Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Huda... Yang benar saja... Masa calon istrinya Ustadz Fathur modelan begitu?" Tegur Bi Lusi.
Bi Lusi ke rumah Kyai Huda setelah mengetahui siapa calon istri dari Ustadz Fathur.
Kebetulan hari inu Bi Lusi tidak sengaja lewat depan rumah Aira. Tadi dia melihat Aira sedang menjemur pakaiannya di halaman rumah dengan memakai baju stelan crop topnya yang belum bisa ia tinggalkan.
Kalau sekedar di lingkungan rumah Aira memang masih memakai baju pendek. Kecuali ke warung atau keluar dari halaman rumahnya ia akan memakai celana kulot panjang
"Itu udah pilihan Fathur Bi. Kita tidak boleh ikut campur. Biarkan dia bahagia dengan pilihannya."
"Bukan bahagia, paling juga beban."
"Astagfirullah..."
Kyai Huda berhenti melangkah. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya mengeras... bukan marah, melainkan menahan lelah yang sudah sering ia rasakan dari penilaian orang.
Bi Lusi berdiri dengan tangan bersedekap, napasnya naik turun seolah baru saja melihat sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya.
“Bi,” Kyai Huda membuka suara pelan namun tegas, “yang Bibi lihat itu hari ini. Jangan lupa, yang Allah lihat itu proses hati seseorang, bukan potongan waktu.”
Bi Lusi mendengus kecil.
“Tapi Huda… Fathur itu ustadz. Panutan. Masa istrinya nanti… ya Allah, pakaiannya begitu. Orang kampung nanti ngomong apa?”
“Orang kampung selalu ngomong, Bi,” jawab Kyai Huda lirih. “Kalau kita menikah dengan orang baik, dibilang pencitraan. Kalau menikah dengan orang yang sedang belajar, dibilang salah pilih.”
Bi Lusi terdiam sesaat, lalu berkata lagi dengan nada masih menyayangkan,
“Aku cuma takut Fathur capek. Dakwah itu berat. Jangan sampai pulang ke rumah malah nambah beban.”
Kyai Huda menghela napas panjang.
“Beban itu bukan soal pakaian, Bi. Beban itu kalau hati tidak saling menerima. Kalau Fathur memilih Aira, berarti dia siap menuntun... bukan menuntut.”
Bi Lusi menggeleng pelan. “Zaman sekarang susah, Huda. Perempuan kota… gaya hidupnya beda.”
“Justru itu,” Kyai Huda menatap Bi Lusi dalam-dalam. “Kalau semua ustadz hanya menikah dengan perempuan yang sudah ‘siap tampilan’, lalu siapa yang akan membersamai orang-orang yang masih belajar?”
Bi Lusi tercekat. “Lalu kalau gagal?”
Kyai Huda tersenyum tipis, ada kelelahan dan keyakinan di sana. “Menikah itu selalu ada risiko, Bi. Bahkan dengan orang paling saleh sekalipun. Tapi kita tidak boleh menghakimi sebelum Allah menilai.”
“Astagfirullah…” Bi Lusi bergumam, kali ini nadanya lebih lirih, entah karena kesal atau mulai tersentuh.
Kyai Huda menundukkan kepala sebentar. “Bi Lusi… dulu aku juga tidak lahir dari keluarga yang utuh. Tidak semua yang tampak ‘rapi’ itu kuat, dan tidak semua yang tampak ‘acak’ itu rusak.”
Bi Lusi terdiam lama. Angin sore berdesir pelan.
Di kejauhan, suara Aira terdengar tertawa kecil... entah karena apa... membuat Kyai Huda kembali teringat wajah ibunya di masa lalu.
Dan untuk pertama kalinya, Bi Lusi tidak menyela lagi. Ia berpamitan pergi dari sana
***
Sore harinya.
Aira diajak memilih baju nikahan oleh Ummi Maysaroh ke MUA kampung yang sederhana.
Beruntung karena Aira belum ada pikiran untuk menikah dan dia belum punya dream wedding seperti apa, Aira tidak banyak memilih.
Ustadz Fathur sendiri walaupun waktunya tidak banyak, ia tetap menyiapkan segala keperluan pernikahannya secara rinci.
Mobil milik pondok yang dikendarai Kang Iwan berhenti tepat di depan rumah Aira. Aira yang sudah diberitahu berdiri di teras sambil merapikan rambutnya yang masih setengah kering.
“Ra, ayo. Jangan bengong,” panggil Bu Maryam sambil membawa tas kecil berisi kerudung.
