Mengisahkan tentang kisah kehidupan dari seorang pemuda biasa yang hidupnya lurus-lurus saja yang secara tidak sengaja bertemu dengan seorang perempuan cantik yang sekonyong-konyong mengigit lehernya kemudian mengaku sebagai vampir.
Sejak pertemuan pertama itu si pemuda menjadi terlibat dalam kehidupan si perempuan yang mana si perempuan ini memiliki penyakit yang membuat nya suka ngehalu.
Dapatkah si pemuda bertahan dari omong kosong di Perempuan yang tidak masuk akal itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Di Persingkat Saja DPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Dinda dan ibunya
Waktu berlalu satu bulan kemudian.
Pagi itu aku sedang mengantri untuk mengambil gajiku sebagai seorang kepala kebersihan di kantor.
Tak lama aku mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hakku dan setelah itu langsung pulang.
Malam itu aku jalan sendirian ke arah pinggiran sungai, bukan ke arah rumah.
Itu karena sesekali aku ingin merenung dan menyendiri.
Meksipun sungai itu banyak sampahnya dulu tapi itu sudah agak mendingan sekarang karena ada kelompok yang dengan baik hati menjaga kebersihan.
Tentu saja mereka tidak di bayar oleh pemerintah atau siapapun, mereka hanya melakukan semuanya atas dasar kemauan.
Selama beberapa saat aku duduk merenung di sana hingga muncullah seseorang yang lewat di jalan yang ada di belakangku.
"Dimas!!" Aku agak terkejut tapi kemudian aku langsung menoleh ke belakang dimana di sana terlihat ada dua orang.
Yaitu Dinda dan ibunya mungkin.
Pada saat itu aku agak bingung harus bagaimana ketika bertemu ibunya Dinda karena kami tidak cerita padatnya soal aku dan Dinda yang punya hubungan persaudaraan.
"Dimas? Apa ini teman yang kamu maksud dulu nak!?" Dinda langsung mengangguk.
Keduanya langsung menghampiriku kemudian duduk bersama di sebelahku.
"Ternyata Dinda tiba bohong soal dia yang punya teman ya. Padahal ini pikir cerita kamu itu cuma di buat-buat!" Seketika Dinda menunjukkan wajah yang kecewa.
"Kok segitunya Mama tidak percaya padaku sih!?"
"Ya gimana ya. Sepanjang hari kamu itu cuma menyendiri jadi ibu agak tidak percaya kamu punya teman!" Dinda pun cemberut.
Ibunya hanya bisa tersenyum sambil meminta maaf kemudian bicara denganku.
"Oh ya. Perkenalkan saya ibunya Dinda, kamu bisa panggil saya Tante Karin atau panggil ibu Karin juga boleh!" Dengan ramah ia bicara padaku.
Aku membalas senyuman itu.
"Namanya saya Dimas Bi... Ngomong-ngomong Bibi sama Dinda habis darimana? Kok malam-malam baru pulang!?"
"Kami dari toko ini beli beberapa daging untuk di makan!" Aku agak terkejut karena sekarang ini sudah cukup malam.
Tidak banyak toko yang akan buka di jam segini kecuali toko-toko yang memang membuka tokonya dua puluh empat jam.
"Begitu... Tapi kenapa haru malam-malam!"
"Yah. Ibu dari siang sibuk dan anak ini selalu duduk dan bermain game jadi mana mungkin dia bisa belanja!" Aku lihat ia melirik ke arah Dinda.
Dinda langsung buang muka sambil cemberut.
"Kenapa kamu malah buang muka? Kamu itu harusnya belajar cara belanja dan masak karena suatu saat kamu akan jadi ibu rumah tangga, kalau hal sederhana seperti ini saja tidak bisa mau jadi apa kamu?"
Langsung di jawab oleh Dinda. "Kan tinggal bayar pembantu apa suasana?!"
Mendengar jawaban itu si ibunya jadi marah dan aku tahu itu dengan jelas hanya dari melihat wajahnya saja.
Mereka kemudian saling beradu argument antara ibu rumah tangga yang baik dan wanita yang punya penghasilan sendiri.
Semetara aku yang ada di sana hanya bisa diam sambil memandangi mereka dengan senyuman yang datar.
Dan itu cukup lama mereka lakukan.
Hingga beberapa saat kemudian muncullah sekelompok orang yang datang untuk cari masalah.
Tapi bukan denganku sih.
Melainkan cari masalah dengan anak-anak pengamen yang juga lewat di belakang kamu yang sedang duduk di pinggir jalan dan sungai.
Mereka membentak dan memalak anak-anak itu hingga tidak segan-segan mendorong mereka sampai terluka.
"Bang jangan bang! Kalau uangnya di ambil kami gak bisa makan!" Dengan wajah melas anak-anak itu berkata dan memohon.
Namun sampah-sampah ini malah tidak mau dengar dan pergi begitu saja meninggalkan anak-anak itu yang hanya bisa menangis.
Bukannya mau jadi sok jagoan.
Tapi kalau aku diam di sini maka aku saja saja mendukung kedzaliman karena diam ketika kedzaliman itu terjadi.
"Woi! Balikin duit itu sekarang juga!" Aku berteriak pada mereka kemudian bangkit berdiri.
"Ngomong-ngomong apa lu bocah? Mau gua buat cacat!?" Mereka membalas dengan suara yang mengancam.
Mereka kemudian mengintimidasi dengan maju secara bersama-sama.
"Lu kira gua takut? Balikin duit itu sekarang juga...!" Belum juga aku selesai memperbagus aku sudah di hantam saja.
Bugg!!
"Banyak bacot!" Bentak orang yang memukul wajahku.
"... Karena kalian yang mulai duluan maka jangan salahkan aku. Kita selesai ini dengan kekerasan!" Segera aku membalas pukulan itu dengan tendangan.
Entah karena tendanganku yang terlalu keras atau preman itu yang terlalu lembek.
Satu tendangan tadi langsung membuatnya meringkuk di atas aspal.
"Lah. Kok langsung tepar? Padahal tadi gayanya sok keras giliran di balas sesak nafas!"
Melihat temannya yang terkapar mereka yang tersisa tentu tidak terima dan mengeroyokku dengan jumlah mereka yang ada tiga orang.