Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu Mertua
Kirana tengah menggoreskan garis demi garis membuat lukisan suasana senja dari balik jendela kamarnya. Semburat warna merah, oranye, dan kuning berpadu cantik membuat nuansa syahdu.
Kirana menoleh ke arah Barra. Dia terlihat serius menatap laptop, berbicara dalam bahasa Inggris. Sepertinya tengah meeting via online.
Saat ini, Barra menggunakan kemeja krem yang lengannya digulung hingga siku, dan celana jins hitam. Dahinya berkerut menandakan dia sedang berpikir.
Semburat merah muncul di pipi Kirana ketika diam-diam melirik ke arah sofa. Entah kenapa, Kirana suka kala Barra sedang serius seperti sekarang.
Hmmm... Dia keren sekali kalau lagi serius begitu
Kirana terkikik pelan.
Hari ini tepat seminggu Barra menemani Kirana. Hubungan keduanya belum mengalami perkembangan berarti. Barra masih bersikap dingin pada Kirana.
Kirana jadi bingung. Hubungan seperti apa yang dimilikinya dengan Barra. Mereka, Barra tepatnya, tidak bersikap layaknya pasangan.
Tidak satu dua kali Kirana mencoba mengingat Barra. Ia berusaha keras menghadirkan sosok Barra dalam memorinya. Tapi tidak bisa.
Kirana tidak mampu mengingat suaminya sendiri. Jangankan perasaan atau hubungan mereke berdua, bahkan bayangan samar Barra dalam memorinya pun tak ada.
"Oke... We'll talk it over as soon as possible. Thank you for all." Barra menyudahi pertemuannya.
Barra meluruskan punggungnya. "Huaaaa." Menguap.
"Capek Mas?" Kirana bertanya.
Barra tidak menjawab.
Kirana kembali fokus dengan lukisannya.
"Lagi apa?" Tiba-tiba Barra ada di belakang kursi roda Kirana.
Kirana tersentak kaget. Ia hampir menjatuhkan kuasnya. Kirana menoleh memandang Barra.
Barra hanya membalasnya dengan sorotan datar.
"Lagi gambar suasana di luar. Bagus tidak?" lanjut Kirana mencoba mencairkan suasana.
Barra membisu. Pandangannya tertuju pada lukisan senja di pangkuan Kirana.
Kirana melanjutkan, "Menurutku kurang bagus. Sekarang ini, tidak tahu kenapa jariku terasa kaku kalau narik garis. Hmmn... Apa gara-gara kecelakaan itu ya? Apa berpengaruh?" Kirana memandangi jari-jarinya.
Barra masih diam.
"Rapikan! Waktunya makan!" perintah Barra tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Albarraka Hutomo!!" Tiba-tiba seorang wanita menerobos masuk ke dalam kamar. Dia terengah-engah
Kirana terperanjat mendengar pintu dibanting.
Wanita paruh baya itu mendekati Kirana. Dia mengenakan blouse merah dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul sederhana. Bersahaja dan menawan. Kirana berpikir wanita itu pasti cantik sekali saat muda.
"Sedang apa kau bersama wanita ini?! Untuk apa kau mengurusi dia?!" teriaknya. Dia menarik Barra menjauhi Kirana.
Siapa dia? Kenapa dia menarik tangan Mas Barra? Ah, ibunya kah? Berarti dia ibu mertuaku. Tapi, kenapa marah-marah? pikir Kirana.
"Mama pikir kamu masih di London. Ternyata di sini. Kamu berjanji sama mama... Katanya hanya hingga dia sadar. Lalu, kenapa kamu masih di sini?!" Suaranya makin meninggi.
"Ma... Sabar Ma!" Barra mencoba menenangkan.
"Gak Mau! Mama sudah cukup sabar sama wanita itu!" Mama Barra menunjuk Kirana.
Kirana tercengang.
Lalu, masuk wanita lain dengan tergopoh-gopoh. Bu Wulan.
"Mas... Ma...aaf saya...Bu Tanti.. " ucap bu Wulan kehabisan nafas seperti habis berlari.
"Bu Wulan, jaga Kirana sebentar!" Barra menarik tangan mamanya keluar.
"Ih, apa sih?! Lepas Barra! Barra! Mama gak mau kamu di sini sama dia," protes bu Tanti.
Brak. Barra menutup pintu. Kirana tidak bisa mendengar apapun lagi.
"Bu Wulan... Itu Mamanya Mas Barra? Ada apa...?" Kirana beralih pada bu Wulan.
"Tidak tahu! Mba gak usah tanya-tanya! Mba mau makan kan?! Saya bantu!" Bu Wulan mengambil peralatan lukis dari pangkuan Kirana lalu membantunya naik ke tempat tidur.
Kirana terpaku menatap pintu.
Cukup lama Barra keluar. Kirana semakin bertanya-tanya.
Mamanya Mas Barra sedang marah padaku? Teriakannya tadi ditujukan untukku? Kenapa dia bilang sudah cukup sabar denganku? apa yang kuperbuat hingga membuat mamanya Mas Barra sangat marah?
Kirana menggali dalam memori-nya.
"Aduh...!" Kirana memegangi kepalanya.
"Kenapa Mba?" bu Wulan menghampiri Kirana.
"Sakit Bu. Kepalaku sakit. Aduh...aaah," Kirana mengerang kesakitan. Luka operasi di belakang kepalanya terasa berdenyut.
Bu Wulan seegera memijit bel. Ia juga menelepon Barra.
"Kenapa Ibu...?" dua orang perawat menghampirinya.
