NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:296
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Benang Merah Kekuasaan

Tiga menit.

Di dunia normal, itu adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyeduh secangkir teh. Waktu untuk menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Sebuah interval yang tidak berarti. Tapi di dalam ruang pribadi Rumah Teh Long Wa yang sunyi, di tengah aroma teh Pu-erh dan dupa yang menenangkan, tiga menit adalah sebuah keabadian dan sebuah detik yang berlalu bersamaan. Itu adalah sisa umur dari pembunuh bayaran terhebat di dunia.

Wajah Elias Vance—atau Jäger—yang tadinya memancarkan kecerdasan dan arogansi seorang maestro, kini telah runtuh. Kepanikan murni, sesuatu yang mungkin tidak pernah ia rasakan seumur hidupnya yang penuh kontrol, kini menjalari matanya. Ia mencengkeram lehernya, seolah bisa menghentikan racun yang sudah mengalir di dalam darahnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Kau... bajingan licik," desisnya, napasnya mulai terasa berat. Rasa dingin yang aneh mulai menjalar dari perutnya, sebuah kebas yang menyebar ke jari-jarinya.

Leo tidak bergeming. Ia hanya menatap Jäger dengan ketenangan seorang chef yang sedang menunggu kue di ovennya matang. Di sampingnya, Isabella duduk tegak, matanya yang tajam mengamati setiap kedutan di wajah pria yang telah menembaknya, tidak menunjukkan belas kasihan, hanya kepuasan yang dingin.

"Kau seorang seniman, Jäger," kata Leo pelan. "Kematianmu juga harus menjadi sebuah karya seni. Sebuah mahakarya terakhir yang akan mengguncang dunia yang selama ini kau layani dalam bayang-bayang. Warisanmu. Apakah kau ingin dikenang hanya sebagai pion yang gagal milik Viktor Rostova, dibunuh oleh seorang koki di sebuah kedai teh? Atau..."—Leo mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya menjadi bisikan yang menggoda—"...kau ingin dikenang sebagai hantu yang, bahkan saat sekarat, berhasil meruntuhkan kerajaan-kerajaan dari liang lahatnya? Sebuah bom waktu yang kau tinggalkan untuk para rajamu yang sombong. Itu baru sebuah pertunjukan penutup yang epik."

Leo sedang menjual sebuah ide. Sebuah narasi. Dan untuk seorang narsisis seperti Jäger, seorang pria yang hidup untuk keindahan dari sebuah rencana yang sempurna, tawaran itu jauh lebih menarik daripada permohonan ampun atau ancaman. Di tengah kabut kematian yang mulai menyelimutinya, mata Jäger berkilat dengan apresiasi yang bengkok. Ia melihatnya. Seni di balik pembalasan dendam Leo.

"Kau... benar-benar putra iblis," kata Jäger sambil tersenyum getir. Rasa kebas kini telah mencapai lengannya. "Baiklah, Alkemis. Kau akan mendapatkan pertunjukanmu."

Ia berjuang untuk setiap kata, napasnya semakin pendek. "Aku tidak punya daftar fisik. Itu amatir. Semuanya... ada di awan. Sebuah buku besar digital yang terenkripsi. Menggunakan kunci kuantum yang berubah setiap detik. Tidak akan bisa ditembus."

"Kalau begitu, ini akhir yang mengecewakan," kata Isabella dingin.

"Tunggu," kata Jäger, mengangkat satu tangannya yang gemetar. "Ada satu cara untuk membukanya. Sebuah 'kunci kematian'. Servernya diprogram untuk mendeteksi tanda-tanda vital saya melalui implan subkutan. Saat tanda-tanda itu berhenti... sebuah jendela waktu 60 detik akan terbuka. Di saat itulah, kunci akses utamanya bisa dimasukkan."

"Berikan kuncinya," tuntut Leo.

