Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Calon Asisten Pak Hartono
Pak Hartono mengalami serangan stroke. Malam itu Dean mengemudikan mobil seperti orang gila membelah jalanan kota Jakarta untuk membawa pria yang disayanginya itu ke rumah sakit.
Wajahnya mengeras diliputi rasa bersalah. Di dalam kebingungan saat mau pergi ke rumah sakit tadi, Irman; ajudan Pak Hartono malah duduk di kursi belakang memangku atasannya.
Fika asisten papanya, duduk di kursi depan dengan wajah ketat sambil sesekali menoleh ke belakang.
Bu Amalia yang terus-terusan menangis berangkat mengikuti mobil mereka bersama Pak Noto.
Pikiran-pikiran buruk soal papanya terlintas berdesakan di kepala Dean. Harus seberapa besar dia menanggung rasa bersalah jika terjadi sesuatu pada Pak Hartono.
Hingga tiba di rumah sakit, kilatan-kilatan pertanyaan soal riwayat penyakit papanya seperti melintas begitu saja.
Matanya terus tertumbuk pada Pak Hartono yang terkulai lemah tak berdaya.
Untungnya Fika menjawab dan menyelesaikan semua pertanyaan yang diajukan oleh dokter malam itu dengan sangat baik.
Irman sang ajudan pun dengan cekatan memapah Bu Amalia yang turut lemas karena melihat suaminya terserang stroke.
Dean diminta menjauh dari ranjang pasien karena keberadaannya di sana dirasa mengganggu.
Dia melangkah gontai ke sebuah bangku besi panjang yang terletak tak jauh dari tirai yang tertutup.
Pak Hartono belum sadarkan diri.
Apa yang harus ia katakan pada papanya?
"Pak Dean." Suara Fika asisten Pak Hartono mengejutkannya.
"Ya Fik?" Dean mendongak, Fika kemudian duduk di sebelahnya.
"Perusahaan bapak di Kalimantan ada masalah. Mungkin bapak kepikiran itu sampai nyampur dengan urusannya ke Pak Dean," ujar Fika sambil sesekali melihat ke arah tirai tempat Pak Hartono sedang menjalani pemeriksaan.
"Masalah apa Fik?" tanya Dean tak bersemangat.
"Biasa Pak, LSM yang terus berkampanye tentang pencemaran lingkungan dan perusahaan yang kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar," jelas Fika.
Dean menarik nafas panjang. Masalah perusahaan papanya ini sebenarnya adalah masalah perusahan-perusahaan raksasa yang sering ditanganinya.
"Jadi perkembangannya sekarang gimana? Sejauh apa infonya?" tanya Dean lagi.
"Seperti biasa Pak, sepertinya ini ulah perusahaan pesaing yang mendanai LSM-LSM itu."
Kemudian tampak Irman keluar dari balik tirai.
"Pak Dean, bapak sudah bangun." Irman keluar agar Dean bisa masuk menemui papanya. Bu Amalia masih sesegukan memegang tangan suaminya.
"Pa," panggil Dean.
Pak Hartono menatapnya seperti sedang menatap orang lain. Sepertinya mata pria itu masih belum begitu fokus karena serangan stroke yang baru dialaminya.
"Tekanan darahnya 200 lebih Dean, kamu jangan ngomong yang macem-macem," ucap Bu Amalia di sela-sela tangisnya.
"Si--ni," ucap Pak Hartono.
Dean mendekat dan duduk di sebelah papanya.
"Cari tau ten--tang Dennis Atmaja. Atmaja Grup. Ka-mu bisa bilang ke Disty--papa stroke. Tunda sebentar lagi--jangan nikahi wanita itu. Kita--masih ada wak--tu," Pak Hartono berkata dengan terbata-bata menyampaikan hal yang baru sedikit dimengerti oleh Dean.
"Besok Dean cari tau tentang Atmaja Grup yang papa sebut ini. Besok pasti langsung Dean cari tau," jawab Dean cepat.
"Papa--nggak mau di rumah sakit. Papa mau pulang. Dirawat di rumah aja. Papa nggak mau dikerubungi wartawan. Situasi kita semua lagi nggak baik. Tolong papa Dean. Kalau perkiraan papa benar, ini semua ada sangkut-pautnya dengan kamu."
Jantung Dean serasa melorot. Apa permasalahan yang telah dibuatnya kini tak hanya berimbas pada kehidupan pribadinya? Tapi juga menyerang perusahaan dan karir papanya?
Kepalanya berdenyut memikirkan masalah perusahaan di Kalimantan. Tapi hatinya sedikit lega karena dia punya alasan untuk menunda pernikahannya dengan Disty. Meski hanya dua atau tiga bulan ke depan, Dean tidak akan menyia-nyiakan waktu itu.
Malam itu Pak Hartono langsung dibawa pulang ke rumah dengan dibekali belasan jenis obat dan vitamin untuk menunjang kesehatannya.
Seorang perawat dari rumah sakit turut dibawa ke rumah untuk membantu perawatan.
Dan setelah dua minggu menjalani perawatan di rumah dengan seorang dokter pribadi yang datang setiap harinya serta dua orang perawat yang bergantian, kondisi kesehatan Pak Hartono mengalami kemajuan pesat.
Pak Hartono meminta Fika untuk memulangkan para perawat kembali ke rumah sakit.
Pria itu bersikeras untuk dirawat tanpa tenaga medis dari luar.
"Nggak usah pakai perawat dari luar Fik, urusan perusahaan saya ini, nggak menyangkut Negara. Tapi bisa buat saya hancur. Saya nggak bisa percaya orang lain yang keluar masuk. Biar salah satu pegawai rumah aja yang bantu rawat saya. Jadwal dokternya juga kamu sesuaikan. Datangnya nggak boleh tiba-tiba."
