GUBRAAKK !! Suara itu menyerupai nangka berukuran 'babon' jatuh dari pohon yang tinggi. Xavier (Zac) segera berlari meloncati semak-semak untuk segera mengambil nangka yang jatuh. Sesampainya di bawah pohon nangka, Xavier tidak melihat satu pun nangka yang jatuh. Tiba-tiba...
"Siapapun di sana tolong aku, pangeran berkuda putih, pangeran kodok pun tidak apa-apa, tolong akuu ... "
Di sanalah awal pertemuan dan persahabatan mereka.
***
Xavier Barrack Dwipangga, siswa SMA yang memiliki wajah rusak karena luka bakar.
Aluna Senja Prawiranegara, siswi kelas 1 SMP bertubuh gemoy, namun memiliki wajah rupawan.
Dua orang yang selalu jadi bahan bullyan di sekolah.
Akankah persahabatan mereka abadi saat salahsatu dari mereka menjadi orang terkenal di dunia...
Yuks ikuti kisah Zac dan Senja 🩷🩷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Mencari Jejakmu
Setelah persidangan pertama yang menguras emosi, Zac memacu kuda besinya ke sebuah lapangan bola tempat Eagle Soccer Club berlatih. Tempat awal mula Zac merintis kariernya di club tersebut sejak usia delapan tahun. Lapangan hijau yang luas, tribun yang semakin menua di makan cuaca dan masa, tawa riang anak kecil yang baru mengenal persaingan, kebersamaan dan rasa sakit saat harus terjatuh. Semua itu membawa kesan tersendiri bagi Zac.
Ia seakan berjalan di lorong masa lalu. Menangis, tertawa, adu mulut dengan rekan satu team menjadi cerita yang selalu ia kenang. Bibir Zac mengulas senyuman saat beberapa teman satu clubnya datang menghampiri.
"Woah! Ada orang London nyasar ke club kita!" sapa Geran langsung menekuk tubuh tinggi Zac dan memiting lehernya. Mereka bergulat ringan saling menyapa, bergurau dan tiba-tiba bernyanyi lagu Changcuters, Hijrah Ke London.
"London... London, ingin ku kesana. London... London pergi menyusulnya... Owowo, owo"
"Zac! Akhirnya lo bukan manusia yang lupa asal lo!" teriak Gugus.
"Ada anggota baru di club kita, tapi susah sekali bergaul, sombong dan angkuh," bisik Luis, pemuda blasteran Italian-Lamongan.
"Siapa Luis? Mainnya bagus?" tanya Zac.
"Yup, cukup bagus. Tapi dia tidak mau berbaur dengan kita."
"Sepertinya dia ada di sini hanya untuk healing atau buang waktu luangnya. Bukan untuk jadi pemain profesional seperti kita," ungkap Geran.
"Kita? Zac aja kali, lo nggak diajak!" celetuk Luis.
"Sat! Rekor gue lebih tinggi di atas lo ya!" ejek Geran.
Zac terkekeh sambil mengusap-usap kepalanya sendiri, betapa dia merindukan pertemanan seperti ini, receh, rame dan polos tanpa intrik. "Yang mana orangnya?" tanya Zac tergelitik ingin mengenal anggota baru di club itu.
"Sebentar lagi dia keluar dari ruang ganti, lo bisa nilai sendiri gimana sombongnya orang itu." Gugus menoleh ke arah pintu ruang ganti.
Seorang pemuda keluar dari ruang ganti memakai topi, kaca mata hitam dan masker yang nyaris menutupi seluruh wajahnya, jalannya menunduk, seolah rubber floor lebih menarik ia lihat daripada menyapa rekan satu clubnya.
"Tuh... Tuh, lihat, lihat!! jalannya pun sambil cari koin untuk kerokan punggung!" bisik Geran dengan suara gaduh.
"Bisikanmu itu lho, Ran. Mending gak usah berbisik di telingaku!" omel Zac sambil mengusap telinganya yang pengang karena teriakan Geran.
Mata Zac sedikit melebar setelah memperhatikan sosok yang berjalan menghindari kerumunan dengan wajah menunduk. "Sam!" teriak Zac.
Sam menoleh ke arah sumber suara. Mata Sam juga melebar di balik kacamata hitamnya. "Zac!"
"Kamu mengenalnya, Zac?!" tanya Luis wajahnya menunjukkan keheranan. Zac mengangguk pelan.
Mereka saling mendekat dengan langkah ragu dan terkesan dramatis. "Kamu latihan di sini?" tanya Zac hati-hati.
Sam mengangguk cepat, lebih cepat dari yang Zac duga, Zac pikir Sam akan menyangkal atau menutupi keanggotaan di club 'kampungan' ini.
