"Aku nggak punya pilihan lain." ucap adel
"Jadi kamu memang sengaja menjebakku?" tanya bima dengan nada meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Bima terdiam. Duduk ditepi ranjang dengan kepala tertunduk, tangisan Adel diluar sana cukup menggema, menembus masuk kedalam kamarnya, suaranya terdengar pilu. Hati bima entah kenapa dipenuhi rasa bersalah dan menyesal, karena tega memarahi dan mengatakan hal yang tidak pantas padanya. Perasaan menyesal itu menggerogoti hatinya, seakan terus menghantuinya dalam keheningan sesaat.
"Apa yang aku lakukan! Tega sekali menyakiti, hati wanita, pengecut sekali dirimu, bima, bodoh!" Umpatnya, menyalahkan dirinya sendiri.
Bima terus mengumpat pada dirinya sendiri, tangannya mengusap kepalanya dengan kasar berulang kali. Beginilah dirinya, selalu merasa hancur setelah melampiaskan amarah pada orang terdekatnya. Rasa tidak tegaan itu muncul, mengusik, menyesakkan dada, seakan menghantui setiap detik setelah kata-kata tajam terucap.
Berbeda dengan orang yang tidak dikenalnya, tidak peduli. Acuh tak acuh, menurutnya orang asing bukanlah hal yang penting untuk dipikirkan.
Ia menghembuskan nafas lirih, matanya memejam. Pikirannya terngiang-ngiang, terulang kembali adegan saat dirinya memarahi anaknya. Decakan kesal terlontar, bingung mau meminta maaf kepada Adel, rasa gengsinya sangatlah besar melebihi besarnya gunung.
"Arghhh! Sialan! Pokoknya gue harus minta maaf! Buang dulu gengsi ini," dengan berat hati ia beranjak, keluar dari kamar. Netranya langsung menangkap sesosok Adel, gadis kecil itu terisak didapur dengan kedua tangannya yang memeluk lutut. Tubuhnya gemetar, seolah rasa sakit yang ia rasakan masih membekas.
Pemandangan ini membuat hati bima, seakan dihantam oleh batu besar, menyakitkan dan terasa sesak.
Dengan langkah pelan namun lemas, ia memberanikan diri mendekatinya.
"Del!" Panggil bima, suaranya pelan, berjongkok didepannya.
Adel masih terisak-isak, tanpa menyahutnya. Tidak tahu dengan kehadiran bima didepannya.
"D-del, ma-maafin ayah, sayang." Bima memegang kedua bahunya, bisa ia rasakan tubuhnya yang gemetar dikedua telapak tangannya. Seolah menggengam ketakutan dan kesedihan yang nyata.
"Del. Sayang, maafin ayah, ayah tau salah, karena menyakiti hati kamu. Tapi ayah gak bermaksud sama sekali tadi." Kata bima, mengguncang pundaknya pelan.
Adel tersentak, dengan cepat ia mengangkat kepalanya, matanya yang basah, menatap lurus manik bima. Kerongkongan bima tercekat, wajah anaknya merah, matanya sembab. Pipinya yang temben, dialiri air mata. Sesakit itu kah? Pikir bima.
"Maafin ayah!" Suara bima serak. Kedua tangannya beralih, menangkup pipi anaknya, perlahan menyeka air matanya dengan lemah lembut menggunakan ibu jarinya, Adel tertegun tanpa melakukan perlawanan, manik hazelnya yang cantik, mengamati tangan kokoh sang ayah, kemudian teralih. Hatinya seketika mencolos, sorot mata bima menyiratkan penyesalan yang begitu dalam, pertahannya hampir runtuh diperlakukan semanis ini, baper, tentu saja.
Buru-buru Adel menepisnya membuat bima tergelak.
"Kamu jahat mas, laki-laki paling kejam, gak berperasaan!" Pekik Adel, merajuk. Sengaja, berharap bima membujuknya lebih dari sekedar ini.
Pria itu menundukkan kepalanya, "maaf del!" Perlahan mendongaknya Dengan tatapan sayu.
