Yang kemarin nungguin Gilang, ada di sini tempatnya. 🥰🥰
♥️♥️♥️
Banyak wanita yang menginginkannya. Tapi mengapa harus jatuh pada Belva yang masih belia?
Usianya dua puluh sembilan tahun dan berstatus duda. Tapi memiliki seorang istri yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya.
Gadis yang belum lama lulus sekolah menengah atas. Dia lebih memilih menjadi seorang istri ketimbang mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi.
Redynka Belva Inara.
Gadis cantik keturunan Belanda itu lebih memilih menikah daripada harus bermain-main seperti kebanyakan gadis seusianya.
Namun sayang, cintanya ditolak oleh Gilang. Tapi Belva tak berhenti untuk berjuang agar dirinya bisa dinikahi oleh Gilang.
Sayangnya, Gilang yang masih sulit untuk membuka hati untuk orang lain hanya memberikan status istri saja untuk Belva tanpa menjadikan Belva istri yang seutuhnya. Memperistri Belva pun sebenarnya tak akan Gilang lakukan jika tidak dalam keadaan terpaksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33
Malam yang sunyi. Gilang sibuk menenangkan Belva yang menangis kesakitan.
Gilang harus bersabar lagi karena malam ini dia gagal menjebol gawangnya karena tak tega melihat Belva yang terus menjerit kesakitan.
Berulangkali Gilang menarik napas, lalu menghembuskannya secara perlahan. Selain dia harus menenangkan Belva, Gilang juga harus menenangkan senjatanya yang harusnya sudah masuk ke dalam rumahnya.
"Udah, dong, Sayang. Kan, juga nggak jadi," ucap Gilang menenangkan Belva.
"Maafin aku, Kak. Aku nggak tau kalau rasanya bakalan sesakit itu."
"Padahal baru ujungnya lho, Sayang. Kamu udah nangis kayak gini."
"Ujungnya aja sakit banget. Gimana kalau udah masuk semuanya?"
"Justru bakalan enak. Yang pertama emang sakit, Sayang. Tapi setelahnya kamu pasti ketagihan." Gilang masih berusaha. Barangkali malam ini Belva mau mencobanya lagi. Kan, Gilang juga bahagia.
"Maaf, ya, Kak, kalau kita gagal malam pertama malam ini," ucap Belva. Matanya yang basah menatap Gilang dengan rasa bersalah.
Gilang tertawa kecil. "Enggak apa-apa, Sayang. Besok kita coba lagi kalau kamu udah siap."
Belva semakin mengeratkan pelukannya. Rasanya memang benar-benar sakit. Entah karena kekhawatirannya sendiri, atau memang sesakit itu malam pertama. Belva tidak tahu karena dia belum pernah merasakannya.
Kata Gilang, setelahnya akan terasa enak. Belva juga percaya itu. Kalau tidak enak, tidak ada yang ketagihan melakukannya. Bahkan yang belum menikah saja ada yang melakukannya sampai mereka hamil.
Tapi yang Belva bingungkan adalah bagaimana menahan rasa nyeri dan sakit itu agar bisa sampai ke tahap "enak"? Sedangkan baru awal saja Belva sudah menangis karena tidak kuat akan sakitnya.
"Tidur, Sayang. Jangan pikirkan bagaimana caranya biar nggak sakit. Besok kakak ajarin lagi."
"Iya, deh, yang lebih berpengalaman."
Gilang tersenyum tipis. "Jangan dibahas lagi, dong, Sayang. Kakak jadi ngerasa nggak pantas buat kamu yang masih segel gini."
Mendengarnya, Belva mendongak dan menatap wajah Gilang yang terlihat sedih saat Belva membahas masa lalunya. "Aku nggak bermaksud gitu, Kak. Apapun masa lalu kakak aku nggak mempermasalahkan. Maafin aku, ya, Kak kalau aku salah ngomong."
