keliatan kayak tumpeng ulang tahun.”

Bu Maryam menepuk lengannya. “Aira!”

Ustadz Fathur menunduk, menahan senyum. “Yang sopan saja, Ra. Simpel juga cantik.”

Itu kalimat biasa. Tapi entah kenapa pipi Aira langsung hangat.

Karena Aira memang tidak punya bayangan “hari pernikahan impian”, proses memilih baju berjalan cepat. Ia hanya mencoba dua set... gamis akad warna broken white dan satu kebaya sederhana untuk resepsi.

Saat Aira keluar dari ruang ganti dengan gamis akad, ruangan mendadak hening.

Bu Maryam terdiam.

Ummi Maysaroh menutup mulutnya pelan.

Bahkan Kang Iwan yang biasanya cerewet ikut melongo.

“Masya Allah…” gumam Ummi Maysaroh.

Aira melirik cermin, mengangkat alis.

“Kenapa? Aneh?”

“Bukan,” Bu Maryam mendekat, suaranya sedikit bergetar. “Mama baru sadar… anak mama bentar lagi bukan bocah yang ribut sama cicak.”

Aira nyengir. “Cicak tetep musuh bebuyutan, Ma.”

Ustadz Fathur berdiri sesikit menjauh, menjaga adab. Tapi matanya tak bisa berbohong. Ada rasa syukur yang mengalir pelan di dadanya.

Ia tidak sedang membayangkan pesta. Ia hanya merasa… cukup.

“Kalau ukuran sudah pas, kita kunci ya, Ustadz,” kata Bu Sari.

Ustadz Fathur mengangguk mantap. “Insya Allah. Kita ambil.”

Ummi Maysaroh meliriknya. “Kamu tenang sekali, Thur.”

Ustadz Fathur tersenyum tipis. “Umur dua puluh tujuh itu bukan umur coba-coba, Ummi. Kalau bukan sekarang, entah kapan.”

Bu Maryam merasa kagum dengan calon menantunya.

Dalam perjalanan pulang, mobil mereka melintas pelan di depan rumah Pak RW. Aira yang duduk di belakang sempat menoleh ke jendela. Ia tidak melihat siapa-siapa, tapi perasaannya tetap terasa… diawasi.

“Kenapa, Ra?” tanya Bu Maryam.

“Gak apa-apa,” jawab Aira cepat. “Cuma… rasanya aneh. Banyak banget yang berubah, Ma.”

Bu Maryam menggenggam tangannya. “Berubah itu bukan kehilangan, Ra. Kadang itu pulang ke versi diri yang lebih dewasa.”

Aira mengangguk pelan.

Sementara di sampingnya, Ummi Maysaroh menatap jalan dengan hati yang campur aduk... antara haru, cemas, dan doa panjang agar pilihan ini benar-benar membawa berkah.

Dan Ustadz Fathur, dalam diamnya, semakin yakin:

"Jalan ini mungkin tidak mudah, tapi ia tidak ingin mundur."

Mobil Kang Iwan berhenti kembali di depan rumah Aira. Langit mulai berwarna jingga, azan magrib belum terdengar, tapi suasana sudah terasa lebih tenang.

Aira turun lebih dulu, diikuti Bu Maryam. Ummi Maysaroh ikut turun, merapikan kerudungnya sambil tersenyum hangat.

“Terima kasih banyak, Ummi,” ucap Bu Maryam tulus. “Sudah repot nganter Aira ke sana-sini.”

“Ah, tidak repot sama sekali,” jawab Ummi Maysaroh lembut. “Saya justru senang. Calon menantu itu amanah, Bu.”

Aira refleks melirik ke arah lain. “Ummi ini… bicaranya bikin orang pengen ngumpet.”

Ummi Maysaroh tertawa kecil. “Biasakan, Ra. Nanti juga kamu sering dengar kata ‘menantu’.”

Ustadz Fathur berdiri sedikit ke samping, menjaga jarak. Ia menatap rumah itu sejenak... rumah yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari hidupnya.

“Bu Maryam,” katanya sopan, “terima kasih sudah mengizinkan kami tadi. Insya Allah semua kami niatkan baik.”

Bu Maryam mengangguk. “Justru kami yang berterima kasih, Ustadz. Sudah mau datang dan serius.”

Aira berdiri kikuk di dekat pintu. “Itu… hati-hati di jalan, Ustadz.”

Kalimatnya sederhana. Tapi nada suaranya membuat Ustadz Fathur menoleh. Ia tersenyum tipis.

“Insya Allah. Jaga diri baik-baik, Ra.”

Ummi Maysaroh memandang mereka bergantian, lalu berkata pelan namun tegas, “Kalau begitu kami pamit. Masih ada yang harus disiapkan di pondok.”

“Silakan, Ummi. Hati-hati,” jawab Bu Maryam.

Kang Iwan menyalakan mesin. Ummi Maysaroh naik lebih dulu, disusul Ustadz Fathur. Sebelum masuk, Ustadz Fathur sempat menoleh sekali lagi ke arah Aira.

Aira refleks melambaikan tangan kecil. “Eh… jangan sering-sering lewat depan rumah. Nanti kucing-kucing sini pada GR.”

