Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Rapat bersama klien berjalan lancar. Audy tampil dengan apik, menunjukkan sikap profesional yang mengagumkan, nada bicaranya tenang, presentasinya rapi, jawabannya lugas. Bahkan setelah insiden memalukan di restoran siang tadi, dia tetap ampu menjaga gesture tubuhnya tanpa cela. Yunita pun beberapa kali meliriknya dengan bangga, sementara Dion yang juga memperhatikan dari sisi ruangan—tampak lebih kagum pada keteguhan perempuan ini yang mampu berdiri tegak di tengah badai.
...***...
Malam menjelang.
Audy sengaja pulang lebih lambat dari biasanya. Dia lebih memilih menenggelamkan diri di tumpukan laporan, memeriksa email demi email, sampai gedung kantor hampir sepi. Daripada pulang kerumah dan hanya berdebat dengan Chandra tanpa henti.
Tapi bagaimanapun juga dia harus menyelesaikan semuanya.
Pintu rumah terbuka, dan Chandra sudah duduk di ruang tamu. Wajahnya tegang, mata merah, entah karena marah atau terlalu lama menunggu.
“Kamu darimana aja sih jam segini baru pulang?!” suaranya langsung membentak. “Sengaja ya, biar kamu bisa mesra-mesraan sama bos kamu itu?!”
Audy melepas sepatu pelan-pelan, lalu menatapnya dengan pandangan kosong. “Aku lembur.”
“Itu aja terus yang jadi alasan kamu!” Chandra berdiri, nadanya meninggi. “Aku lihat sendiri gimana tatapan kamu ke dia siang tadi. Kamu pikir aku nggak ngerti? Kamu pasti selingkuh sama dia dibelakang aku! Makanya kamu sekarang berani sama aku, nggak peduli lagi sama aku!!”
Audy menahan napas dalam, lalu tertawa kecil, getir, seolah tuduhan itu sudah terlalu melelahkan untuk ia tanggapi serius. “Kamu ini bener-bener nggak ngaca ya Chandra, nuduh aku selingkuh. Padahal kamu sendiri yang selingkuh sama Jenny”
Wajah Chandra menegang, lalu ia menggeram. “Nggak usah bawa-bawa Jenny, dia nggak ada hubungannya sama masalah kita. Dan kamu... Kamu selalu aja parno, dan nuduh aku sama Jenny ada hubungan. Harus berapa kali sih aku bilang kalau aku sama Jenny nggak ada hubungan apa-apa"
Audy berjalan ke arah lemari kecil di dekat ruang tamu. Tangannya mantap menarik sebuah map cokelat, lalu ia lemparkan ke meja di hadapan Chandra. Suara kertasnya memecah ruangan yang hening.
“Kamu liat itu, setelah kamu liat isi didalamnya, apa kamu masih mau bilang kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Jenny” ucap Audy, dingin tapi penuh tekanan. “Selama ini aku udah tahu, tapi aku sengaja diam aja. Karena aku mau denger pengakuan kamu sendiri, tapi ternyata kamu masih aja bersikap pengecut”
Chandra terbelalak saat melihat foto-foto dirinya dengan Jenny, berciuman di mobil, masuk ke sebuah hotel mewah, bahkan saat mereka sedang bermesraan didepan unit apartemen yang ditinggali Jenny, darahnya seolah mendidih. “Ka-kamu, darimana kamu dapat foto-foto ini? Ini pasti rekayasa, kamu kira aku bodoh. Kamu merekayasa foto ini kan, ini pasti buatan AI.?!”
Audy menatapnya lurus, tatapannya menusuk bagai belati. “Kamu pikir cuma foto ini aja yang aku punya?"
Chandra terdiam sesaat, napasnya memburu. Rasa harga diri yang terkoyak membuatnya tak bisa berpikir jernih.
Namun Audy tak berhenti. Ia menambahkan dengan nada tegas, “Jngan pikir kamu bisa balik nyudutin aku ya. Aku sudah mengamankan semua bukti perselingkuhanmu dengan Jenny. Semua. Termasuk foto, rekaman, sampai transaksi yang membuktikan kamu selalu transfer uang ke dia.”
Chandra tersentak, wajahnya pucat.
