⛔: Ini hanya fiksi, jika terdapat kesamaan nama, tempat atau kejadian, itu hanyalah kejadian yang tidak disengaja.
Wilona percaya ia memiliki segalanya—cinta, rumah tangga yang hangat, dan suami yang setia. Tapi semua runtuh saat seorang wanita datang membawa kenyataan pahit: ia bukan satu-satunya istri. Lebih menyakitkan lagi, wanita itu telah memberinya sesuatu yang tak bisa Wilona berikan—seorang anak.
Dikhianati oleh orang yang paling ia percaya, Wilona harus memilih: terpuruk dalam luka, atau berdiri dan merebut kembali hidupnya.
"Ketika cinta tak cukup untuk setia… akan kau pilih bertahan atau pergi?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon viaeonni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1
Pukul 21:45
Malam mulai turun perlahan, menyelimuti kota dengan sunyi yang menggigil. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya temaram ke jendela rumah Wilona. Angin malam mengetuk pelan kaca, seolah ingin ikut menyampaikan rasa sepi yang menggantung berat di dalam rumah itu.
Di ruang makan yang terang remang, seorang wanita cantik duduk diam di ujung meja. Tubuhnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai yang tak kunjung reda. Ia memandangi piring-piring yang tersaji rapi di hadapannya, semua makanan favorit sang suami, dimasak dengan penuh cinta dan harapan.
Namun, harapan itu seperti ditiup angin malam. Kosong. Tak berbalas.
Wilona Lavanya Giani, wanita yang selalu menjaga hatinya untuk tetap percaya, kini hanya bisa menatap kosong ke arah kursi kosong di seberangnya. Kursi yang seharusnya diisi oleh Aryan, lelaki yang telah ia tunggu sepanjang hari, sepanjang minggu, dan bahkan mungkin sepanjang hidup.
Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Dengan perasaan yang campur aduk, Wilona mengambil ponselnya. Hatinya berdebar, walau entah karena harapan atau ketakutan.
Sayang, maaf. Mas tidak jadi pulang malam ini. Pekerjaanku masih belum bisa ditinggal. Baik-baik di rumah, tunggu Mas pulang, ya… I love you…
Itu saja. Hanya pesan. Satu baris kalimat yang mengubur semua kegembiraan yang tadi sempat tumbuh saat pagi menjelang. Tidak ada suara. Tidak ada panggilan. Tidak ada nada hangat yang dulu selalu membuatnya tenang.
Ia tidak membalas. Bukan karena tak peduli, tapi karena hatinya terlalu penuh oleh kecewa yang tak lagi bisa dituangkan dalam kata-kata.
Perlahan, ia meletakkan ponsel di atas meja. Pandangannya kembali jatuh pada makanan yang mulai dingin. Aromanya masih wangi, tapi kehangatannya telah pergi, seperti kehangatan yang perlahan memudar dari sosok suaminya.
"Sudah dua minggu lebih, Mas... Kamu bahkan tidak sempat pulang barang sehari. Apa benar kamu tidak merindukanku sedikit pun?"
Suara itu lirih, nyaris seperti gumaman yang ditujukan pada bayangannya sendiri. Tapi di balik ketenangan suaranya, air mata mengalir tanpa bisa dibendung. Satu per satu, jatuh ke pangkuannya.
Malam semakin dalam, dan gelap kian mengikat. Di luar, bintang-bintang bertabur indah. Tapi di dalam hati Wilona, hanya langit kelam tanpa cahaya.
Dulu, Aryan tak pernah membiarkan malam mereka berlalu tanpa suara. Dulu, ia selalu menyempatkan diri menelepon meski hanya untuk berkata, "Aku rindu." Dulu, Wilona selalu ikut dibawa jika Aryan harus ke luar kota. Tapi semua itu tinggal kenangan.
Dalam satu tahun terakhir, semuanya berubah. Bukan tiba-tiba, tapi perlahan. Sedikit demi sedikit. Dan itulah yang paling menyakitkan. Perubahan perlahan yang tak disadari, sampai akhirnya ia menyadari… dirinya kini seperti asing dalam rumahnya sendiri.
Wilona bukan wanita yang suka mencurigai. Ia percaya. Ia selalu percaya. Tapi bahkan keyakinan pun punya batas, apalagi jika terus diuji tanpa jeda.
Tiga tahun pernikahan dan lima tahun menjalin kasih seharusnya menjadi waktu yang cukup untuk saling memahami. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sejak keguguran yang ia alami di awal pernikahan, semuanya menjadi berat. Janin yang belum sempat menyapa dunia itu meninggalkan luka, luka yang tak tampak namun menganga dalam diam.