Jäger tertawa terbahak-bahak, suara tawanya berubah menjadi batuk yang mengerikan. "Ini bagian yang indah. Kuncinya tidak akan cukup. Butuh dua komponen. Kunci akses... dan sebuah frasa pemicu verbal, yang direkam oleh suara saya. Frasa itu harus diucapkan dalam 30 detik setelah jantung saya berhenti."

"Dia berbohong," desis Isabella.

"Tidak, dia tidak berbohong," kata Leo, matanya terkunci pada Jäger. "Ini gayanya. Rumit, teatrikal, dan sangat arogan. Sangat indah."

Jäger mengangguk, menghargai pemahaman Leo. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia mengeluarkan sebuah pena dari sakunya. Ia menuliskan serangkaian kode alfanumerik yang panjang di atas serbet. "Ini... kuncinya," katanya, mendorong serbet itu ke seberang meja. "Berikan pada penyihir digital kalian."

Rasa dingin itu kini telah mencapai dadanya. Ia kesulitan untuk bernapas. "Dan frasa pemicunya..." Ia menatap Leo, matanya yang mulai berkaca-kaca kini menunjukkan rasa hormat yang aneh. "...adalah sebuah kutipan. Sesuatu yang akan kau hargai."

Ia menarik napas terakhirnya yang dalam dan bergetar. Seluruh sisa hidupnya ia kerahkan untuk mengucapkan lima kata terakhir ini dengan jelas.

"Seni terbesar... adalah kematian yang sempurna."

Dan dengan itu, kepala Elias Vance jatuh ke dadanya. Matanya yang terbuka menatap kosong ke cangkir tehnya yang setengah kosong. Sang pembunuh bayaran terhebat di dunia telah tiada, diracuni bukan oleh musuh bebuyutannya, tetapi oleh seorang chef di sebuah kedai teh di Makau.

Keheningan yang khidmat menyelimuti ruangan itu. Leo menatap tubuh tak bernyawa di hadapannya. Tidak ada rasa kemenangan, hanya perasaan hampa yang aneh. Perburuannya telah berakhir.

"Bianca," kata Leo ke komunikatornya yang tersembunyi. "Kau dengar itu?"

"Aku dengar," balas suara Bianca yang tegang dari seberang dunia. "Aku sudah merekamnya. Aku akan bersiap. Jam kematiannya... sekarang."

Kini, perlombaan melawan waktu dimulai. Dunia di luar rumah teh itu tidak menyadari drama sunyi yang baru saja terjadi di dalamnya. Bagi Leo dan Isabella, dunia itu kini adalah sebuah papan catur yang harus dibersihkan dengan cepat dan efisien.

"Tim Hantu, masuk," perintah Isabella pelan ke komunikatornya.

Kurang dari dua menit kemudian, pintu ruang pribadi itu terbuka. Riko dan Maya masuk, tidak lagi mengenakan penyamaran mewah mereka, tetapi kini mengenakan seragam paramedis lengkap dengan tas medis dan tandu lipat. Mereka bergerak dengan efisiensi yang dingin dan terlatih, seolah sedang melakukan sebuah prosedur rutin.

"Waktu kematian dicatat pukul 12:47 siang," kata Riko dengan nada profesional, sambil memeriksa denyut nadi di leher Jäger dan menyorotkan senter kecil ke matanya yang tak lagi bereaksi. "Penyebab: henti jantung mendadak. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung koroner."

Maya sudah menyiapkan sebuah tablet, memalsukan surat kematian digital yang tampak sangat asli, lengkap dengan tanda tangan dari seorang dokter lokal yang "terhormat" (yang berada di bawah pengaruh salah satu kasino sekutu Isabella). Mereka dengan cepat dan cekatan memindahkan tubuh Jäger ke atas tandu, menutupinya dengan selimut termal, dan membawanya keluar melalui pintu belakang staf, di mana sebuah ambulans pribadi—yang dicuri dan diubah plat nomornya beberapa jam sebelumnya—telah menunggu.

