Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Sudah seminggu berlalu. Sejak Wiji pergi entah ke mana, dan kabar tak lagi menyentuh telinga siapa-siapa. Asmarawati mengurung masih diri di dalam kamarnya. Langit-langit kamarnya jadi satu-satunya tempat berpaut pandang.
Selimut tak hanya menutup tubuhnya, tapi juga menutup dunianya.
Hari-hari berlalu suara tawa Asmarawati lenyap di rumah itu. Kamar di pojok timur itu kini tak ubahnya gua sunyi yang menyimpan duka. Pintu tertutup rapat, gorden jendela pun tak pernah disibakkan.
Hanya sesekali terdengar gesekan langkah pelan,
atau desah nafas yang berat menahan air mata.
Tak ada suara gamelan. Tak ada tembang yang disenandungkan seperti biasa. Ia diam, seperti bumi yang sedang kehilangan porosnya.
Di ruang tengah rumah itu, Ki Ratmoyo duduk di kursi bambu, memandangi tungku yang padam. Puntung rokok dibiarkan habis sendiri di ujung jari. Sundari hanya duduk di sisi meja, mengelus kain jarik yang belum sempat dilipat. Tak satu kata pun terucap di antara mereka.
Yang menggema hanyalah kesunyian yang menyesakkan, dan satu tanya yang tak pernah benar-benar terjawab: “Apa kami terlalu keras?”
Mereka mengira, waktu akan menyembuhkan.
Bahwa melarang cinta adalah bentuk perlindungan. Tapi nyatanya, yang mereka jaga kini justru runtuh perlahan—
anak gadisnya sendiri, anak semata wayang, sebagai satu-satunya harapan kini tak lagi ceria dalam sorot mata.
Hanya raga yang ada di dalam kamar itu.
Sementara jiwanya entah tertinggal di mana.
Sundari menatap pintu kamar putrinya yang tetap tertutup rapat. Tak ada suara tangis. Tak ada suara marah. Hanya senyap—senyap yang terasa lebih menakutkan dari jerit atau makian apa pun. Sudah seminggu lamanya begitu. Waktu seakan membatu di depan pintu itu.
Sesekali, Sundari memberanikan diri membukanya. Masuk perlahan, seolah takut mengusik sesuatu yang rapuh. Ia mengantarkan sepiring nasi, segelas air putih, dan duduk sebentar di tepi ranjang. Asmarawati hanya diam memandang langit-langit, seperti tengah berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat. Matanya sembab, tapi tak ada tangis. Bibirnya kering, namun tak ada keluh.
Dengan sabar, Sundari mengelus dahi putrinya. Lembut dan lirih seperti doa yang tak pernah selesai. Tak sepatah kata pun ia ucapkan, karena ia tahu—ada luka yang tak bisa dijangkau oleh kata-kata. Hatinya remuk, tapi ia tetap bertahan. Sebab ia tahu, cinta seorang ibu bukanlah tentang menyembuhkan, tapi menemani dalam diam yang paling gelap.
“Nduk, makan dulu ya. Ibu suapin,” kata Sundari, pelan, hampir seperti bisikan.
Ia duduk di sisi ranjang, membawa sepiring nasi hangat dan sayur bening kesukaan putrinya. Dengan tangan gemetar yang berusaha tegar, ia menyuapi Asmarawati perlahan.
Sendok demi sendok masuk ke mulut gadis itu. Asmarawati memakannya tanpa menolak, tapi juga tanpa sepatah kata pun. Matanya tetap kosong menatap ke depan, seolah jiwanya tertinggal di tempat yang jauh.
Sundari menahan napas. Sesekali ia menatap wajah putrinya, berharap ada satu kata, satu gumaman, atau sekadar lirikan yang memberi tanda bahwa hatinya belum sepenuhnya hilang.
Namun yang ia terima hanyalah diam. Diam yang memekakkan telinga. Diam yang membunuh harapan perlahan-lahan. Diam seorang anak yang patah, dan seorang ibu yang hanya bisa bertahan di sisinya dengan cinta yang tak bersyarat.
Sementara itu, Ki Ratmoyo hanya bisa memandangi mereka dari ambang pintu. Tubuhnya bersandar lelah di daun pintu kayu jati yang dingin, seolah seluruh beban dunia menindih di pundaknya. Ia tak sanggup melangkah masuk, tapi juga tak sanggup pergi. Di dalam kamar itu, ada luka yang tumbuh dari benih yang pernah ia tanam sendiri.
Wajahnya sayu, matanya redup tertunduk dalam diam yang penuh penyesalan. Sekilas, pikirannya melayang pada sebuah kalimat yang sering ia ucapkan di pentas-pentas wayang—falsafah Jawa yang kini menggema kembali dalam hatinya sendiri: “Wong nandur bakal ngundhuh.” Orang yang menanam, kelak akan menuai.
Kalimat itu sering ia ucapkan sebagai pengingat bagi orang lain. Kini, kalimat itu justru datang sebagai cambuk yang mencambuk nuraninya sendiri.
Air matanya tak tumpah. Tapi sesak itu nyata.
Menyesal memang tak pernah datang di awal.
Dan kini, di tengah sunyi kamar itu, ia belajar, bahwa menjadi seorang bapak tak cukup hanya dengan menjaga nama. Tapi juga harus sanggup menjaga hati anak-anaknya dari luka yang tak perlu.
