NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:17.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 33

Jelas perkataan Artha yang sangat aneh itu membuat semua orang ternganga. Termasuk Naira. Gila! Bahaya jika semua orang tahu. Terutama gurunya. Mereka masih SMA, bukan anak kuliahan.

Namun, tampaknya perkataan Artha dianggap gurauan belaka. Fadli tergelak setelah mendengar ungkapan absurd lelaki itu. Pun dengan Pak Taufik. Biasa anak-anak seumuran Artha dan Naira kalau saling suka main bilang suami-istri. Padahal kenal juga bisa dihitung dengan jari.

"Kamu suaminya?" Fadli berkata dengan ekspresi mencela.

"Emang kamu ngasih dia makan apa? Kamu sendiri apa-apa masih minta orang tua!"

"Gue ngasih makan Naira apa, itu urusan gue. Bukan urusan lo! Lo aja nggak tahu diri. Nyari yang seumuran Sana! Nggak usah deket-deketin Naira." Artha mengangkat dagu, bersikap menantang.

"Kalau kalah saing bilang aja. Kamu nggak tahu, semakin kamu marah-marah begini, itu udah nunjukin sifat kamu yang kekanak-kanakan."

Mereka malah berdebat panjang. Bisa-bisa mereka berdua menjadi pusat perhatian.

Thalita yang melihat itu menjadi kesal sendiri. Bagaimana bisa cewek kayak Naira dijadikan rebutan. Hai, bintang kelas di sini dirinya. Bukan Naira!

Naira memperhatikan perdebatan yang sepertinya melelahkan itu. Tak mau terlalu banyak terlibat, dia memilih menyelesaikan latihannya.

"Artha, lo mau gantian pake ini. Nih, gue udahan. Capek!" Naira meletakkan alat itu, berdiri di antara para cowok tampan berbeda usia.

Fadli menoleh. Wajahnya menerbitkan keraguan.

"Capek? Baru saja kita mulai." Sementara itu, Artha tak menyukai interaksi keduanya.

"Sebaiknya bebannya kita turunkan, kamu tidak akan mudah lelah." Fadli melanjutkan kalimatnya.

Bukan masalah itu. Naira hanya tidak enak dengan Artha. Walaupun hubungan suami istri mereka tak seperti pasangan pada umumnya, tetapi melihat Artha dihina, tentu dia tak terima. Dari pada marah-marah, lebih baik menghindari pertikaian.

"Naira bilang capek, ya, capek. Lo ngerti bahasa manusia, nggak?" Artha menyahut. Pandangan tak beralih pada sosok Fadli yang sok perhatian.

"Eh, kamu tukang halu. Yang ngaku-ngaku suami orang?" Fadli lama-lama kesal juga mendengar kata-kata Artha yang tak sopan. Mengingat usianya jauh lebih tua, tetapi Artha malah menggunakan bahasa "lo-gue", membuat Fadli memilih menantang lelaki itu.

"Kalau kamu beneran laki, aku tantang kamu balapan!"

"Hah?" Naira melotot. Artha baru saja terkena masalah dengan papanya, tetapi Fadli malah nantangin itu anak. Bahaya, bahaya. Ini tidak benar.

"Okey. Siapa takut! Nai, lo ikut! Lo jadi saksi!"

Naira hanya bengong tak mengerti. Sebenarnya apa sih yang Artha dan Fadli permasalahkan?

“ Wait! Wait! kalian berdua mau balapan cuma buat ngerebutin Naira?” Thalita yang sejak tadi sudah gatal ingin nimbrung akhirnya merangsek maju.

Ayolah, cowok-cowok tampan itu harus diselamatkan! Jangan sampai keduanya mempertaruhkan harga diri cuma untuk mendapat perhatian cewek kurang elite kayak Naira. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan! Beda lagi kalau mereka sedang berusaha merebut perhatian Thalita. Itu baru sesuatu yang benar.

Fadli dan Artha seketika mengarahkan pandangan kepada Thalita. Cewek berseragam jersey voli itu menatap Artha dan Fadli bergantian.