"Yes, i'm here Zac," jawabnya pelan dan suaranya rapuh.
"Kamu... Bisakah kita ngobrol, bersama?" Zac menunjuk teman-temannya dengan jempolnya.
Sam terdiam, lama.
"Kalau kamu sibuk tidak apa-apa, mungkin lain waktu."
"Oke, lima belas menit."
"Lo mau traktir kita kan Zac?" tanya Gugus dengan wajah berbinar.
"Gue cuma lagi kangen makan Cakwe mang Dilan sama batagor mpok Milea," kata Zac sambil terkekeh kecil.
"Feeling gue apa, utuh uang jajan gue hari ini, Gus!" teriak Abdi yang sejak tadi diam menunggu moment yang tepat, ya seperti sekarang ini contohnya.
"Woi! Zac mau traktir jajan di kantin luar!" teriak Abdi memanggil rekan-rekan lain yang masih duduk di pinggir lapangan.
Kantin luar lapangan langsung dipenuhi anggota club untuk mengambil jatah jajan yang diberikan Zac. Sam hanya diam tidak memesan apapun, ia mengeluarkan bekal makanan sehat yang mamanya berikan. Pandangan seluruh team U-20 termasuk Zac langsung berpindah dan mengikuti gerakan Sam membuka tutup lunch box.
"Elo... Nggak biasa makan jajanan kayak kita ya? Atau lo nggak punya duit? Tenang aja, hari ini Zac ulang tahun, kita semua di traktir." Luis menepuk bahu Sam
Sam menoleh ke arah Zac, "serius kamu ulang tahun?"
"Aku bisa ulang tahun tiap hari kalau mereka minta traktir, begitulah candaan mereka," bisik Zac
Sam tersenyum kaku, seketika menutup rapat bibirnya. Namun diam-diam sudut bibir Sam tertarik ke atas membentuk bulan sabit. Ia tersenyum kikuk, merasa asing di tengah candaan yang begitu hidup, nyata dan hangat.
Tampaknya Zac orang yang menyenangkan bagi rekan-rekannya. Di hina bonyok, 'galah kroto', tiang pancoran karena tubuhnya yang terlampau tinggi, tidak membuat Zac marah, dia tetap tersenyum dan bersikap tenang. Aura seorang bintang telah ia miliki karena attitude nya yang baik pada orang-orang di sekitarnya.
Tidak banyak percakapan antara Zac dan Sam. Mereka hanya saling memperhatikan diam-diam, saling peduli dengan cara yang samar dan lebih banyak menyimak pembicaraan rekan-rekan satu teamnya tentang pelatih, pertandingan sparing dan bertukar cerita tentang teknik permainan di lapangan.
Tiba-tiba Sam berdiri, lalu memesan batagor dan es jeruk di warung mpok Milea. Matanya menatap dengan lapar batagor yang baru saja diangkat dari wajan, ia menunjuk beberapa jenis somay dan dimsum lalu minta ditambahkan bumbu kacang yang banyak.
Tatapan Zac mengekori tingkah sahabatnya itu, ia terkekeh nakal lalu berdiri di belakang Sam. "Apa kamu sudah ijin pada ahli gizi di rumahmu, makanan itu terbuat dari tepung, banyak mengandung minyak dan lemak," bisik Zac menggoda.
"Setelah makan ini aku akan cardio dan angkat beban," jawabnya cepat seolah tidak ingin keinginannya dilarang. "Apa kamu takut uangmu habis dengan makanan yang aku pesan?" ucapnya curiga
"Setelah ini aku akan menjual topi branded pemberianmu, di pasar senin topi branded preloved itu masih laku dijual seharga lima puluh ribu rupiah," gurau Zac
"Miskin sekali pemain MU ini, menyedihkan," balas Sam.
"Bagaimana nasib makanan sehat itu?" Zac menunjuk Lunchbox dengan dagunya.
"Lupakan diet untuk hari ulang tahunmu, Zac." Mereka tertawa bersama dengan candaan yang hanya mereka yang punya.
Kini mereka duduk berdua di tepi danau. Lima belas menit yang Sam berikan, sudah tiga jam yang lalu terlewati. Akan tetapi mereka seolah enggan saling mengucap kata pisah. Mereka menatap jauh ke depan, memandang air danau yang beriak lembut dengan pikirannya masing-masing.
Zac menoleh ke arah Sam, wajah sahabatnya itu lebih tirus dan tidak terurus. Zac menghela napas panjang.
"Tiba-tiba SSB Eagle Soccer, ada apa denganmu? BAI, MCFS kenapa tidak di sana?" tanya Zac penasaran, sebelum bertanya hal yang lebih berat.