Sementara itu, Leo dan Isabella berjalan keluar melalui pintu depan, kembali mengenakan topeng Lars dan Annelise Vanderholt yang tanpa cela. Mereka membayar tagihan teh mereka dengan kartu kredit anonim, memberikan tip yang sangat besar kepada pelayan tua yang sama sekali tidak curiga, yang membungkuk dalam-dalam atas kemurahan hati mereka. Mereka melangkah masuk ke dalam Rolls-Royce mereka seolah baru saja menyelesaikan sebuah pertemuan bisnis yang membosankan, bukan sebuah eksekusi.

Saat mobil mereka meluncur menjauh dari jalanan kuno Makau Tua, Leo melihat sekilas ambulans itu berbelok ke arah yang berlawanan, menuju sebuah krematorium industri di pinggiran kota. Tubuh Jäger akan menjadi abu dalam waktu satu jam, dan abunya akan ditebarkan di Laut Cina Selatan. Hantu itu telah benar-benar lenyap dari muka bumi, tidak meninggalkan jejak apa pun kecuali sebuah kunci digital dan sebuah frasa terakhir yang puitis. Pihak berwenang Makau, yang telah 'diberi pengertian' dengan transfer kripto dalam jumlah besar oleh Bianca, akan menutup kasus kematian seorang turis tua karena serangan jantung dalam waktu kurang dari satu jam. Papan catur telah bersih.

Perjalanan kembali ke Jakarta dengan jet pribadi terasa sangat berbeda dari perjalanan mereka saat berangkat. Saat berangkat, udara dipenuhi oleh ketegangan dan antisipasi perburuan. Kini, udara dipenuhi oleh keheningan yang berat karena kemenangan dan ketidakpastian yang baru. Mereka telah memenangkan ronde ini. Mereka telah membalaskan dendam untuk Isabella. Tapi kata-kata terakhir Jäger—yang mengisyaratkan pengkhianat dari dalam—terus bergema di benak mereka.

"Dia tidak tahu siapa yang membayarnya," kata Isabella, memecah keheningan sambil menatap hamparan awan dari jendela. "Hanya sebuah kode, sebuah petunjuk samar. Itu berarti orang ini sangat berhati-hati. Seseorang dari lingkaran kita. Seseorang yang tahu bagaimana cara bersembunyi di depan mata."

"Seseorang yang tahu bahwa menyerangmu secara langsung tidak akan berhasil," tambah Leo, matanya terpejam, pikirannya sudah bekerja menganalisis skenario. "Seseorang yang tahu kau akan selamat dari serangan Viktor. Seseorang yang cukup pintar untuk menyewa Jäger sebagai polis asuransi, untuk menyelesaikan pekerjaan yang gagal dilakukan Viktor. Dia bukan hanya ingin kau mati, Isabella. Dia ingin kau lenyap tanpa jejak, sehingga dia bisa mengisi kekosongan kekuasaanmu dengan mulus."

Kecurigaan kini seperti racun, menyebar di antara mereka, mengancam untuk meracuni seluruh organisasi yang telah mereka perjuangkan dengan susah payah. Siapa yang bisa mereka percayai? Setiap wajah yang loyal, setiap tangan kanan yang setia, kini memiliki bayangan keraguan.

Setibanya mereka di Empress Tower, hal pertama yang mereka lakukan adalah menemui Viktor. Ini adalah urusan terakhir yang belum selesai, benang terakhir dari perang lama mereka yang harus dipotong sebelum mereka bisa memulai perang yang baru.

Viktor berada di selnya, tampak lebih kurus dan lebih tua. Api di matanya telah lama padam, digantikan oleh kekosongan yang apatis. Ia telah mendengar tentang kehancuran total organisasinya, tentang pembelotan anak buahnya, tentang aset-asetnya yang lenyap. Ia adalah seorang raja tanpa kerajaan. Ia mendongak saat Isabella dan Leo masuk, diikuti oleh Pak Tirta dan Marco. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan, hanya kepasrahan yang lelah.