Aira mendesah. “Iya, Ma. Ini rasanya kayak mau kondangan, bukan mau nikah.”
Ummi Maysaroh tersenyum lembut. “Justru bagus begitu, Neng. Hati yang tenang itu lebih indah daripada ribet sama bayangan sendiri.”
Lalu Ummi Maysaroh menggandeng Aura untuk masuk ke dalam mobil.
Mereka berangkat berlima: Ustadz Fathur duduk di depan bersama Kang Iwan, sementara di belakang Aira duduk diapit Bu Maryam dan Ummi Maysaroh.
Sepanjang jalan, Aira lebih banyak diam... bukan karena gugup berlebihan, tapi karena dadanya terasa aneh. Tenang, tapi bergetar.
MUA kampung itu berada di kampung sebelah, tak jauh dari rumah Pak RW. Sebuah rumah sederhana dengan papan nama kecil bertuliskan “Rias Pengantin Bu Sari”.
Begitu masuk, Aira langsung disambut deretan kebaya dan gamis pengantin yang tergantung rapi.
“Silakan, Neng,” sapa Bu Sari ramah. “Mau yang simpel atau rame?”
Aira menoleh ke Ummi Maysaroh, lalu ke Bu Maryam. “Yang gak bikin aku keliatan kayak tumpeng ulang tahun.”
Bu Maryam menepuk lengannya. “Aira!”
Ustadz Fathur menunduk, menahan senyum. “Yang sopan saja, Ra. Simpel juga cantik.”
Itu kalimat biasa. Tapi entah kenapa pipi Aira langsung hangat.
Karena Aira memang tidak punya bayangan “hari pernikahan impian”, proses memilih baju berjalan cepat. Ia hanya mencoba dua set... gamis akad warna broken white dan satu kebaya sederhana untuk resepsi.
Saat Aira keluar dari ruang ganti dengan gamis akad, ruangan mendadak hening.
Bu Maryam terdiam.
Ummi Maysaroh menutup mulutnya pelan.
Bahkan Kang Iwan yang biasanya cerewet ikut melongo.
“Masya Allah…” gumam Ummi Maysaroh.
Aira melirik cermin, mengangkat alis.
“Kenapa? Aneh?”
“Bukan,” Bu Maryam mendekat, suaranya sedikit bergetar. “Mama baru sadar… anak mama bentar lagi bukan bocah yang ribut sama cicak.”
Aira nyengir. “Cicak tetep musuh bebuyutan, Ma.”
Ustadz Fathur berdiri sesikit menjauh, menjaga adab. Tapi matanya tak bisa berbohong. Ada rasa syukur yang mengalir pelan di dadanya.
Ia tidak sedang membayangkan pesta. Ia hanya merasa… cukup.
“Kalau ukuran sudah pas, kita kunci ya, Ustadz,” kata Bu Sari.
Ustadz Fathur mengangguk mantap. “Insya Allah. Kita ambil.”
Ummi Maysaroh meliriknya. “Kamu tenang sekali, Thur.”
Ustadz Fathur tersenyum tipis. “Umur dua puluh tujuh itu bukan umur coba-coba, Ummi. Kalau bukan sekarang, entah kapan.”
Bu Maryam merasa kagum dengan calon menantunya.
Dalam perjalanan pulang, mobil mereka melintas pelan di depan rumah Pak RW. Aira yang duduk di belakang sempat menoleh ke jendela. Ia tidak melihat siapa-siapa, tapi perasaannya tetap terasa… diawasi.
“Kenapa, Ra?” tanya Bu Maryam.
“Gak apa-apa,” jawab Aira cepat. “Cuma… rasanya aneh. Banyak banget yang berubah, Ma.”
Bu Maryam menggenggam tangannya. “Berubah itu bukan kehilangan, Ra. Kadang itu pulang ke versi diri yang lebih dewasa.”
Aira mengangguk pelan.
Sementara di sampingnya, Ummi Maysaroh menatap jalan dengan hati yang campur aduk... antara haru, cemas, dan doa panjang agar pilihan ini benar-benar membawa berkah.
Dan Ustadz Fathur, dalam diamnya, semakin yakin:
"Jalan ini mungkin tidak mudah, tapi ia tidak ingin mundur."
Mobil Kang Iwan berhenti kembali di depan rumah Aira. Langit mulai berwarna jingga, azan magrib belum terdengar, tapi suasana sudah terasa lebih tenang.
