Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Tangannya mengusap wajah, frustrasi.
Kalau dia menikah… bolehkah tetap tinggal di sini? Apakah harus pindah? Apa kata warga? Bagaimana dengan para pengurus masjid? Apa ini akan jadi kendala besar?
Ia bersandar pada lemari jadul, menatap ke langit-langit.
“Ini baru urusan rumah…” bisiknya getir. “Belum urusan keluarganya Aira… belum urusan persiapan nikah… belum apa-apa…”
Tapi di balik kepanikan itu, hatinya tiba-tiba terasa hangat.
Karena semua kebingungan itu muncul dari satu hal: Ia serius ingin menikahi Aira.
Ustadz Fathur menunduk, tersenyum getir pada diri sendiri.
“Ya Allah, tunjukkan jalan terbaik. Aku cuma ingin membahagiakan dia…”
Rumah kecil itu kembali sunyi, tapi kini diselimuti campuran antara cemas… dan harapan.
***
Keesokan paginya, selepas Subuh dan mengajar mengaji sebentar di masjid, Ustadz Fathur berjalan menuju rumah Pak RT. Udara masih dingin, embun menempel di rumput, dan suara ayam berkokok bersahutan di penjuru kampung.
Ia mengetuk pintu rumah kayu itu dengan sopan. Tak lama kemudian, Pak RT keluar sambil tersenyum ramah.
“Lho, Ustadz Fathur. Pagi bener. Ayo masuk.”
Fathur menolak halus. “Di teras saja, Pak. Saya cuma mau menyampaikan sesuatu.”
Mereka duduk di kursi rotan yang mulai menguning dimakan usia. Fathur menghela napas sebelum mulai bicara.
“Begini, Pak… saya insyaAllah mau menikah. Dan rumah wakaf yang saya tempati sekarang… saya ingin tahu bagaimana kedudukannya kalau saya nanti sudah berkeluarga.”
Pak RT mengangguk-angguk, wajahnya tenang seperti sudah menduga arah pembicaraan itu.
“Kalau dari saya pribadi sih nggak masalah, Ustadz,” ujarnya sambil menyeruput teh hangat. “Ustadz itu ngajar ngaji, ngurus masjid, bantu warga… di sini juga jarang ada ustadz muda yang mau tinggal dekat dengan masjid. Jadi saya nggak keberatan.”
Ustadz Fathur menghela napas lega sejenak.
Tapi Pak RT melanjutkan, suaranya pelan. “Hanya saja… tanah tempat rumah itu berdiri, kan tanah wakaf dari almarhum saudaranya Pak RW.”
Deg.
Hati Ustadz Fathur langsung turun ke perut.
“Kita tetap harus bicara sama Pak RW. Karena dia yang selama ini jadi penanggung jawab pihak keluarga. Soalnya, ada aturan tak tertulis… rumah wakaf itu biasanya untuk ustadz lajang yang ngurus masjid. Kalau menikah, biasanya dialihkan.”
Fathur merasa tenggorokannya mengering.
“Panjang urusannya…” gumamnya tak sadar.
Pak RT tertawa kecil, menepuk bahu Fathur.
“Namanya juga mau berumah tangga, Ustadz. Ujiannya banyak. Tapi insyaAllah bisa dibicarakan. Kan ustadz orangnya baik.”
Namun Fathur hanya menatap tanah, pikiran melayang ke berbagai kemungkinan: pindah rumah, mencari kontrakan, biaya tambahan, bagaimana nanti Aira melihat kondisi ini…
“Baik, Pak…” ucapnya lirih. “Kapan kira-kira saya bisa menemui Pak RW?”
“Nanti sore bisa. Saya antar.”
“InsyaAllah.”
Pak RT yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian tiba-tiba mengerutkan dahi, lalu tersenyum tipis.
“Punten, Ustadz… tapi saya belum nanya bagian paling pentingnya.”
Ia mencondongkan tubuh. “Ustadz sendiri mau menikah sama siapa?”
Fathur terdiam sejenak. Ada rasa rikuh di dadanya. Nama itu terasa berat keluar, bukan karena ia ragu... tapi karena khawatir reaksi orang.
“Dengan… Aira, Pak.” Suaranya pelan, tapi jelas.
Sesaat Pak RT terpaku. Lalu...
“Lhoooo… hahaha!” Pak RT tertawa lebar, sampai-sampai menepuk lututnya sendiri.
Tawa yang membuat Ustadz Fathur mematung, wajahnya memerah malu.
“Alhamdulillah! Kirain saya ustadz teh mau nikah sama Neng Azwa. Kan dari dulu orang kampung juga tahu kalau Ustadz diasuh Kyai Huda, ya pikiran warga pasti ke situ-situ aja.”
Pak RT masih tertawa, namun tatapannya hangat.
Fathur menunduk dalam-dalam, wajahnya makin panas. “Maaf, Pak…”
“Lho kok minta maaf? Justru saya seneng, Ustadz.”
Pak RT menepuk bahu Fathur. “ Neng Aira itu anaknya Pak Hadi. Orang baik. Udah pasti Pak Hadi bakal minta Ustadz tinggal di rumahnya. Jadi nggak usah sungkan. Semua orang di sini tahu kebaikan Pak Hadi, dari sawah wakaf sampai bantuan-bantuan dia ke warga.”
Fathur menggeleng pelan. “Saya nggak enak, Pak… Masa tempat tinggal juga saya nggak punya? Tambah lagi saya berani melamar begitu saja… rasanya seperti nggak menyiapkan apa-apa.”
Pak RT menghela napas, lalu menatapnya tegas tapi lembut.
