Semenjak Aji memergoki perselingkuhan tunangannya bersama lelaki lain di kamar hotel, ia memutuskan untuk membatalkan pernikahannya yang akan digelar beberapa bulan lagi.
Hingga suatu ketika Aji bertemu dengan Syadira, staf resepsionis di kantornya. Aji meminta Syadira menjadi kekasih kontraknya sampai Bella, mantan tunangannya menikah. Sedangkan peraturan kantor melarang adanya hubungan sesama karyawan.
Bagaimanakah kelanjutan hubungan mereka? Apakah hanya sebatas kekasih kontrak atau kekasih selamanya? Bagaimana respon keluarga Aji yang merupakan pemilik perusahaan?
Simak selengkapnya hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Diam-Diam
Hari ini Syadira hanya ada satu kelas pagi, sehingga pukul 9.30 dia sudah bisa meninggalkan kampus. Syadira tampak terburu-buru menaiki ojek yang telah ia pesan. Syadira tak terburu-buru untuk pulang ke kos, melainkan ke sebuah kafe yang tak jauh dari kampusnya.
Hanya membutuhkan waktu 15 menit perjalanan, Syadira tiba di tempat tujuan. Tempat di mana ia telah berjanji untuk menemui seseorang. Syadira bergegas masuk ke dalam kafe dan menghampiri salah satu meja.
“Maaf, Pak, saya terlambat karena baru selesai kelas,” ucap Syadira pada seorang lelaki paruh baya yang duduk di hadapannya.
Lelaki tersebut mengangguk dan mempersilakan Syadira duduk.
“Syadira, saya langsung saja berbicara dengan kamu, karena saya sudah menyerah mengajak Aji bicara,” ujar lelaki tersebut, yang ternyata adalah Pak Haryo, ayah Aji yang memintanya untuk bertemu diam-diam.
Syadira terdiam dan mencermati setiap perkataan yang diucapkan ayah Aji.
Ayah Aji menghela nafas. “Saya akan menanggung semua fasilitas yang diberikan Aji kepada kamu, asal tinggalkan Aji.”
Deg.
Ini kali kedua detak jantung Syadira mengencang ketika berhadapan dengan Pak Haryo, mantan CEO nya.
“Maaf, Pak, tapi Mas Aji serius sama saya dan ingin menikahi saya. Saya tidak mungkin meninggalkannya begitu saja. Saya tidak ingin menyakiti hati Mas Aji,” jawab Syadira ketakutan.
“Kalau kamu pergi dari hidupnya, Aji akan dapat melupakan kamu. Jangan takut, saya yang akan menanggung semua biaya hidup kamu juga biaya kuliah kamu, dan saya juga yang akan memberikan pekerjaan terbaik untuk kamu!” Ayah Aji tetap memaksakan permintaannya.
Air mata Syadira seketika jatuh membasahi pipi tembemnya. “Bukan soal itu, Pak. Tapi saya tidak mau menyakiti Mas Aji dengan meninggalkannya tiba-tiba. Mas Aji sudah sangat baik pada saya. Saya minta maaf. Berat hati saya melakukannya.”
“Kalau Pak Haryo memang tidak merestui hubungan kami, Bapak bisa memaksa Mas Aji untuk meninggalkan saya, asal bukan saya yang melakukannya, Pak, saya tidak sanggup,” lanjut Syadira memohon begitu tulus.
Syadira masih terus menunduk dan berusaha meredakan tangisnya.
“Lalu mau kamu apa? Berharap bisa hidup dengan Aji?” tanya ayah Aji lagi.
Syadira masih terus berusaha menghentikan air matanya yang seakan tak mau berhenti menetes. Ia menjawab pertanyaan ayah Aji dengan sekuat tenaga. “Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Bukan mau saya untuk menjatuhkan hati pada Mas Aji, tapi perasaan kami saling menyanyangi. Demi Tuhan saya tidak memiliki maksud dan tujuan apa pun dari hubungan ini, saya hanya mau hidup tenang bersama orang yang saya cintai.”
Ayah Aji terdiam begitu lama.