Aira turun lebih dulu, diikuti Bu Maryam. Ummi Maysaroh ikut turun, merapikan kerudungnya sambil tersenyum hangat.
“Terima kasih banyak, Ummi,” ucap Bu Maryam tulus. “Sudah repot nganter Aira ke sana-sini.”
“Ah, tidak repot sama sekali,” jawab Ummi Maysaroh lembut. “Saya justru senang. Calon menantu itu amanah, Bu.”
Aira refleks melirik ke arah lain. “Ummi ini… bicaranya bikin orang pengen ngumpet.”
Ummi Maysaroh tertawa kecil. “Biasakan, Ra. Nanti juga kamu sering dengar kata ‘menantu’.”
Ustadz Fathur berdiri sedikit ke samping, menjaga jarak. Ia menatap rumah itu sejenak... rumah yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari hidupnya.
“Bu Maryam,” katanya sopan, “terima kasih sudah mengizinkan kami tadi. Insya Allah semua kami niatkan baik.”
Bu Maryam mengangguk. “Justru kami yang berterima kasih, Ustadz. Sudah mau datang dan serius.”
Aira berdiri kikuk di dekat pintu. “Itu… hati-hati di jalan, Ustadz.”
Kalimatnya sederhana. Tapi nada suaranya membuat Ustadz Fathur menoleh. Ia tersenyum tipis.
“Insya Allah. Jaga diri baik-baik, Ra.”
Ummi Maysaroh memandang mereka bergantian, lalu berkata pelan namun tegas, “Kalau begitu kami pamit. Masih ada yang harus disiapkan di pondok.”
“Silakan, Ummi. Hati-hati,” jawab Bu Maryam.
Kang Iwan menyalakan mesin. Ummi Maysaroh naik lebih dulu, disusul Ustadz Fathur. Sebelum masuk, Ustadz Fathur sempat menoleh sekali lagi ke arah Aira.
Aira refleks melambaikan tangan kecil. “Eh… jangan sering-sering lewat depan rumah. Nanti kucing-kucing sini pada GR.”
Ustadz Fathur tertawa pelan. “Baik. Saya pamit.”
Mobil perlahan menjauh. Aira berdiri mematung sampai kendaraan itu benar-benar menghilang di tikungan.
Bu Maryam melirik anaknya. “Kenapa bengong?”
Aira menghela napas, lalu bergumam, “Ma… ini beneran ya. Aku mau nikah.”
Bu Maryam merangkul bahunya. “Iya, Ra. Dan mama doakan kamu bahagia.”
Di kejauhan, di dalam mobil yang melaju menuju pondok, Ummi Maysaroh memejamkan mata sejenak.
“Ya Allah,” bisiknya, “jika ini jalan terbaik untuk Fathur dan Aira, mudahkanlah.”
Ustadz Fathur menatap jalan di depan. Dadanya terasa penuh... bukan oleh takut, tapi oleh keyakinan yang perlahan menguat.
***
Pagi itu rumah Aira kembali riuh. Sejak matahari belum terlalu tinggi, halaman rumah sudah dipenuhi aktivitas.
Di ruang tengah, Aira duduk lesehan bersama bibi dan dua tetangga, mengikat souvenir kecil... gelas cantik berisi permen dan tasbih mungil. Tangannya cekatan, tapi mulutnya tak bisa diam.
“Bi… ini pita kenapa selalu miring ke kiri sih? Ini souvenir apa mau ikut lomba jungkir balik?” keluh Aira sambil membenarkan pita.
Bibi Sumi terkekeh. “Banyak gaya. Ikat aja dulu, Ra. Nanti juga dibenerin.”
“Ini kalau calon suami aku lihat, bisa langsung minta rujuk sebelum nikah,” gumam Aira.
“Belum nikah udah mikir rujuk,” sahut tetangga Bu Santi sambil tertawa. “Lucu juga calon pengantinnya.”
Dari dapur, aroma manis dan gurih bercampur jadi satu. Beberapa ibu sibuk membuat kue adat desa... kue cucur, wajik, bolu kukus, nastar kampung, sampai kue lapis legit. Loyang keluar-masuk kukusan, meja dapur penuh cetakan.
“Ra, tolong ambilin plastik besar!” teriak Bu Maryam dari dapur.
Aira bangkit.
“Iya, Ma. Ini rumah apa pabrik kue sih? Kayaknya aku salah jurusan, harusnya ambil tata boga.”
“Kamu mah ambil jurusan drama,” sahut Bu Maryam. “Setiap hari ada aja episodenya.”
Bersambung