Ustadz Fathur tertawa pelan. “Baik. Saya pamit.”

Mobil perlahan menjauh. Aira berdiri mematung sampai kendaraan itu benar-benar menghilang di tikungan.

Bu Maryam melirik anaknya. “Kenapa bengong?”

Aira menghela napas, lalu bergumam, “Ma… ini beneran ya. Aku mau nikah.”

Bu Maryam merangkul bahunya. “Iya, Ra. Dan mama doakan kamu bahagia.”

Di kejauhan, di dalam mobil yang melaju menuju pondok, Ummi Maysaroh memejamkan mata sejenak.

“Ya Allah,” bisiknya, “jika ini jalan terbaik untuk Fathur dan Aira, mudahkanlah.”

Ustadz Fathur menatap jalan di depan. Dadanya terasa penuh... bukan oleh takut, tapi oleh keyakinan yang perlahan menguat.

***

Pagi itu rumah Aira kembali riuh. Sejak matahari belum terlalu tinggi, halaman rumah sudah dipenuhi aktivitas.

Di ruang tengah, Aira duduk lesehan bersama bibi dan dua tetangga, mengikat souvenir kecil... gelas cantik berisi permen dan tasbih mungil. Tangannya cekatan, tapi mulutnya tak bisa diam.

“Bi… ini pita kenapa selalu miring ke kiri sih? Ini souvenir apa mau ikut lomba jungkir balik?” keluh Aira sambil membenarkan pita.

Bibi Sumi terkekeh. “Banyak gaya. Ikat aja dulu, Ra. Nanti juga dibenerin.”

“Ini kalau calon suami aku lihat, bisa langsung minta rujuk sebelum nikah,” gumam Aira.

“Belum nikah udah mikir rujuk,” sahut tetangga Bu Santi sambil tertawa. “Lucu juga calon pengantinnya.”

Dari dapur, aroma manis dan gurih bercampur jadi satu. Beberapa ibu sibuk membuat kue adat desa... kue cucur, wajik, bolu kukus, nastar kampung, sampai kue lapis legit. Loyang keluar-masuk kukusan, meja dapur penuh cetakan.

“Ra, tolong ambilin plastik besar!” teriak Bu Maryam dari dapur.

Aira bangkit.

“Iya, Ma. Ini rumah apa pabrik kue sih? Kayaknya aku salah jurusan, harusnya ambil tata boga.”

“Kamu mah ambil jurusan drama,” sahut Bu Maryam. “Setiap hari ada aja episodenya.”

Bersambung

1
Ilfa Yarni
loh knp kaget ustadz itu kan istrimu
Jihan Wati
penasaran malam pertama🤣
Ilfa Yarni
wah siapa tuh yg dtg tmn Aira yg dr kota itu ya
octa viani
lanjut min
Ilfa Yarni
duh aja aja yg julid ga senang liat orang bahagia
Ilfa Yarni
hahahahaha lg sedang guvupnua msh bisa jwb Pontan yg bikin orang ketawa dasar aira ustadz Fatur bisa awet muda trus nih di samping aira krn tertawa trus liat tingkah istrinya
Ilfa Yarni
aura serius dikit napa kn udah sah jd istri ustadz Fatur senyum dong jgn kaget begitu
Ilfa Yarni
dasar aira dia mau nikah msh aja bangun siang saudara ra sadar mau manten jadi istri ustadz fathur
Ilfa Yarni
semoga pernikahan Aira lancar ga sabar malam pengantin mereka rame kali ya hehe
Ilfa Yarni
hadeeh ada lg yg julid modelan seperti aura ini yg bikin suasana jadi, hidup dan berwarna ngerti tidak, wahai julid apa jgn2 anda iri dengki ya pasti itu sijulid pak rw dah
Ilfa Yarni
takut klo km nanti kecewa neng azwa
Ilfa Yarni
pernikahan tetap terjadi mknya ustadz fathur pindah itu rmh bukan haknya nanti setelah menikah dia tinggal drmh Aira kok
Ilfa Yarni
aduh ini pak rw knp ga bagus ya sifatnya ga cocok nih jd rw ga bisa jadi teladan ini mah apakah yai Huda kembaran pak jadi ya makin penasaran ceritanya
Ilfa Yarni
loh kok pd kaget liat aira ada apa kyai huda kok aku yg penasaran dan deg degan
Ilfa Yarni
mang niat baik itu ada aja rintangannya
Ilfa Yarni
bahahahahaha lucu banget aira
Ilfa Yarni
hahahaha lucu banget sih Aira ustadz Fatur nakal terrpingkal2 ketawa ga ya atau ngurut dada liat kerandoman aira
Jihan Wati
🤣🤣🤣
Ilfa Yarni
dasar Aira random alias bar bar bikin ketawa trus nanti ustadz fathur awet muda deh dgn tingkah Aira yg random
Ijah Khadijah: Terima kasih kak
total 1 replies
Ilfa Yarni
aku kli baca cerita Aira ini ketawa sendiri ada aja celotehannya itu nanti ustdz Fatur bisa awet muda nikah sama aira
Ijah Khadijah: Iya kakak😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!