Adel mendengus kesal, bersedekap dada. Tak mau langsung luluh, enak saja sudah menyakitinya dengan gampangnya meminta maaf saja, pikir Adel kesal.
"Del, maafin ayah dong, kamu kok diem aja sih, jangan bikin ayah ngerasa bersalah terus.... Ayah tau sikap ayah tadi salah, tapi tad-"
"Gak sengaja gitu kan?" Potong Adel, bima mengganga lebar, mengapa Adel bisa menebaknya.
"Enak banget kamu tinggal minta maaf doang mas, apa kamu gak mikirin sakitnya perasaan aku tadi waktu dibentak kamu?" Kesal Adel, dramatis.
Bima menghela nafas. Dilema, itulah yang ia rasakan. "Del, ayah minta maaf,"
"Maaf doang gak akan nyembuhin luka yang kamu berikan mas!" Kata Adel, sontak bima terbungkam seribu bahasa.
"Ucapan kamu tadi kasar banget, gak sepantasnya kata-kata seperti itu dilontarkan, apalagi untuk aku, wanita kamu, calon istri kamu!"
Bima berdecak pelan, baru saja ia merasa bersalah kini rasa bersalah itu tergantikan dengan rasa jengkel.
"Calon istri? Jangan mimpi kamu bocil, ayah gak mau punya istri bocil labil!" Ejek bima.
Adel terbelalak, menampar pipi bima pelan.
"Sakit del!" Ringis bima mengusap pipinya.
"Bodoamat! Dasar om-om tua Bangka! Jadi cowok kok kebanyakan milih-milih, ditawarin yang muda gak mau, maunya apa sih! Pantes aja gak laku-laku, kelakuannya aja gini." Kesal Adel mengubah posisinya, jongkok. "Kalo kebanyakan milih-milih pasangan yang ada punya kamu gak berfungsi lagi nantinya!" Kata Adel mengejeknya dengan tatapan remeh.
Bima tersenyum, tak tersinggung. "Berfungsi lah, punya ayah kan dipake terus buat muasin cewek-cewek diluar sana!"
Plak!
Plak!
Adel menepuk-nepuk bibir bima berulang kali dengan keras. Dadanya bergemuruh, menandakan ketidak sukaan dan ketidak terimaan.
"Berani banget kamu ngelakuin itu mas! Mana cewek yang kamu puasin kasih tau sini, biar aku habisin malem ini juga!" Adel menjambak bima pelan, melampiaskan kekesalannya.
Bima menelan ludahnya susah payah, ketar-ketir melihat kemarahannya. "Canda doang del, tenang ayah masih kesegel kok," ralat bima cepat-cepat. "Lagian mau muasin gimana? Punya anak aja modelan kayak kamu, posesifan dan sering ngekang-ngekang. Bikin pusing tau gak, ayah selama ini pusing nahan nafsu, ayah ini laki-laki biasa yang butuh namanya, penyaluran biologis." Ujar bima, tanpa sadar mengeluarkan isi hatinya yang selama ini dipendam.
Adel tercengang, sedetik kemudian ia tersenyum devil. "Nikahin aku aja, aku siap memuaskan kamu mas!" Bisiknya dengan suara mendesah.
Jantung bima berpacu cepat dari biasanya, buru-buru ia bangun. "Ngelantur kamu, gak mungkin ayah melakukan hubungan itu sama kamu, status kita anak dan ayah. Aneh sekali pemikiran kamu!" Gerutu bima. Marah, perkataannya sukses membuat bima keheranan.
"Bercanda mas! Ngapain juga aku nikah sama om-om bau tanah!" Kata Adel tersenyum, memasang wajah biasa saja untuk menutupi kegetiran hatinya yang sakit.
Bima tak menjawab, tangannya terulur. diam, menunggu. Adel menatapnya sejenak, ragu, sebelum akhirnya meraihnya dengan gemetar. Dengan tarikan pelan namun kuat, ia bangkit, meski lututnya masih terasa lemas.
"Thanks sayang!"