Sam tertunduk sambil menggambar abstrak tanah berpasir dengan ranting. "Mereka satu kalangan denganku, kamu sudah tahu yang terjadi bukan. Mulut mereka akan lebih tajam saat kami berada dalam masalah dan ekonomi kami terpuruk."
"Hey! Jangan berbohong padaku, Sam. Kekuasaan kedua kakekmu masih bisa membungkam mulut nyinyir mereka," sela Zac sambil mendorong bahu Sam.
Sam terkekeh dan sikapnya malu-malu, "Okey, okey! Aku akan jujur, aku mencari jejakmu, kamu puas?!" matanya mendelik kesal.
"Wohoho... Rindu, huh?!" gurau Zac
"Sh*t! Apa harus diperjelas? Kau puas menggodaku, huh?!" tinjuan keras mendarat di lengan Zac.
Mereka bergulat di tanah berpasir di tepi danau. Napasnya sampai terengah-engah bersama deraian tawa yang menggema. Setelah cukup menyalurkan 'kemarahan manis' dengan bercanda, Sam duduk bersila beralaskan jaket milik Zac. Sementara Zac merebahkan tubuhnya di tanah. Sam melirik sejenak, ia ingin bisa sebebas Zac bisa duduk dan tiduran dimana saja.
"Aku merindukan persahabatan kita, masa bermain, pertengkaran kecil kita dan kesombongan mahal yang cuma kamu yang boleh se-sombong itu, prestasi yang tidak bisa kumiliki."
"Miss you too, muach!" goda Zac
"Cih!" Sam membuang kecupan udara yang Zac berikan. "Kenapa kamu tidak menanyakan adikku sama sekali, kamu sudah melupakannya?" tanya Sam akhirnya.
Zac terbahak menutupi kesedihannya. "Jatuh cinta lah dulu, baru kau tanyakan kembali padaku apa aku bisa melupakan gadis terindah itu,"
"Sulit ya?! Lebih baik aku tidak pernah merasakannya. Cinta membuat semuanya menjadi rumit." Sam berucap dengan lirih.
"Iya... Sangat rumit. Tapi aku tidak pernah menyesal mencintai adikmu. Aku akan mencintainya berulangkali."
"Halangan semakin sulit, Zac. Kakekku dari mama yang tinggal di Jerman lebih keras kepala dari Papaku. Mereka akan membawa kami semua kembali ke Jerman, Zac. Papa mamaku akan bercerai."
Kata 'bercerai' yang Sam ucapkan dengan satu tetes airmatanya jatuh, dia terlihat rapuh dan terpukul dengan keadaan.
Tangan Zac yang sedang melukis di udara sontak terhenti, "apa karena kasus Papamu padaku?"
"Bukan, lebih berat dari kasus itu, Zac. Masa depan perusahaan, ancaman dari musuh-musuh Papa, banyak hal memuakkan yang membuat kepalaku terasa ingin pecah."
"Itu penyebab kalian tidak hadir di persidangan hari ini?" tanya Zac suaranya getir.
Sam mengangguk dengan wajah sendu. "Grandpa mengancam kami semua, tidak ada yang boleh menemui Papa sebelum proses cerai mereka selesai."
"Di persidangan, dia terlihat... Rapuh, airmata yang selama ini tidak pernah kalian lihat darinya, tadi selalu menetes Sam. Kemejanya basah di bagian lengan karena terlalu sering menyeka airmata."
Sam membenamkan wajahnya di atas lutut, bahunya terguncang. "kamu tahu, sejelek apapun dunia menghujat Papaku, dia idolaku, kesayanganku, Zac." Sam terisak keras.
Zac merangkul bahunya, "Aku tahu, aku tahu Sam. Aku sudah berusaha agar kasus Papamu dicabut dan mendapatkan penangguhan penahanan, tapi hasilnya nihil, semua harus berjalan sesuai prosedur."
"Aku mengerti, Zac. Jika semua kesalahan bisa selesai dengan kata maaf tanpa hukuman, maka kejahatan semakin tidak tahu diri."
"Apa aku akan kehilangan Senja?" tanyanya, suaranya bergetar dan pelan.
Sam mengangkat kedua bahunya singkat, "Aku tidak tahu rahasia di masa depan."
Dering telepon nyaring terdengar dari saku celana Sam. Panggilan dari sekretaris Sam. Dengan malas, Sam menggeser tombol hijau. Suara panik terdengar dari seberang sana.
"Tuan muda Sam, anda dimana? Kakek anda sedang membawa mama dan Senja ke Bandara," ucap sekretaris Sam dengan panik.
jalan masih panjang, raih mimpi sampai sukses ❤🤗