Isabella berdiri di depan sel itu, kini sepenuhnya pulih, memancarkan aura kekuatan yang dingin dan tak terbantahkan. Bekas lukanya adalah sebuah mahkota baru, tanda dari pertempuran yang telah ia menangkan. "Jäger sudah mati," katanya, suaranya datar, tanpa emosi.

Viktor hanya mengangguk pelan, seolah sudah menduganya. Di dunia mereka, kesetiaan seorang pembunuh bayaran hanya berlangsung selama kontraknya masih aktif dan menguntungkan.

"Kau telah menjadi bidak terakhir dalam permainanmu sendiri, Viktor," lanjut Isabella. "Dan sekarang, kau tidak lagi berguna."

Ia memberi isyarat pada Marco, yang membuka pintu sel dengan suara decitan logam yang keras. Di tangannya, Marco memegang sebuah nampan perak kecil. Di atasnya ada sebuah gelas kristal berisi cairan berwarna amber gelap yang berkilauan, dan di sampingnya ada sebuah pistol Sig Sauer P226 hitam yang dingin dan efisien.

"Aku menepati janjiku," kata Isabella, suaranya tanpa belas kasihan. "Sebuah kematian yang bisa kau pilih. Kau bisa mati seperti seorang prajurit,"—ia melirik pistol itu, menawarkan sebuah akhir yang cepat dan penuh kekerasan—"atau kau bisa mati seperti seorang bangsawan,"—ia menatap gelas itu. "Itu adalah Cognac Louis XIII. Sangat langka, sangat mahal. Dosis sianida yang terkandung di dalamnya tidak akan terasa di antara kompleksitas rasanya. Kematianmu akan datang dalam waktu kurang dari satu menit. Sebuah akhir yang elegan untuk seorang pria yang pernah mencoba menjadi raja."

Ia menawarkan ilusi kontrol terakhir pada pria yang telah kehilangan segalanya. Sebuah pilihan antara kematian yang brutal dan kematian yang bermartabat.

Viktor menatap pistol itu, lalu ke gelas Cognac. Ia adalah seorang pria yang hidup dan mati demi citra dan egonya. Setelah hening yang panjang, tangannya yang sedikit gemetar terulur dan meraih gelas itu. Ia tidak ingin mati dalam ledakan kekerasan yang sia-sia di sebuah sel bawah tanah. Ia ingin mempertahankan sisa-sisa terakhir dari harga dirinya yang telah hancur.

Ia mengangkat gelas itu ke arah Isabella, sebuah penghormatan terakhir yang ironis kepada lawannya yang telah mengalahkannya di setiap langkah. "Untuk Sang Ratu," katanya, suaranya serak. Lalu ia menenggak seluruh isinya dalam satu tegukan, memejamkan matanya seolah sedang menikmati minuman terakhirnya yang paling berharga.

Mereka semua berdiri dalam diam saat pria yang pernah menjadi tiran paling ditakuti di kota itu tersungkur ke samping, hidupnya berakhir dalam keheningan yang antiklimaks, menyisakan hanya aroma Cognac mahal di udara.

Perang melawan keluarga Rostova telah benar-benar berakhir.

Dengan benang terakhir dari masa lalu yang telah terpotong, kini saatnya untuk menghadapi masa depan yang menakutkan. Seluruh dewan perang—Leo, Isabella, Pak Tirta, Marco, dan Bianca—berkumpul di ruang perang. Suasananya khidmat dan tegang. Di layar utama, sebuah ikon gembok kuantum yang rumit berkedip-kedip, seolah berdenyut dengan rahasia puluhan tahun. Itu adalah buku besar digital peninggalan Jäger. Kotak Pandora mereka.

"Semua siap?" tanya Bianca, jemarinya melayang di atas keyboard, siap untuk menari.

Semua orang mengangguk.