"Sayang ndasmu!" Dengus bima, menyentil keningnya pelan, antara gemas dan kesal.
"Sakit tau mas! Kamu mah redflag banget sih jadi cowok! Kerjaannya nyakitin Mulu!" Rajuk Adel mengusap keningnya, dengan bibir manyun.
"Dari pada kerjaannya ngehamilin kamu!" Frontal bima, sontak Adel terbelalak, tangannya terangkat hendak memukulnya. Sebelum tangannya menyentuh, bima kabur kedalam kamar, Adel memekik dan mengejarnya hingga kedalam.
Langkahnya terhenti, dahinya mengerut. Tatapannya mengamati gerak-gerik bima yang mencari-cari sesuatu kesetiap sudut kamar.
"Yah nyari apa? HM?"
Bima menoleh sekilas. "Nyari hp del!" Katanya menghela nafas sedih.
"Emang ayah bawa hp ya? Setahu aku ayah gak bawa hp sama sekali kerumah!" Jawab Adel mendekatinya, dengan alis bertaut, bingung. Pasalnya, bima tak membawa apapun kesini, selain membawa badan.
"Masa sih?"
"Hm"
"Terus tinggal dimana ya?"
"Ayah taro dimana? Coba ingat-ingat dulu," titah Adel, "lagian sih, jadi orang teledor banget, apa-apa asal! Ayah selalu gitu, gak pedulian, giliran hilang baru kewalahan!" Omel Adel kesal dengan bima yang teledor dari dulu.
"Orang mah bantuin kek, bukannya ngomel-ngomel!" Gerutu bima mengangkat bantalnya, mencari-cari ponselnya.
Adel menghembuskan nafas panjang, segera membantu ayahnya, menyusuri seisi kamar, menghempas beberapa barang dan selimut. Kamar yang tadinya rapih, kini bagai kapal pecah, sangat berantakan.
"Astaga! Ponselnya ketinggalan dikosan!" Ucap bima menepuk dahinya, menoleh kearah Adel yang menggenggam selimut dengan wajah tampak geram. Seolah ingin mengamuk detik ini juga. Usahanya, sia-sia saja saat bima mengatakan tentang tadi.
"Bisa lupa gitu del!" Nyengir bima menggaruk tengkuknya.
Buk!
Adel melemparnya dengan bantal, tepat mengenai wajahnya. Bima terdiam sejenak, merasakan benturan lembut itu sebelum akhirnya menghela napas, menatap Adel yang kini bersedekap dengan ekspresi kesal, sementara satu kakinya menghentak kelantai sangking geramnya.
"Sakit! Tau del!"
"Telat ngomongnya!" Pekik Adel, mencubit perutnya pelan. "Huft! Ngeselin banget sih," ia melepaskan cubitannya.
Bima mengusap perutnya, cubitan Adel sangatlah perih membuat perutnya mulas.
"Dimana kosannya?" Tanya Adel memecahkan keheningan sesaat.
"Di-di kampung!"
"Kampung??"
"I-iya, del!" Gugup bima mengganguk takut.
Adel terdiam sejenak, memijat pelipisnya pusing.
"Kamu disini aja ya, biar ayah aja yang kesana!" Kata bima mengenakan jaketnya, malam-malam begini pasti udara sangatlah dingin, pasti akan menusuk kulitnya.
"No! Aku ikut mas!" Kata Adel tersenyum penuh arti.
Bima menoleh, dahinya mengerut, mengganguk pelan tanpa mencurigai sedikitpun.
Disepanjang perjalanan, bima dan Adel saling diam-diaman didalam mobil, suasana hening, hanya suara hembusan angin yang terdengar. Menempuh sekitar 15 menit untuk sampai ke kosan ini.
Adel bergidik ngeri, mengamati ujung kanan dan kiri tempat ini. "Yah kenapa ngekos disini? Apa ayah gak takut? Tempatnya serem banget loh!"
"Pengen aja! Sekalian uji nyali!" Jawab bima asal, turun dari mobil meninggalkan Adel seorang diri.
