Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32.
Siang itu, rumah Alexander yang biasanya tenang berubah menjadi tegang dalam sekejap.
Marvin duduk di ruang kerja rumah, masih memakai kaus polos dan celana santai, ketika ponselnya bergetar bertubi-tubi. Sekretarisnya, Dira, menelpon dengan nada cemas.
“Pak Marvin, ini urgent sekali. Beberapa investor besar baru saja menarik dana mereka.”
Marvin mendadak bangkit dari kursi. “Apa? Investor yang mana?”
“Semua yang terlibat di proyek GreenTower dan Heritage City, Pak. Mereka bilang … ada rumor kalau proyek bapak akan gagal karena masalah internal. Saya sudah coba konfirmasi, tapi mereka bilang ingin menghindari risiko.”
Marvin terpaku. “Masalah internal?” gumamnya pelan, keningnya berkerut. “Dari mana mereka dengar kabar itu?”
“Belum jelas, Pak. Tapi salah satu staf PR bilang, beberapa media mulai menulis artikel tentang instabilitas perusahaan Alexander. Saya curiga, ada pihak luar yang menyebarkan berita itu.”
Suara Dira terdengar semakin tegang, dan Marvin menutup matanya, menahan napas berat.
“Hubungi tim legal, dan batalkan semua jadwal rapat siang ini. Aku ke kantor sekarang juga.”
“Tapi, Pak, Bu Nadin...”
“Aku tahu. Aku akan bicara dengan Nadin dulu.”
Marvin menutup telepon, lalu bergegas keluar ruang kerja. Di ruang tamu, Nadin sedang menyiapkan makanan ringan sambil menonton acara ibu hamil di televisi. Wajahnya tampak tenang, sama sekali tak tahu badai apa yang baru saja datang.
“Marvin?” panggilnya pelan, melihat suaminya mendekat dengan ekspresi tegang. “Kenapa wajahmu pucat begitu?”
Marvin berjongkok di hadapannya, memegang tangan Nadin erat.
“Aku harus ke kantor sekarang. Ada masalah besar di proyek GreenTower. Beberapa investor menarik dana mereka.”
Nadin menatapnya dengan cemas. “Apa kamu bisa atasi sendiri? Kamu belum makan siang...”
“Nanti aku makan di kantor.” Marvin menunduk, suaranya melembut. “Kamu jangan khawatir, ya. Aku cuma harus pastikan semuanya aman.”
Nadin menggenggam tangannya lebih kuat. “Marvin, hati-hati. Jangan biarkan stres nguasain kamu, oke? Kamu bukan cuma mikirin perusahaan sekarang … kamu juga punya aku dan bayi ini.”
Marvin tersenyum samar, meski matanya tetap berat. Ia mengelus lembut perut Nadin yang mulai menonjol sedikit.
“Aku tahu. Justru karena itu aku harus beresin semuanya.”
Ia berdiri, mencium kening istrinya, lalu meraih jas yang tergantung di kursi. Langkahnya cepat dan tegas menuju mobil.
Begitu mobil keluar dari halaman, Nadin berdiri di depan jendela, menatap punggung suaminya yang menghilang di tikungan. Ada firasat tak enak yang berputar di dadanya seolah badai yang selama ini tenang, akhirnya mulai menggulung.
Dan di tempat lain, di balik layar komputer mewah miliknya, Anita menatap laporan bursa sambil tersenyum tipis.
Di kantor pusat Alexander Corporation, suasana siang itu mencekam. Semua staf tampak sibuk, beberapa bahkan menunduk canggung setiap kali Marvin lewat. Tak ada lagi canda atau tawa di antara mereka, hanya bisik-bisik panik yang bertebaran di lorong.
Marvin melangkah cepat menuju ruang rapat utama, ditemani Dira yang membawa setumpuk berkas dan tablet berisi laporan keuangan. Begitu pintu dibuka, tiga orang kepala divisi langsung berdiri.