"Baiklah," kata Bianca. "Kunci akses dari serbet... dimasukkan. Menganalisis... Kunci diterima. Sekarang meminta pemicu kedua. Aku akan memutar rekaman suaranya sekarang. Berharap saja aksennya cukup jelas untuk dianalisis oleh sistem."

Ia menekan sebuah tombol. Suara Jäger yang tenang dan berbudaya memenuhi ruangan, sebuah gema dari liang lahat yang terdengar sangat jernih.

"Seni terbesar... adalah kematian yang sempurna."

Selama beberapa detik yang terasa seperti satu jam, tidak terjadi apa-apa. Jantung mereka berdebar kencang. Apakah Viktor telah menipu mereka? Apakah Jäger telah membawa rahasianya ke liang lahat? Lalu, ikon gembok di layar bergetar hebat, dan pecah menjadi ribuan kepingan digital yang menyebar seperti bintang. Akses diberikan.

Apa yang muncul selanjutnya membuat mereka semua menahan napas. Itu bukanlah sekadar daftar nama atau rekening bank. Itu adalah sebuah jaringan kekuasaan global yang rumit dan saling terhubung, dipetakan dengan detail yang mengerikan. Puluhan tahun sejarah rahasia dunia bawah tanah, spionase korporat, dan manipulasi politik, semuanya ada di sana. Setiap "klien" diberi nama kode yang puitis, setiap "proyek"—yang berarti pembunuhan atau sabotase—didokumentasikan dengan pembayaran, metode, dan catatan pribadi Jäger tentang tingkat kesulitannya. Itu adalah warisan Jäger. Sebuah senjata pemusnah massal dalam bentuk informasi, yang mampu meruntuhkan pemerintahan dan menghancurkan pasar saham.

"Ya Tuhan," bisik Bianca, matanya terbelalak tak percaya. "Ini... ini lebih besar dari yang kita bayangkan. 'Serigala Alpen' yang ia sebutkan... itu adalah kepala bankir swasta di Swiss yang mendanai perang proksi di Afrika. Pembayarannya dilakukan dengan menghapus hutang negara kecil. 'Pedagang Singapura'... CEO sebuah perusahaan teknologi raksasa yang menyewa Jäger untuk membunuh penemu saingannya dan mencuri paten cip kuantum mereka."

Daftar itu terus berlanjut, setiap nama lebih mengejutkan dari yang sebelumnya. Politisi yang citranya bersih, jenderal yang dihormati, CEO filantropis, bahkan beberapa nama yang mereka kenali dari dunia hiburan dan olahraga. Mereka semua adalah klien dari sang seniman kematian. Mereka semua memiliki rahasia yang terkubur, dan Jäger adalah penggali kuburnya.

"Fokus, Bianca," kata Leo, suaranya yang tenang memotong kekaguman mereka. "Kita tidak peduli dengan perang dunia. Kita peduli dengan perang kita. Cari pekerjaan di Jakarta. Cari klien yang menargetkan Isabella."

Bianca mengangguk, jemarinya kembali menari di atas keyboard dengan kecepatan super. Ia menyaring data berdasarkan lokasi, waktu, dan metode pembayaran. Satu entri yang menakutkan muncul, menempati seluruh layar utama.

PROYEK: Ratu yang Jatuh

TARGET: Isabella Rosales

KLIEN (KODE): Ouroboros

PEMBAYARAN: 5 Juta Euro (dalam Monero, melalui tujuh lapisan proksi)

CATATAN PRIBADI JÄGER: Target dilindungi oleh variabel tak terduga (lihat file: Alkemis). Klien sangat teliti, menuntut kerahasiaan absolut. Motif: suksesi internal, bukan perang eksternal.

STATUS: GAGAL. TARGET SELAMAT. PEMBAYARAN DIKEMBALIKAN.

"Ouroboros," gumam Isabella, kata itu terasa pahit di lidahnya. "Ular yang memakan ekornya sendiri. Simbol dari siklus, penghancuran diri... pengkhianatan dari dalam."