“Bisa nggak sih kalian naikin dikit kriteria cewek yang dijadikan rebutan. Hello! Masih banyak yang jauh lebih layak dari Naira!” Thalita menatap kesal. Cemburu. Mereka para cowok tampan sepertinya harus dibuka matanya lebar-lebar agar bisa melihat bidadari sesungguhnya.

“Siapa? Lo?” Artha langsung berkata ke inti, tanpa basa-basi.

Thalita meringis.

“Nah, itu tahu,” katanya penuh percaya diri.

“Udah, ayo. Lo sama gue aja. Lagian apa sih bagusnya Naira?” Tangan menarik lengan Artha. Thalita benar-benar udah putus urat malu.

Melihat Artha ditarik-tarik, Fadli hanya tersenyum tipis.

“Nanti malam, di Cafe Amoris. Aku tunggu.” Dia berkata tanpa peduli dengan tanggapan Artha, lalu tangannya dengan tangkas mengusap kepala Naira.

“Nanti kita lanjut ngobrolnya, Aku pergi dulu.”

Sikap Fadli yang sok kenal dan akrab pada Naira makin memuat jengkel Artha. Tangan Thalita yang menahannya tak membuat lelaki itu bisa bersabar. Nyaris saja dia mengajak duel di tempat andai Pak Taufik tak memanggil mereka.

“Kumpul semua! Sebentar lagi kunjungan berakhir.” Pak Taufik memberi perintah.

Artha mendengus. Dia melirik ke arah Naira, mengempaskan tangan nakal Thalita yang sejak tadi menggamit lengannya.

“Tunggu hukuman dari gue entar malem,” bisik Artha saat melewati Naira.

Naira menatap kepergian Artha dengan mata melebar, yang kemudian di belakang lelaki itu diikuti Thalita melenggang sambil membuang muka kearah lain.

“Hukuman? Nanti malam?” gumam Naira.

“Jangan bilang kalau ....” Naira menggeleng kuat-kuat. Ah, Artha. Sepertinya otak lelaki itu wajib dicuci ulang agar

bersih layaknya porselen.

****

Naira memutuskan langsung ke kamar Artha, mengetuk pintu kamar lelaki itu setelah mereka pulang ke rumah.

“Ta, bukain!” Naira mengetuk pintu sembari meneriaki Artha. Jam menunjukkan pukul setengah empat sore, seharusnya lelaki itu masih di kamar dalam kondisi terjaga. Tidak mungkin Artha tidur siang sampai hari menjelang petang.

“Ta...!”

Tangan Naira masih dalam posisi terangkat saat pintu kamar Artha tiba-tiba dibuka dari dalam. Pria yang sejak tadi dipanggilnya kini bersandar pada bibir pintu dengan tangan kanan berada di pinggang. Naira seketika membalikkan badan, tak mau melihat apa yang ada dIdepan mata.

Lagi-lagi Artha dengan tidak tahu malu keluar hanya menggunakan celana bokser. Sungguh mencemari otak dan mata suci Naira.

“Lo bisa ngak sih kalau keluar pake baju dulu! Nggak tahu malu banget!” Naira mencebik kesal. Sudah berapa kali dia memperingatkan Artha, tetapi lelaki itu seakan bebal dan tak mau mendengar ucapannya.

Artha melihat kondisinya. Ah, padahal dia sudah terbiasa seperti ini di dalam rumahnya. Apa salahnya. Toh mama dan papanya sudah sering melihatnya begini. Tidak ada yang mempermasalahkan. Bahkan Nova si bungsu juga sering melihatnya bertelanjang dada. Tidak ada yang meributkan masalah pakaiannya. Namun, Artha terlupa jika di rumah ini ada sosok lain yang wajib dilindungi penglihatannya.

“Ah, sok polos lo, Nai. Padahal juga demen lihat gue begini.” Artha malah dengan tidak tahu malu mengatakan hal seperti itu.