“Pak Marvin, kami baru saja dapat kabar...”
“Bahwa beberapa klien dari perusahaan Mudi mulai menarik kerjasama, betul?” potong Marvin dingin. Suaranya tegas, tanpa sedikit pun nada bingung.
Ketiganya saling pandang, lalu mengangguk pelan.
Marvin menarik kursi dan duduk, membuka satu berkas. “Ini tidak mungkin terjadi tanpa seseorang dari dalam yang bocorkan dokumen atau memanipulasi data. Aku ingin tahu siapa.”
Kepala divisi PR menelan ludah. “Pak, kami juga baru tahu kalau salah satu media yang menyebarkan berita itu, dibiayai oleh Mudi Group.”
Ruangan mendadak hening.
Marvin menutup berkasnya perlahan. “Anita…” gumamnya dengan nada rendah namun penuh kemarahan.
Dira menatapnya, wajahnya khawatir. “Pak Marvin, Anda ingin saya laporkan langsung ke dewan direksi?”
“Belum. Aku mau bukti dulu,” jawab Marvin dingin. “Aku tidak akan menuduh sebelum punya data yang bisa menjatuhkan mereka balik.”
Ia bangkit berdiri, langkahnya berat tapi mantap. “Siapkan semua data transfer, komunikasi, dan pergerakan akun proyek GreenTower minggu ini. Aku mau tahu siapa yang bermain di belakang layar.”
“Siap, Pak.”
Begitu Marvin keluar dari ruang rapat, Dira memandang punggung bosnya dengan cemas. Ia tahu ekspresi itu dingin, tapi menyimpan badai besar.
Sore menjelang malam, Marvin menatap jendela kantornya yang gelap, memikirkan setiap potongan puzzle yang belum tersusun.
Lalu, pintu diketuk pelan. “Masuk,” ujarnya singkat.
Pintu terbuka, dan Anita berdiri di sana anggun dalam setelan putih, senyum manis terpasang di wajahnya seolah tak ada apa-apa yang terjadi.
“Marvin,” sapanya lembut. “Aku dengar kabar tentang penarikan investor. Aku datang untuk menawarkan bantuan.”
Marvin menatapnya lama, matanya tajam dan penuh selidik.
“Bantuan?” ulangnya datar. “Atau kamu datang untuk memastikan rencana kamu berhasil?”
Anita tersenyum, sedikit terkejut tapi cepat menutupinya.
“Marvin, kamu salah paham. Aku hanya peduli. Lagipula, perusahaan Mudi bisa jadi penyelamat dalam situasi seperti ini.”
Marvin berdiri perlahan, langkahnya mendekati Anita hingga jarak mereka hanya beberapa inci.
“Kalau benar kamu peduli,” bisiknya dingin, “maka aku sarankan kamu mulai berdoa ... supaya aku nggak menemukan bukti kamu yang menjatuhkan perusahaan ini.”
Senyum Anita memudar. Ia menegakkan dagu, mencoba tetap tenang. “Kamu bicara seolah aku musuhmu, Marvin.”
“Karena kamu memang musuhku,” jawabnya pelan, tapi setiap katanya seperti bilah tajam yang menembus udara.
Marvin lalu berbalik, duduk di kursinya dan mulai membuka file lagi tanpa menatap Anita. “Kamu boleh pergi. Aku sibuk menyelamatkan perusahaan dari orang-orang bermuka dua.”
Anita menggertakkan gigi, tapi tak berkata apa-apa. Ia keluar ruangan dengan langkah cepat, matanya menyala penuh amarah.
Begitu pintu tertutup, Marvin menyandarkan diri di kursi, menatap layar laptopnya yang menampilkan data transaksi aneh.
Sebuah nama mencolok muncul di layar A. Mudi Consulting.
Ia tersenyum tipis.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍 😍 😍
semangat Nadin....halau dan hempaskan pelakor yang masuk ke dalam rumah tangga .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