"Pembayarannya dilakukan melalui serangkaian lapisan perusahaan cangkang dan transaksi kripto yang sangat rumit," jelas Bianca, wajahnya tegang karena konsentrasi. "Ini seperti membuka bawang digital raksasa. Tapi setiap bawang pasti punya intinya. Beri aku waktu."

Selama beberapa jam berikutnya, ruangan itu dipenuhi oleh suara ketukan keyboard Bianca. Yang lain hanya bisa menonton dengan tegang saat ia membongkar benteng digital yang melindungi identitas "Ouroboros". Ia mengupas lapisan pertama: sebuah perusahaan properti palsu di Panama. Lapisan kedua: sebuah yayasan amal fiktif di Kepulauan Cayman. Lapisan ketiga, keempat, kelima. Setiap lapisan lebih rumit dari yang sebelumnya, dirancang untuk menemui jalan buntu.

"Dia sangat, sangat baik," gumam Bianca, penuh kekaguman dan frustrasi pada lawannya yang tak terlihat. "Tapi aku lebih baik."

Akhirnya, setelah perjuangan selama hampir lima jam yang menguras mental, saat fajar mulai menyingsing di luar, Bianca berseru. "Aku berhasil! Aku menembus firewall terakhir! Aku menemukan celah di log transaksi Monero! Melacak transaksi terakhir ke sumber dompet digitalnya... Dompet itu... dompet itu didanai dari sebuah rekening di bank lokal, yang terdaftar di bawah sebuah perusahaan induk. 'Valli Holdings'."

Nama itu membuat Marco, yang hampir tertidur di kursinya, langsung duduk tegak, matanya terbelalak. "Valli? Seperti... Serena Valli? Jalang ambisius itu?"

"Serena hanyalah bonekanya, ujung tombaknya," kata Leo, matanya menyipit saat kepingan-kepingan puzzle yang mengerikan itu mulai menyatu di kepalanya. "Dia tidak cukup pintar untuk merancang ini semua."

"Benar," kata Bianca, saat ia menampilkan profil pemilik mayoritas dan satu-satunya penandatangan di rekening Valli Holdings. "Sumber utama dari dana itu... terdaftar atas nama ini."

Sebuah foto muncul di layar utama, memenuhi seluruh dinding. Foto seorang pria tua berusia akhir enampuluhan, dengan rambut putih yang disisir rapi, senyum kebapakan, dan mata yang selalu tampak ramah dan penuh kebijaksanaan. Seorang pria yang telah duduk di setiap pertemuan dewan Keluarga Rosales sejak Isabella masih kecil. Seorang pria yang selalu memanggilnya "keponakanku". Seorang pria yang memegang posisi sebagai penasihat senior dan bendahara organisasi, orang yang dipercaya sepenuhnya oleh ayah Isabella untuk menjaga keuangan keluarga.

Antonio Valli. Ayah Serena.

Keheningan yang mengikuti pengungkapan itu lebih dalam dan lebih dingin daripada keheningan manapun yang pernah mereka rasakan. Itu adalah keheningan dari pengkhianatan total. Suara dari dunia yang hancur berkeping-keping.

Marco adalah yang pertama bereaksi, bukan dengan teriakan, tetapi dengan suara tercekat yang penuh rasa sakit. Ia membanting tinjunya ke dinding baja di sampingnya. "Bajingan tua itu!" raungnya, wajahnya memerah karena amarah dan rasa tak percaya yang luar biasa. "Aku sudah mempercayainya seumur hidupku! Ayahku mati untuk ayahnya! Dia yang selalu menenangkanku saat ayahku meninggal!"

Pak Tirta hanya memejamkan matanya, menghela napas panjang. Ia telah melihat pengkhianatan seperti ini sebelumnya di medan perang, di antara para prajurit yang saling menyebut saudara. Pengkhianatan yang paling menyakitkan selalu datang dari orang-orang terdekat, dari pisau yang ditusukkan dari belakang oleh tangan yang biasa menepuk punggungmu.