Pria itu masuk kedalam kosan, langkahnya tertahan, menoleh kebelakang. "Del! Del! Kamu dimana?" Panggil bima berbalik badan, matanya mengedar mencari-cari anaknya yang entah kemana, hilang bak ditelan bumi.
"Dia ngilang kemana sih!" Gerutu bima mendengus kesal. Tak menemukan anaknya. Mulai Kewalahan mencarinya, ia masuk kedalam kosan dengan nafas memburu, matanya menyapu setiap sudut ruangan mencari benda yang hilang.
Tak menyarah, segera ia membuka pintu kamarnya, masuk kedalam, mengeksplor seisi kamar. Akhirnya, ponselnya yang hilang, ditemukan di atas ranjang.
Ia membalikkan badannya dan di sana, Adel berdiri diam, menatapnya tanpa ekspresi. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya menegang seketika, tak menyangka sosok itu muncul begitu dekat tanpa suara.
"Ha-hantu!" Ucap bima terbata-bata, lompat keranjang menutupi wajahnya dengan selimut.
"Arghhhh! Mana hantu!" Pekik Adel ikut berteriak, reflek melompat dan masuk kedalam selimut.
"Arghhhh! Setan! Setan! Awas kamu! Minggir sana!" Usir bima memberontak didalam selimut, ingin menyingkap selimutnya namun tangan Adel menggengamnya, erat tanpa melepaskannya.
"Pergi kamu, plis saya gak punya salah apa-apa, tolong jangan gentayangin saya cong!" Bima ketar-ketir, keringat dingin mengucur dipelipisnya.
"Ahhhhhh! Mana pocongnya yah? Mana? Tolong jangan ganggu saya!" Adel malah mendesah.
Bima mengerutkan keningnya, "kamu manusia kan? Adel kan?" Tanya bima memastikan.
Adel mengerjab-ngerjabkan matanya, kemudian mengganguk pelan. Hembusan nafas lega dari bima terlepas, segera ia menyingkap selimutnya.
"Ayah kira tadi hantu!" Kata bima mengubah posisinya duduk.
"Ak-"
"Astagfirullah, apa yang kalian lakukan didalam kamar berduaan!" Suara beberapa warga terdengar riuh, lidah bima tercekat, lehernya perlahan menengok. Wajahnya seketika pucat pasi melihat beberapa warga diambang pintu, dengan tatapan nanar.
"Kalian sudah berzina dikampung kami! Pasangan mesum!" Hardik pak ilham, kepala desa.
"Bener pak! Mereka sudah berzina dikampung kita, astaghfirullah, bisa kena bencana kampung kita gara-gara mereka berdua!" Kata Yanti si kembang desa, menambahkan.
"Tenang, tenang!" Bima mengatur nafasnya, mencoba meredakan amukan massa. "Ini gak seperti yang bapak-bapak dan ibu-ibu pikirkan, sa-"
"Alah gak usah nyari alasan kamu bima!" Kata pak Ilham memotongnya.
"Ini sudah jelas-jelas, kalian berzina, didalam kamar. Tuh lihat aja kamarnya acak-acakan, pasti kalian habis tempur kan?" Tuduh bapak-bapak yang mengenakan sarung di pundaknya— penjaga pos ronda.
Suara warga mulai riuh, bergema di sekelilingnya, membuat Bima terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, pikirannya berputar, mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Setahunya ia tidak melakukan apapun tadi, jangankan berzina, menyentuhnya saja tidak sengaja.
"Nikahkan saja mereka pak!" Kata beberapa warga suaranya menggema, sementara yang lain bersorak-sorak, menyetujui.
"Menikah? Tapi saya gak melakukan apapun!" Kata bima deg-degan, menoleh ke arah Adel, anaknya itu tampak biasa saja seolah-olah tidak takut seperti dirinya.
"Nikahin aja pak! Arak aja mereka ke balai desa!"
"Setuju!"
"Nikahkan! Nikahkan! Malam ini juga!" Teriak warga mulai riuh, mendesaknya.
"Apa menikah? Malam ini??"