Wajah Naira memerah. Bener-bener Artha menyebalkan. Mencoba tak peduli dengan kondisi Artha yang bertelanjang dada, Naira merangsek masuk ke dalam kamar lelaki itu, berjalan cepat menuju lemari pakaian. Bibirnya menggerutu kesal. Ah, dia harus banyak-banyak menyimpan stok kesabaran untuk menghadapi Artha. Diambilnya kaus putih polos yang terletak pada lipatan paling atas, lalu menutup kembali lemari pakaian Artha. Dia berbalik kemudian, melangkah ke arah Artha, meraih tangan lelaki itu untuk kemudian meletakkan kaus yang baru saja diambilnya pada telapak tangan si pemiliknya.

“Pakai!” pertintah Naira tegas tanpa ingin dibantah.

“Nggak mau. Gerah!”

Astaga! Artha malah meletakkan kembali kaus itu pada tangan Naira. Menyeballkan sekali, bukan?

“Artha, lo bisa nggak sih ngehargai gue yang cewek ini! Mata gue ternoda sejak deket sama lo!”

Tangan Naira mencekal lengan Artha yang hendak pergi, tak mau mengenakan kaus yang baru saja diambilnya.

“Pakai enggak?” tanya Naira lagi.

“Enggak. Lo kenapa sih maksa banget?" Artha tiba-tiba menutup pintu kamarnya yang sebelumnya dibuka lebar-lebar oleh Naira. Tangannya gesit mengunci pintu itu. Eh, eh, eh, mau apa coba si Artha?

“Lo ngapain itu? Eh, nggak usah dikunciin gitu juga pintunya, Ta? Gue masih di sini. Nanti kalau Mama Siena ngelihat gimana? Entar dikira gue macem-macem sama lo!” Naira mendadak gugup.

Artha jika mode jahil tidak bisa diterka maunya apa.

“Lah, kita memang mau ngelakuin sesuatu, kan?”

Mata Naira mendelik. Artha mendekat dengan mimik wajah tersenyum aneh. Perasaan Naira semakin tidak enak. Lelaki itu kadang otaknya geser jika sudah mode gila.

“Ta, gue serius. Artha!” Naira membentak. Namun, tampaknya hal itu membuat Artha semakin bersemangat mengerjainya.

Tangan Artha menekan bahu Naira. Wajah Naira sudah merah padam. Gadis itu hanya bisa mundur selangkah demi selangkah untuk menjauh. Sayangnya tidak bisa lebih dari itu karena sudah terhalang dinding pada bagian punggungnya.

“Bukankah lo seneng, ya, lihat cowok telanjang dada kayak gini?” Artha meletakkan kedua tangan pada sisi kanan dan kiri tubuh Naira, mengungkung gadis itu sehingga tak bisa ke manamana. Apalagi hendak kabur darinya. Sorot matanya pun menatap lurus pada mata Naira, mengunci pandangan gadis berbulu mata lentik tersebut.

Naira menggeleng untuk mengelak.

“Enggak. Gue nggak gitu?”

“Terus apa? Lo tadi seneng banget saat cowok tua itu pamer tubuh sambil ngajarin lo ngegym. Lo suka sama dia?”

Mata Naira mengerjap. Andai dia suka pun, masalahnya di mana? Bukankah Artha sendiri yang mengatakan jika dia boleh suka dengan siapa pun? Naira menatap Artha dengan memimingkan wajah. Sorot mata intens mengarah padanya.

“Lo nggak sedang cemburu, kan?”

“Hah?” Artha melepaskan satu tangan yang yang sejak tadi menempel pada dinding, sedikit menjauhkan wajah dari Naira.

“Lo sedang cemburu? Lo semburu sama Om Fadli?” tanya Naira lagi meyakinkan diri.

“Gue...” Artha menjadi gelagapan. Dia mendadak berotak tumpul saat menjawab pertanyaan Naira.

“Mana ada gue cemburu. Gue nggak ada rasa sama lo. Lo bukan tipe gue!”

Naira menanggapi dengan sebelah alis terangkat.

“Yakin?”