Gilang tertawa kecil, lalu mengecup bibir Belva sebentar. Selalu ada kesempatan untuk mencium Belva dalam keadaan apapun. "Masa lalu kakak memang buruk. Tapi kakak selalu berusaha untuk menjadi lebih baik lagi untuk keluarga kita. Kamu nggak ada salah apapun, Sayang. Sekarang tidur, ya. Atau mau coba lagi sekali lagi?"
"Besok aja, ya, dicoba lagi, Kak. Ini aja masih nyeri rasanya."
Jawaban Belva membuat Gilang tak bisa menahan tawanya. Dia memakluminya karena memang ini yang pertama untuk Belva.
Pelan-pelan. Gilang juga tidak akan memaksa. Masih banyak waktu untuk mencoba sampai keduanya berhasil melalui malam pertama itu.
🌻🌻🌻
Agar malam pertama tidak terasa sakit.
Menikmati foreplay
"Apaan itu, Bel?"
Belva buru-buru menutup layar handphonenya dengan buku saat Rania menegurnya.
"Cari informasi begitu, emang belum pernah, ya?"
Kedua mata Belva membola mendengar pertanyaan Rania. Memang suaranya tidak terlalu keras, bahkan bisa dibilang hanya berbisik saja. Tapi tetap saja membuat Belva malu saat mendengarnya.
"Dua bulan nikah. Masa belum pernah?" tanya Rania lagi.
"Diem, Ran! Nggak usah banyak nanya begituan!"
"Tapi serius belum pernah, Bel? Terus selama ini ngapain aja?"
Belva segera menarik tangan Rania untuk keluar dari kelas. Khawatir ada orang lain yang mendengarkan apa yang menjadi bahan obrolan mereka.
Salah Belva sendiri kenapa mencari tahu soal seperti itu di kelas. Padahal masih banyak tempat lain yang lebih privasi. Di dalam mobil atau di rumah.
"Mau aku kasih tips nggak?" tanya Rania saat keduanya sudah masuk ke dalam mobil Belva.
Tumben sekali pagi tadi Gilang tidak ngotot mengantar Belva ke kampus. Biasanya dia tidak akan membiarkan Belva pergi sendiri kalau dia sedang berada di Surabaya.
Belva mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Rania. Bukankah Rania juga belum menikah? Lalu kenapa dia yang justru akan memberikan tips malam pertama?
"Emangnya kamu tahu? Kan, belum nikah."
"Emang belum ngerasain juga. Tapi minimal pernah baca hal-hal seperti itu. Emang kamu nggak pernah baca apa sebelum nikah?"
Belva menggelengkan kepalanya. Bahkan saat dia merasa ingin menikah pun bukan malam pertama dan perihal hubungan suami istri yang dia pikirkan.
Memang bukan hal yang tabu lagi jika seusia dirinya membahas hal-hal seperti ini. Tapi Belva tak pernah berpikir sampai sejauh itu sampai mencari tahu tentang hal tersebut saat sebelum menikah dulu.
"Emang apa tips-nya?" tanya Belva pada akhirnya.
Rania tersenyum lebar. "Katanya, rileks aja. Jangan mikirin rasa sakitnya. Tapi yang dipikirkan enaknya aja setelah ngerasain sakit itu."
"Tapi aku nggak kuat, Ran. Suami aku aja sampai kasian dan nggak dilanjutin lagi."
"Kasian banget suami kamu. Kayak gitu katanya bikin pusing banget tau, Bel."
"Ya habisnya gimana lagi coba? Aku beneran nggak kuat sakitnya. Aku juga nggak tau kalau itu bikin dia pusing kepala."
"Terus tadi kamu nemu di google gimana caranya?"
"Ya nggak jauh beda sama yang kamu omongin tadi, sih."
"Ya udah tinggal praktek. Ikutin itu cara-cara di google!"
Setelah Rania berucap seperti itu, kini Belva menatap Rania dengan penuh curiga.
"Apa?" tanya Rania yang tidak nyaman dengan tatapan Belva.
"Beneran belum pernah ngerasain?" tanya Belva penuh dengan intimidasi.