"Jadi siapa yang Bapak percayai keluar masuk kamar ?" tanya Fika dengan sabar.
"Panggil Winarsih ke sini, telepon ke ruang pegawai. Bilang sama Mbah, saya panggil Winarsih. Panggil juga Irman. Dean," perintah Pak Hartono.
"Kenapa Winarsih Pa?" tanya Bu Amalia.
"Tina kayaknya lebih kuat kalau untuk merawat papa," sambung Bu Amalia.
"Kenapa? Mama takut kalau papa suka sama Winarsih? Papa sudah puluhan tahun berbisnis Ma. Melihat orang sekali aja, papa sudah tau sama siapa papa bisa percaya. Jadi Mama nggak usah cemburu, Papa punya alasan tersendiri untuk ini," sergah Pak Hartono.
Bu Amalia langsung diam tak berkutik. Dia khawatir jika membalas omongan Pak Hartono akan berakibat fatal untuk kesehatan suaminya itu.
Dean muncul di kamar orang tuanya bersamaan dengan Irman yang masuk ke ruangan.
"Bapak panggil saya?" tanya Irman.
"Iya, tunggu sebentar. Saya masih nunggu Winarsih. Biar saya cukup sekali bicara, kalian dengar semua sekalian. Capek nanti saya kalau ngomong bolak-balik," ujar Pak Hartono dengan terburu-buru. Nafas pria tua itu masih terdengar berat.
Mendengar nama Winarsih disebut papanya, jantung Dean jadi tak santai. Matanya langsung mencari spot berdiri atau duduk yang bagus agar tetap terlihat menarik dari sudut manapun.
Apalagi dia tak tahu soal apa yang akan disampaikan Pak Hartono. Jika papanya kembali menyemburnya di hadapan orang-orang, setelah kehilangan muka karena malu, setidaknya Dean tak akan kehilangan ketampanan.
Setelah menoleh ke kiri dan ke kanan, Dean memutuskan duduk di sebelah ibunya. Sejajar dengan kepala ranjang tempat Pak Hartono bersandar.
Dia berharap saat Pak Hartono berbicara tanpa melihat wajahnya, papanya akan lupa untuk memarahinya.
Dean duduk gelisah memakai celana pendek dan sebuah kaos oblong. Sandal Nike hitam yang dipakainya berkali-kali berdecit di lantai karena kakinya tak henti bergoyang seperti seorang penjahit.
Irman dan Fika berdiri rapi di dekat kaki ranjang menghadap kepada majikan.
Tak berapa lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Fika maju untuk membantu membukakan pintu.
Melihat begitu banyak pasang mata sedang menatapnya, Winarsih tampak gugup.
Malam itu dia memakai atasan kuning dan sebuah rok biru terang. Winarsih jadi mengingatkan Dean akan pegawai mini market. Pegawai mini market yang cantik tentu saja.
Tapi Dean ingin menonjok dirinya sendiri karena baru saja berpikiran yang dinilainya jahat barusan.
"Bapak memanggil saya?" tanya Winarsih langsung kepada Pak Hartono.
Wanita itu tak ada melihat ke arah Dean sama sekali hingga Dean harus mengubah posisi kakinya untuk memberi tanda kepada wanita itu bahwa dia sedang duduk di sana.
"Iya. Maaf Win mengganggu jam istirahat kamu. Mulai besok, kamu bantu ibu untuk mengurus saya. Sementara ini nggak usah di dapur dulu. Saya sudah sehat, tapi saya butuh bantuan-bantuan kecil saat bekerja," terang Pak Hartono pada Winarsih.
"Saya akan cuti sebentar dari kegiatan kementerian. Sementara itu, saya akan bekerja dari rumah mengurus gonjang-ganjing perusahaan di Kalimantan itu. Saya perlu asisten pribadi selain kamu Fik," ucap Pak Hartono mengarah kepada Fika asistennya.
Fika mengangguk dengan cekatan.
"Winarsih ini juga wanita yang efisien. Saya suka karena dia nggak pernah membicarakan hal yang sia-sia. Kalian mengerti maksud saya?" ujar Pak Hartono seraya menatap Fika dan Irman yang berada di depannya.
Dean ikut memandangi Irman dan Fika secara bergantian. Kedua orang yang bisa dikatakan adalah orang kepercayaan papanya itu mengangguk sembari tersenyum tanda mengerti.
Tapi kemudian Dean melihat pandangan Irman yang menatap Winarsih lebih lama. Pria itu seperti sedang men-CT SCAN Winarsih dengan matanya dari jarak jauh.
Dean benar-benar sebal melihatnya. Saat Dean masih cemberut menatap Irman,
"Dan untuk kamu Dean, jangan cari gara-gara lagi dengan Winarsih. Dia nggak ada salah apa-apa sama kamu. Kalo kamu bantu papa bekerja dari rumah, kamu pasti sering ketemu dengan dia. Jangan sampai karna kamu musuhin, dia jadi kabur." Pak Hartono sedikit menekankan suaranya saat berbicara padanya Dean.
Dean yang tak bisa melihat wajah Papanya karena duduk sejajar dengan pria itu, hanya menjawab pelan.
"Iya Pa...."
Pak Hartono terdengar puas mendengar jawaban lembut anaknya barusan. Pria tua itu tak tahu bahwa mata anaknya sekarang sedang men-CT SCAN tubuh calon asisten barunya itu dengan pandangan paling tajam.
Dean sedang menatap tubuh Winarsih yang kini semakin terlihat berisi.
To Be Continued.....
Mohon dukungan atas karyaku dengan likes atau comments yaaa.. :)