Tiba-tiba, dari kejauhan, suara pengeras suara masjid terdengar lirih, melayang bersama angin sore yang enggan turun. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." Suara itu serak. Tapi cukup menggetarkan isi rumah yang diam. Ki Ratmoyo tersentak. Sundari berhenti menyuapkan nasi. Asmarawati tetap diam. Tapi matanya—sedikit bergerak. Sejenak.
"Kawula aturaken dumateng warga Wonosari. Pak Kaji Mispan warga RT kalih welas, samenika wekdal sampun katimbalan kersaning Gusti Allah, tilar dunyo. Kaji Mispan menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul empat sore tadi di Rumah Sakit Bhayangkara. Mohon dimaafkan segala salah beliau semasa hidupnya. Jenazah akan disalatkan ba’da Magrib dan dikebumikan malam ini juga..."
Sunyi menebal sesudahnya. Tak ada yang bicara. Tak ada yang menanggapi. Hanya suara burung gereja di atap genteng, seolah ikut mengiringi doa-doa yang tak sempat dikirimkan.
Ki Ratmoyo menggenggam pintu erat-erat. Napasnya tercekat. Ia tahu, kabar itu bukan hanya kabar duka. Tapi juga getaran karma yang akhirnya jatuh.
Sundari menunduk dalam-dalam. Seolah ingin menghindari tatapan siapa pun—bahkan tatapan hatinya sendiri. Tapi Asmarawati, meski tetap membisu, tiba-tiba membuka matanya lebar.
Ia tidak menangis. Tapi dari sudut matanya, ada setetes air yang mengalir diam-diam— seperti hujan pertama setelah kemarau panjang.
Ki Ratmoyo berdiri. Ia masih menatap putrinya dari ambang pintu. Suara masjid sudah padam.
Tapi dalam dirinya, gamelan batin itu baru saja berbunyi.
Sundari masih duduk di tepi ranjang, sendok di tangannya kini jatuh ke piring. Napasnya tercekat.
Asmarawati bangkit perlahan, seolah ada tali tak kasat mata yang menarik tubuhnya ke tengah ranjang. Tubuhnya lunglai, tapi pasti. Ia mulai menari—tanpa kendang, tanpa bonang. Hanya irama dari luka dan angin yang tak henti berbisik.
Kepalanya mendongak, matanya membelalak ke langit-langit. Tawanya meledak—retak dan panjang.
Seakan segala sesak yang tertimbun selama ini
akhirnya menemukan jalan pulang.
"Hahahaha... Kaji Mispan modar.... Mas Wiji... Mas Wiji... Ndang muleh, Mas... Aku isih ngenteni sampean....."
Sundari menjerit, bukan karena takut, tapi karena hatinya tak sanggup lagi menahan pecahnya cinta yang kandas. Ia berdiri, mencoba memeluk putrinya— tapi Asmarawati memutar tubuh, tangannya menari membelah udara, seolah Sundari bukan lagi ibunya, melainkan bayangan penonton di panggung yang tak ia kenal.
Ki Ratmoyo berdiri di ambang pintu. Membatu. Tak melangkah masuk, tak juga pergi. Tubuhnya terguncang hebat, seperti pohon tua yang disergap angin diam-diam.
Matanya membasah, namun tak meneteskan air mata. Air mata itu sudah mengering di dalam—di tempat yang jauh lebih dalam dari sekadar pelupuk: di dasar penyesalan.
Ia tahu, apa yang pernah ditanamnya, kini sedang tumbuh menjadi pohon getir, dengan buah pahit yang tak mungkin dimuntahkan kembali.
Di dalam kamar, Asmarawati menari. Langkah-langkahnya tak lagi mengenal irama,
tangannya melambai ke udara yang tak menjawab. Ia tertawa. Tawa itu ganjil—terlalu nyaring untuk kesedihan, terlalu pedih untuk sebuah kebahagiaan.
Dari bibirnya, satu nama terus disebut, berulang-ulang seperti mantra patah: “Mas Wiji… Mas Wiji…” Nama yang tak pernah kembali.
Di sudut ruangan, Sundari merintih dalam pelukan hampa. Ingin memeluk anaknya, tapi tak tahu di mana ia bisa menyentuh jiwa yang telah pergi jauh, terlalu jauh.
Sementara Ki Ratmoyo tetap diam—diam seperti batu nisan yang belum diberi nama. Ia berdiri di depan makam hidup anaknya sendiri, anak yang jiwanya telah karam.
Asmarawati sudah gila. Tapi barangkali, dunia di sekelilingnya-lah yang lebih dulu edan.
Asmarawati sudah gila. Tapi siapa yang waras di dunia yang membungkam suaranya, menertawakan lukanya, dan menyakiti cintanya?
Asmarawati sudah gila. Tapi mungkin, justru itulah satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia yang lebih dulu kehilangan akal.
Asmarawati sudah kehilangan kewarasannya. Namun sesungguhnya, dunia sekelilingnya-lah yang lebih dulu memilih kegilaan—dalam diam, dalam dendam, dalam peradaban yang pura-pura suci.
Asmarawati gila. Tapi dunia lebih dulu.