Leo menoleh pada Isabella. Wajahnya yang biasanya sekeras baja kini tampak rapuh, seperti kaca yang baru saja dihantam palu. Matanya menatap kosong ke foto Antonio Valli, pria yang ia panggil "Paman Antonio". Setiap senyum ramahnya, setiap nasihat bijaknya, setiap pelukan kebapakannya, kini terasa seperti kebohongan yang menjijikkan. Seluruh fondasi dunianya, yang dibangun di atas warisan loyalitas ayahnya, ternyata adalah sebuah rumah kartu yang busuk. Serangan dari Viktor adalah serangan bisnis. Ini adalah serangan terhadap jiwanya.

"Kenapa?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

"Kekuasaan," jawab Leo pelan, berjalan ke sisinya dan meletakkan tangannya di bahunya, mencoba memberinya kekuatan. "Dia tahu kau tidak akan pernah sepenuhnya mempercayai putrinya, Serena, untuk menjadi penerusmu. Tapi jika kau mati... dalam kekacauan itu, sebagai 'paman' yang bijaksana dan dituakan, dia bisa memanipulasi dewan untuk menunjuk Serena sebagai pemimpin boneka, sementara dia sendiri yang memegang kendali di belakang layar. Dia ingin mengubah dinasti Rosales menjadi dinasti Valli."

Implikasinya sangat mengerikan. Musuh mereka bukanlah serigala di depan pintu. Musuh mereka adalah kanker yang telah menggerogoti mereka dari dalam selama bertahun-tahun. Antonio Valli tahu setiap rahasia mereka. Setiap safe house, setiap rekening bank, setiap kelemahan. Ia memiliki loyalitas dari faksi-faksi tertentu di dalam organisasi.

Mereka baru saja memenangkan perang melawan musuh dari luar, hanya untuk menyadari bahwa mereka kini berada di ambang perang saudara yang jauh lebih berdarah dan berbahaya.

Leo menatap wajah Isabella yang hancur. Perannya kini bergeser lagi. Ia bukan lagi sang perawat atau sang pemburu. Ia harus menjadi jangkar bagi Ratu-nya yang sedang badai. Ia harus menjadi satu-satunya pilar yang ia tahu tidak akan pernah runtuh.

Perlahan, kerapuhan di mata Isabella mulai menghilang, digantikan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang jauh lebih kuno dan lebih menakutkan daripada amarah. Itu adalah ketenangan yang mematikan dari sebuah hati yang telah hancur total dan kini ditempa kembali menjadi sesuatu yang baru dan tak terpatahkan.

Ia menegakkan punggungnya, mengangkat dagunya. Sang Ratu telah kembali dari keterpurukannya, kini dibangkitkan bukan oleh cinta atau kekuasaan, tetapi oleh api pengkhianatan murni.

Ia menatap foto Antonio Valli di layar, pria yang pernah ia cintai seperti keluarga. Lalu ia berbalik, menatap wajah-wajah di sekelilingnya: Leo, sang Alkemis yang menjadi tambatan hatinya; Pak Tirta, sang Pelatih yang menjadi perisainya; Marco, sang Banteng yang menjadi pedangnya; dan Bianca, sang Hantu yang menjadi matanya. Ini adalah keluarga sejatinya. Keluarga yang ditempa bukan oleh darah keturunan, tetapi oleh darah yang tertumpah bersama.

Suaranya, saat ia akhirnya berbicara, adalah bisikan yang sunyi, tetapi setiap kata di dalamnya membawa bobot dari sebuah vonis pemusnahan total.

"Mereka ingin mengambil rumahku dari dalam," katanya.

Ia berhenti sejenak, matanya yang gelap menatap mereka satu per satu, mengikat mereka dalam sebuah sumpah baru yang tak terucapkan.

"Baiklah. Kalau begitu... kita akan membakar seluruh rumah ini hingga rata dengan tanah, dan melihat siapa yang masih berdiri di atas abunya."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!