Merasa sedikit kesal dengan pertanyaan Belva, Rania menyentil dahi Belva sampai Belva mengaduh pelan. "Belum pernah, Bel. Tapi minimal belajar lah. Banyakin baca, itu juga ilmu. Biar nggak bego-bego amat kalau udah nikah nanti."
"Kamu bilang aku bego?"
"Nggak ada yang bilang begitu. Kamu sendiri yang bilang."
Belva menghembuskan napas dengan pelan.
Ya seperti ini kalau memaksa dewasa. Belum paham apa-apa maunya menikah. Bahkan urusan ranjang pun belum pernah Belva pelajari. Lalu berhadapan dengan Gilang dengan seribu pengalaman dalam hal tersebut.
Malu juga karena gagal dalam memenuhi kewajibannya semalam. Hak yang harusnya Gilang dapatkan gagal dia dapatkan karena Belva yang tak tahan dengan rasa sakitnya.
"Udah nggak usah sedih begitu. Mending pulang sana, dicoba lagi! Semoga sukses, ya."
"Tapi aku takut, Ran."
"Semakin kamu takut, rasanya akan semakin sakit. Udah, deh, rileks aja. Lagipula sakitnya cuma sekali doang."
"Emang iya?"
"Ya kalau sakit terus menerus masa para istri itu mau mengulangnya sampai dia hamil?"
"Iya juga, ya? Tapi kalau aku hamil gimana, Ran?"
"Kan, ada suami kamu kalau kamu hamil."
"Nggak bakalan dikeluarkan dari kampus, kan?"
"Nikah aja nggak dilarang apalagi hamil? Aneh-aneh aja kamu nih."
***
Gilang datang ke kampus Belva diantar sopir Darmawan. Tujuannya agar dia bisa satu mobil dengan Belva. Pagi tadi dia tidak sempat mengantar Belva karena harus segera datang ke kantor Darmawan.
Dan yang membuat Belva heran, saat Gilang turun dari mobil, pak Bambang pun ikut menurunkan sebuah koper dan memindahkannya ke dalam mobil Belva.
"Apa ini, Kak?"
"Baju ganti untuk kita."
"Emangnya kita mau kemana?"
Gilang tersenyum lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Belva lalu berucap, "check in."
"Hah?" Belva masih dalam mode bingung.
"Kita cari suasana baru, Sayang," ucap Gilang. "Terimakasih, Pak Bambang," lanjutnya berucap pada Pak Bambang.
"Sama-sama, Mas Gilang," balas Pak Bambang yang langsung masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Gilang dan Belva.
"Kita mau kemana?"
"Dekat aja, Sayang. Nggak usah jauh-jauh dulu karena libur kita nggak lama."
Belva tak banyak bertanya lagi. Dia lebih banyak diam dan Gilang pun fokus menyetir mobil.
Rasa bingung Belva semakin bertambah besar saat mobil mereka mulai memasuki gerbang tol.
"Kita mau kemana, sih, Kak? Katanya nggak jauh-jauh. Kok, sampai masuk tol segala?"
"Cuma sekita satu sampai satu setengah jam aja, Sayang," jawab Gilang tetap dalam mode tenang.
***
Dingin. Itu yang Belva rasakan saat pertama kali turun dari mobil. Suasana pegunungan yang mereka datangi ternyata begitu dingin.
Mereka sudah selesai check in di salah satu resort dengan view pegunungan. Rasanya cocok sekali untuk membangun sebuah keromantisan malam ini.
Ditambah lagi dengan gerimis kecil yang semakin lama berubah menjadi hujan deras.
Gilang berharap malam ini mereka tidak akan gagal lagi. Membawa Belva ke tempat seperti ini adalah salah satu usahanya untuk menciptakan suasana yang nyaman. Jadi Belva bisa lebih rileks. Dan tidak berakhir dengan Belva yang menangis tersedu karena kesakitan.
🌻🌻🌻
Malam pertamanya gagal gaes 😂😂
membohongi belva..
LDR-an ujung"a bnyk pelkor dan pebinor,,apalagi pernikahan belva-gilang msh disembunyikan