“Iyalah. Gue suka tipe-tipe cewek cerdas, anggun, dan nggak kasar kayak lo.”

“Ooh, jadi kenapa lo marah saat gue dideketin cowok lain?” Naira bertanya lagi. Kali ini dia tak melepaskan Artha sampai lelaki itu menjawab sejujur-jujurnya.

“Gue nggak marah. Siapa yang marah? Gue cuma nggak mau dia godain lo. Dia udah berumur, sementara lo masih SMA. Gue takut aja lo dimanfaatin sama pria dewasa kayak dia. Otak pria dewasa itu ngeri, Nai. Bahaya buat lo yang masih polos.” Artha berkata dengan berapi-api, seakan-akan apa yang dia lakukan bener-bener demi kepentingan Naira.

“Lagian, ya, Nai. Gue udah biasa lihat lo. Lo deket-deket sama gue pun, nggak akan ngefek sama gue. Lo peluk-peluk, cium-cium gue, si Jasson nggak akan berdiri,”

Astaga, kenapa larinya ke si Jasson? Naira semakin mengerutkan kening. Jasson siapa lagi?

“Jasson siapa?” tanya Naira yang semakin tidak mengerti akan pembicaraan Artha. Cowok itu semakin didesak omongannya malah ngelantur ke mana-mana. Jelas saja membuat Naira tambah bingung.

“Ada deh, lo nggak akan paham.”

“Cih! Gue juga nggak pengen tahu. Gue kemari cuma mau ngomong sama lo.” Naira kembali meraih tangan Artha, lalu meletakkan kaus putih polos yang tak mau Artha pakai.

“Pake dulu baju lo!”

“Udah gue bilang, gue gerah!”

Naira menghela napas panjang. Artha benar-benar susah diatur. Matanya sejak tadi terpaksa ternodai dengan dada telanjang Artha. Naira menarik tangan Artha, menggiring lelaki itu masuk ke kamar mandi. Menyadari itu, mata Artha membulat penuh. Ingin menghentikan Naira, tetapi tanggung, Naira sudah memutar keran shower yang langsung mengguyur tubuh Artha yang sedang bertelanjang dada.

“Lo bilang gerah, kan? Udah dingin sekarang?” kata Naira setelah berhasil membuat Artha basah kuyup.

Artha tak tinggal diam, merasa tak terima basah sendiri akhirnya lelaki itu menarik tangan Naira agar ikut basah kuyup di bawah guyuran shower.

“Artha! Ketika Naira hendak kabur, melindungi diri agar tidak basah, Artha kembali menarik tangannya sehingga tubuhnya tertabrak pada dada bidang Artha dengan tangan yang lain memeluk punggung lelaki itu.

Naira segera menjauhkan tubuh dari Artha saat merasakan sesuatu menegang di bawah sana, menusuk-nusuk dirinya. Dia melihat ke bawah, lalu menatap Artha dengan wajah merah padam. Tangannya memukul Artha kemudian.

“Astaga! Lo sange!”

1
𝐍𝐮𝐫𝐖𝐢𝐧𝐀𝐫
👍👍👍👍👍
Indriani Kartini
keputusan yg tepat
karina
gila Fadil.. musnakan ajah cwo begitu.
Ff Gembel
lanjut
rill store
lanjut thor
zuleyka
up lgi thorrr
syifa
pengen jadi naira, direbutin para cwok kaya
syifa
ksihan bngt artha
Anonymous
up trus thor
Syahril Akbar
gk sabaran kelanjutannya seperti apa/Determined//Determined/
Syahril Akbar
semangat up nya thor
Syahril Akbar
lanjut thor suka banget
Syahril Akbar
up lagi dong Thor
Anonymous
bagus banget ceritanya
yingbidew
buruann thor update gk sabar
yingbidew
up terus
yingbidew
bagus banget alurnya, pengen cepat-cepat tau akhir critanya
yingbidew
makin penasarannn
yingbidew
upp trus thor
Indriani Kartini
bagus suka banget, bacanya sampai tegang bngt thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!