Audy melanjutkan, kali ini suaranya dingin dan nyaris tanpa emosi. “Kamu mau cerai? Dengan senang hati Chandra, tapi kamu harus ingat, sebelum kita menikah, kita sudah tanda tangan perjanjian pra pernikahan. Aku rasa aku nggak perlu ingetin kamu kan soal perjanjian itu? Dan mulai sekarang, kamu angkat kaki dari rumah ini. Aku nggak sudi tinggal serumah sama kamu lagi" seru Audy.
"Bi Ijaaahhhhh" panggil Audy.
"Iya Bu" jawab Bi Ijah, tergopoh-gopoh.
"Ambil koper bapak yang tadi saya minta bibi siapin, mulai malam ini Pak Chandra nggak lagi tinggal dirumah ini" kata Audy.
Chandra terhenyak, "Nggak bisa gitu dong. Kalau kamu usir aku, terus aku mau tinggal dimana?"
"Itu urusan kamu, aku nggak peduli kamu mau tinggal dimana. Lagipula punya hak apa kamu tinggal di rumah peninggalan ibuku?" tanya Audy tajam.
Chandra berdiri terpaku. Kata-kata Audy baru saja menghantamnya lebih keras dari tamparan mana pun. Tatapannya liar, seperti hewan yang terjebak dalam perangkap.
“Au… Audy, kamu nggak bisa gini sama aku,” suaranya bergetar, antara marah dan panik. “Aku ini suami kamu!”
Audy mendengus sinis, lalu menatapnya penuh kebencian. “Terus kenapa? Kamu nggak berpikir aku masih menganggapmu sebagai suami setelah semua ini kan? Jangan picik kamu.”
Bi Ijah muncul dari arah kamar membawa sebuah koper besar yang sudah rapi terisi. Suara roda koper beradu dengan lantai menambah ketegangan suasana.
“Nih, bibi bawakan koper bapak,” ucap Bi Ijah dengan raut wajah serba salah, tapi matanya jelas-jelas memihak Audy.
Audy lalu menunjuk koper itu dengan telunjuk tegas. “Keluar kamu dari rumah ini. Dan jangan pernah balik lagi. Kalau kamu masih nekat, jangan salahkan aku kalau aku pakai jalur hukum lebih jauh.”
Chandra mendekat, wajahnya penuh keputusasaan. “Audyyyy… kamu nggak bisa kayak gini dong. Aku suami kamu! Aku bener-bener nggak ada apa-apa sama Jenny…”
Audy menatapnya dingin. “Aku lebih percaya bukti daripada mulutmu. Dan soal tempat tinggal… mungkin kamu bisa tanya Jenny, kan terakhir kali kamu juga tinggal sama dia kan?"
Wajah Chandra seketika memerah, antara malu dan marah. Dia membuka mulut, ingin membantah, tapi tak ada kata yang keluar. Dia sudah tak bisa berkutik.
Suasana hening beberapa detik.
Audy menoleh pada Bi Ijah. “Tolong antar koper itu ke pintu depan.”
“I-iya Bu…” jawab Bi Ijah pelan, mendorong koper ke arah pintu.
Chandra hanya berdiri, mematung. Dadanya sesak, harga dirinya terinjak-injak. Namun tatapan tajam Audy membuatnya lumpuh, tak sanggup melawan.
“Silakan pergi, Chandra,” ucap Audy, datar tapi tegas. “Dan jangan pernah pikir kamu bisa main-main lagi dengan hidupku.”
Chandra menelan ludah, menatap Audy sekali lagi—perempuan yang dulu dia pikir akan selalu menuruti segala egonya, kini berdiri tegak bak benteng yang tak tergoyahkan.
Perlahan, dengan langkah gontai, dia meraih koper itu. Tangannya bergetar. Di luar, udara malam menunggu, dingin dan tanpa belas kasihan.
Pintu rumah terbuka. Suara gedebuk koper ditarik keluar menjadi akhir dari segalanya.
Audy tak bergeming, hanya menutup pintu dengan keras begitu tubuh Chandra benar-benar meninggalkan ambang rumah.
Brakk!
Sunyi.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Audy merasa rumah itu benar-benar miliknya lagi. Setidaknya kini dia bisa sedikit menarik napas lega, sebelum menuju langkah berikutnya.
...****************...