Dan vonis dokter bahwa ia mungkin akan sulit untuk hamil kembali seakan menjadi palu yang menghancurkan harapannya satu demi satu.
Bukan hanya soal kehilangan, tapi soal tekanan. Khususnya dari sang ibu mertua yang sejak awal memang tak pernah sepenuhnya menerima kehadiran Wilona.
"Wilona, kamu tunggu apa lagi? Sudah tiga tahun menikah, tapi belum juga punya anak. Mama pengen gendong cucu, tahu?!"
Kalimat itu terus bergaung di telinganya, bahkan saat tidak diucapkan. Seperti hantu yang datang setiap malam. Ia tahu, mertuanya tak suka dirinya sejak awal. Tapi ia tetap bertahan, tetap mencoba membalas dengan sabar, berharap waktu bisa meluluhkan hati sang ibu suami.
Ia pernah berpikir, cinta Aryan cukup untuk membuatnya kuat. Dan dulu, Aryan memang selalu ada untuknya. Ia tak pernah menuntut soal anak, tak pernah mengeluh. Bahkan kerap memeluknya sambil berkata, "Kita sudah cukup saling memiliki. Anak akan datang pada waktunya."
Tapi entah mengapa, sejak satu tahun terakhir, kehangatan itu tak lagi sama. Seperti api kecil yang mulai meredup. Masih ada, tapi nyalanya tak lagi memeluk.
Wilona berdiri dari kursinya perlahan. Ia berjalan menuju jendela ruang tamu, menyingkap tirai dan membiarkan angin malam menyentuh wajahnya yang basah. Ia memandangi langit yang gelap, bertabur bintang. Di balik jendela itu, dunia terasa luas dan dingin. Tapi di dalam hatinya, lebih luas lagi kesepiannya.
"Apa kamu sedang bersama pekerjaanmu, Mas? Atau... bersama seseorang yang kamu pilih untuk menggantikan kehadiranku?"
Ia segera menepis pikirannya. Tidak, tidak boleh berpikiran seperti itu. Ia harus percaya. Ia ingin percaya. Tapi kenapa setiap malam terasa seperti penantian yang sia-sia?
"Sudahlah, Wilona... Jangan terlalu cengeng. Mungkin memang pekerjaan Mas Aryan sedang padat. Kamu harus tetap percaya."
Ia membujuk dirinya sendiri, mencoba mengisi kekosongan dengan harapan palsu. Tapi dalam hatinya, retakan mulai membesar. Dan ia tahu, jika dibiarkan terus seperti ini, suatu hari retakan itu akan menghancurkan segalanya.
Wilona menutup tirai kembali, lalu berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari es, menyimpan kembali makanan yang belum tersentuh. Hatinya perih melihat masakannya sendiri.
Setiap rasa di makanan itu, adalah bagian dari hatinya yang ia tumpahkan untuk seseorang yang tak kunjung kembali.
Malam terus berjalan. Jam sudah menunjukkan pukul 23:10. Wilona duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang tetap hening. Tidak ada panggilan masuk. Tidak ada pesan baru.
Ia menghela napas dalam.
Kemudian memeluk dirinya sendiri.
Lalu memejamkan mata, berdoa dalam hati:
"Tuhan... jika cinta ini masih pantas diperjuangkan, tolong tunjukkan jalannya. Tapi jika aku harus melepaskannya... ajari aku untuk kuat."
Hening malam menjadi saksi. Wilona, wanita yang selalu percaya, kini mulai belajar bahwa cinta bukan sekadar menunggu. Tapi juga tentang keberanian untuk bertanya, apakah aku masih dihargai? Apakah aku masih dicintai?
Dan malam itu, untuk pertama kalinya…
Ia tak lagi menanti.
Tapi mulai bertanya, apakah ia harus bertahan. Kala kesepian dan tidak ada lagi kehangatan dalam pernikahan yang ia rasakan lagi. Seakan kekosongan muali menggerogoti jiwanya sedangkan suaminya seakan sibuk dengan dunianya sendiri, membiarkan dirinya kesepian dalam ikatan pernikahan yang entah sampai kapan.
TBC.
Wes to gae duso seng okeh bar iku garek entuk karmane.
ko lek wes miskin po knek penyakit br tau rasa.
bagus bagus biar tmbh hancur nnti.
dah bner si anak dpt wanita baik hidup tertata mlh di hancurkan.
Sekarang balik lagi Aryan suka mabuk dan free sex. sakit kau nnti Amanda kl tau Aryan bgitu 🤣
hbis ini kluarga Aryan tambh hancur.