“Hapus air mata kamu, nanti orang kira saya telah berbuat buruk pada kamu,” perintah ayah Aji dan pergi meninggalkan Syadira.
Syadira masih duduk termenung menghapus air matanya. Hingga beberapa menit kemudian, seorang laki-laki memanggil namanya. "Syadira."
Syadira menoleh ke arah sumber suara. “Mas Aji."
Aji menghampiri meja Syadira dengan penuh kekhawatiran karena melihat mata sembab kekasihya yang baru saja menangis. Aji menanyakan apa yang telah ayahnya ucapkan padanya hingga membuatnya bersedih. Namun, Syadira tak menjawab.
“Mas Aji tau dari mana aku di sini?” Syadira heran mengapa Aji bisa di sini.
Aji menjelaskan bahwa Elma lah yang memberitahunya, karena Elma khawatir ayah Aji akan berbuat buruk pada kakaknya. Syadira pun teringat bahwa sebelum berangkat ke kampus, ia bercerita pada sang adik jika ayah Aji ingin mengajaknya bertemu. Syadira juga sudah meminta adiknya untuk tak mengatakan hal ini pada Aji.
Aji bertanya sekali lagi pada Syadira tentang pertemuan mereka. “Apa yang sudah ayah katakan sampai kamu menangis?”
Syadira menggeleng dan mengajak Aji pergi dari kafe karena tak enak dilihat pengunjung lain.
Sampai di mobil, Aji terus memaksa Syadira bercerita.
“Aku akan cerita tapi Mas Aji janji ya tidak akan marah sama ayah, karena aku sudah berjanji padanya untuk tidak mengatakan tentang pertemuan kita ke Mas Aji,” pinta Syadira sebelum ia bercerita.
Aji mengangguk menyetujuinya.
Syadira mulai menceritakan apa yang mereka bicarakan dalam pertemuan tadi. Ia juga mengungkapkan alasannya menangis adalah karena ia tak mau menyakiti Aji dengan mengikuti permintaan ayahnya. Ayah Aji ingin Syadira meninggalkan anaknya.
Mendengar cerita Syadira, amarah Aji mulai keluar. Syadira juga meminta jika hubungan mereka tak kunjung disetujui ayah Aji, lebih baik Aji lah yang meninggalkannya dari pada harus dirinya yang berbuat demikian. Hatinya tidak akan kuat untuk meninggalkan lelaki yang sangat sempurna baginya itu.
Tak terasa, air mata Syadira kembali menetes. Aji mengusap air matanya dan memeluk kekasihnya itu. Aji berjanji semua ini tidak akan pernah terjadi. Dirinya maupun Syadira tidak akan ada yang saling meninggalkan satu sama lain.
###
Setibanya di rumah, Aji sengaja tak membahas apa pun tentang Syadira dengan ayahnya, sesuai permintaan kekasihnya. Ayah Aji pun lebih banyak diam tak seperti biasanya. Saat Aji sedang mengobrol dengan kakeknya di meja makan pun, ayah Aji tampak tak minat untuk menimbrung seperti biasa.
Selesai makan malam, Aji tak sengaja melihat ayahnya memandangi foto pernikahannya yang menempel di dinding dengan ukuran besar. Pintu kamar ayah Aji yang sedikit terbuka, membuat Aji dapat memperhatikan ayahnya yang masih berdiri memandangi foto itu. Ayah Aji tampak mengusap foto istrinya yang telah tiada saat melahirkan adik Aji, yang di mana bayinya juga tak bisa diselamatkan. Aji mendengar suara sesenggukan lirih dari ayahnya. Aji tetap terdiam melihat ayahnya yang masih berdiri jauh membelakangi pintu.
“Bu, seperti itu kah ketulusanmu dulu? Apakah dia yang kamu maksud?”
Aji mendengarkan dengan seksama kata-kata yang keluar dari ayahnya.
“Apa maksud ayah?” ucapnya dalam hati.
Melihat ayahnya yang sudah tak mengucapkan apa pun, Aji bergegas pergi meninggalkan kamar sang ayah.
...****************...