"Aaah... Sakit, Sus! Kepalaku sakit! Aaah," Kirana mulai menangis menahan sakit.
"Sebentar ya Bu... Kami tanyakan dokter jaga dulu," salah satu perawat berlari keluar.
"Nafas bu... Coba atur nafasnya dulu..." ajak perawat lainnya berusaha membantu.
Kirana menggeleng, "Terlalu sakit, Sus," air mata bercucuran di pipinya.
"Kenapa Bu Wulan?" Barra datang dengan tergesa.
"Kira... Kenapa?" Barra mendekati Kirana, memegang bahunya. Perawat yang tadi menenangkan Kirana melangkah mundur. Memberi ruang pada Barra.
"Sakit Mas... Kepalaku sakit sekali," Kirana terisak sambil terus memegangi kepalanya.
Kirana sekilas melihat bu Tanti berdiri di samping bu Wulan. Wajahnya cukup tenang.
Barra menarik Kirana dalam pelukannya. "Sus, ini gimana?" tanya Barra pada perawat.
"Kami sudah memanggil dokter jaga. Tunggu sebentar... " jelasnya.
"Sabar Kira... Tahan sebentar!" Barra berbisik di telinganya. Kirana merasa dekapan Barra semakin erat.
"Permisi, Pak! Bu!"
Dokter jaga akhirnya datang. Barra mengurai pelukannya lalu melangkah mundur.
Dokter jaga langsung memeriksa kepala Kirana. Memeriksa luka jahitan di belakang kepalanya.
Disibaknya rambut Kirana. Terlihat sebuah garis yang masih memerah seperti sebuah ristleting panjang. "Apakah ini juga terasa sakit Bu?"
"Iya dok, rasanya berdenyut," ujar Kirana. Air mata masih turun di pipinya.
"Baik, saya kasih obat lewat infusan ya Bu. Nanti ibu akan merasa ngantuk sekali. Ibu tidurkan saja ya," jelas dokter muda itu.
Suster dengan sigap memasangkan infusan di lengan Kirana. Setelah siap, dokter menyuntikkan obat ke dalam selang.
"Tunggu sebentar Bu. Obatnya akan segera bereaksi."
"Dokter, kenapa bisa sakit tiba-tiba?" Barra bertanya setelah dari tadi diam memperhatikan.
"Sepertinya otak Ibu Kirana bekerja terlalu keras Pak. Luka parah di kepalanya belum sepenuhnya pulih. Karena itulah dokter Nurman meminta ibu Kirana jangan terlalu memaksakan diri mengingat masa lalunya. Saya harap keluarga dapat mengerti, dan dapat mengingatkan ibu Kirana." dokter itu menatap satu per satu orang yang berada di sana.
Ia lalu melanjutkan, "Saya sudah memberikan obat pereda sakit. Dosisnya cukup tinggi. Efeknya ibu Kirana akan tertidur."
Barra mendekati Kirana. Menggenggam tangannya. Seperti biasanya, genggaman Barra terasa hangat.
"Kalau begitu saya tinggal dulu, kalau ada apa-apa tolong beritahu perawat. Permisi, Pak, Bu!" ketiganya keluar.
Barra tidak menjawab. Ia mengelus lembut rambut Kirana. Kirana mengantuk. Kelopak matanya berat.
"Terima kasih banyak, Dok, Sus," Bu Tanti menjawab mewakili anaknya.
Nafas Kirana semakin teratur. Sakit dikepalanya perlahan menghilang. Sedikit demi sedikit matanya terpejam. Barra menghapus sisa air mata di sudut mata Kirana.
"Tidur dia?" Bu Tanti bertanya setelah beberapa saat.
Barra melepaskan tangan Kirana lantas duduk dihadapan mamanya.
"Mama tidak setuju kamu di sini merawatnya! Kamu meninggalkan tanggung jawabmu pada perusahaan," tutur Bu Tanti menatap tajam anaknya.
"Kirana juga tanggung jawabku Ma. Aku masih suaminya," ucap Barra pelan namun ada ketegasan dalam nada bicaranya.
Bu Tanti menarik nafas. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Barra saat ini.
"Baiklah... Mama setuju dengan usulmu tadi. Hanya sampai dia lebih baik. Setelah itu, kamu harus kembali melanjutkan rencana kita. Tinggalkan Kirana!"
Barra membisu.
"Kamu jangan lupa perbuatannya padamu. Pada keluarga kita!!"
Barra menatap jarinya.
"Mama sangat membencinya. Mau sakit atau tidak, mama tidak suka dengan Kirana!"
Bu Tanti menoleh pada bu Wulan.
"Bu Wulan! Mulai besok jaga Kirana kembali. Barra akan kembali ke kantor."
"Barra?" Bu Tanti kembali memanggil Barra.
"Kamu dengar?! Dan segera hubungi Raisa, dia menunggu kabar darimu!" Ia kemudian berlalu meninggalkan Barra dan bu Wulan.
Air mata kembali turun di pipi Kirana. Ia belum tidur. Meski matanya terpejam, ia masih mendengar penuturan bu Tanti.
Apa yang diucapkan bu Tanti barusan mengguncang Kirana. Barra berencana meninggalkannya.
***********
Barra sudah berencana untuk meninggalkan Kirana. Apakah Barra akan tetap pada rencananya? Lalu, apa yang akan terjadi ada Kirana? Ayo, di buka bab selanjutnya!
Terima kasih sudah mampir. Kalau teman-teman suka dengan kisah Barra dan Kirana ini, tolong tinggalkan jejak dengam like, komen, bintang 5 dan vote. Karena dukungan dari kalian sangat berarti untukku :)