“Ustadz, dengar ya. Warga sini udah lama nganggep Ustadz itu keluarga. Warga juga tahu bagaimana Ustadz ngurus masjid, ngajar anak-anak, bantu orang tua—gratis pula.”
Ia tersenyum.
“Justru ini giliran kami yang dukung Ustadz.”
Ustadz Fathur merasakan dadanya menghangat. Ada sedikit kelegaan, tapi juga segumpal kecil rasa rendah diri yang menggantung.
“Terima kasih, Pak…”
Suaranya serak.
“Udah. Nanti kita bicara bareng Pak Hadi soal rumah. Pokoknya urusan tempat tinggal jangan jadi beban pikiran ustadz dulu.”
Fathur mengangguk perlahan. Meski hatinya belum sepenuhnya tenang, ucapan Pak RT itu seperti memberi ruang napas lebih lebar.
Untuk pertama kalinya sejak melayangkan niat, ia merasa… mungkin ia tidak sendirian dalam langkah baiknya ini.
***
Sementara di rumah Aira.
Aira berdiri di depan bak cuci, wajahnya meringis seperti habis melihat hantu.
“Ma… sumpah ini ayam bau banget. Kayak napas mantan pacar Ayu kalau habis tidur,” gumam Aira sambil memiringkan badan menjauh.
Bu Maryam yang sedang memotong bawang hanya melirik santai. “Udah cuci pakai air mengalir. Kamu itu gimana sih? Masa bau ayam aja kalah.”
Aira manyun. “Aku tuh sarjana, Ma. Sarjana. Belajar ekonomi empat tahun. Masa kerjaan aku sekarang ngucek ayam yang setiap harinya BAB di teras rumah kita? Ini penghinaan martabat.”
“Martabat kamu yang mana? Yang suka kayang kalau stres itu?” sahut Bu Maryam kalem.
“Maaaa…” Aira mendesis malu.
Bu Maryam hanya tertawa kecil. “Ayo, yang benar. Bilas sampai bersih. Besok kamu udah jadi calon istri orang. Jangan sampai masak ayam tapi yang makan malah pada keracunan.”
Aira memonyongkan bibir tapi tangannya tetap bergerak, meski setengah hati.
Ia memegang ayam itu dengan dua jari, seperti memegang bom aktif. “Ma… aku tuh gak yakin Ustadz Fathur bakal betah makan masakan aku. Aku sendiri aja kayak mau pingsan lihat ayam begini.”
“Belajar itu proses, Ra.”
“Proses jadi istri?”
“Ya jelas.”
Aira terdiam sebentar, lalu mendadak memandang ayam di tangannya.
“…Ma, ini ayam jantan atau betina?”
“Tidak penting, Aira.”
“Penting dong. Kalau ayam jantan berarti baunya lebih… jahat.”
Bu Maryam menepuk dahinya sambil menghela napas panjang. “Aira, kamu ini kalau bicara bisa bikin orang satu kampung migrain.”
Aira cengengesan tapi tetap meringis, tangan masih gemetar menahan jijik.
“Yah sudahlah,” gumamnya. “Demi masa depan masakan rumah tangga… dan demi pahala jadi istri shalihah… walaupun aku belum rela sepenuhnya.”
Ia akhirnya mencuci ayam itu dengan lebih serius.
Sesekali ia menggerutu, “Ya Allah, kalau aku berhasil nyuci ayam begini tiap hari, semoga pahalanya sama kayak naik haji, Ma.”
Bu Maryam tertawa kencang mendengar ocehan anaknya.
Ya. Selama dua puluh dua tahun ini Aira sangat jarang membantu pekerjaan rumah. Dia bukan dimanja atau dilarang. Tapi semua pekerjaan rumah dikerjakan bibi dan Bu Maryam. Tugas Aira hanya kuliah. Tapi sesekali dia juga membantu walau sekedar mencuci piring bekasnya makan dan tidak membebani bibi seperti membuang sampah dari kamarnya, menaruh tempat cucian kotor ke tempat cuci baju, atau membereskan kamarnya sendiri. Aira tetap melakukannya sendiri.
***
Selesai mencuci ayam Aira berdiri terpaku di depan ulekan.
Di dalamnya ada bawang merah, bawang putih, kunyit, kemiri, cabai, jahe... entah apa saja yang dicampakkan Bu Maryam ke situ.
“Ra, ayo diulek. Jangan dilihatin doang. Itu bukan mantan kamu,” kata Bu Maryam sambil mengiris sayuran capcay.
Aira menghela napas panjang. “Maaa… ini keras banget. Tanganku bisa patah.”
“Bukan keras, kamu saja yang kurang niat,” balas Bu Maryam tanpa menoleh.
Aira mulai mengulek. Setiap gesekan terdengar seperti suara penderitaan.
“Ma, kok kayak mengulek batu bata, ya? Apa ulekan ini dari jaman kerajaan Majapahit?”
“Dari mama nikah sama papa. Jadi mungkin iya,” jawab Bu Maryam santai.
Aira menatap ulekan itu dengan ngeri. “Pantesan beratnya kayak dosa aku.”
“Kurang-kurangin dosa makanya. Ulek yang benar!”
Aira mengeluh, tapi tangannya bergerak cepat... atau tepatnya asal bergerak.
Setelah beberapa menit, bumbu terlihat setengah halus, setengah berantakan.
“Sudahlah, Ma. Aku rasa Ustadz Fathur bisa menerima kekurangan aku.”
“Kekurangan boleh, malas jangan,” tegur Bu Maryam.
Aira pasrah mendengar setiap jawaban mamanya.
***
Bumbu akhirnya masuk ke wajan. Aira berusaha mengaduknya, tapi minyak panas sedikit nyiprat ke tangannya.
“Astaghfirullah! Ma, ada serangan!”
Bersambung