Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersedak
"Xel, sudah selesaikan laporan yang Ibu minta?" Tanya Sasa tanpa menatap lawan bicaranya. Tangannya masih sibuk membereskan dokumen ke dalam tas dinas nya.
"Sudah Bu. Apa mau Axel serahkan sekarang saja Bu?" Sasa mengibaskan tangannya tanda menolak. "Baik Bu, nanti saya serahkan kalau Ibu sudah bisa cek." Sasa mengangguk tanpa sepatah katapun.
"Ajari Jani juga buat laporan ya Xel, dia juga harus tau cara membuat laporan seperti yang aku mau." Axel menatap Jani dari kejauhan. Jani nampak serius belajar dengan Naya.
"Baik Bu." Axel mundur melihat Sasa melangkah buru-buru sekali. Matanya tidak fokus dan keringat membasahi keningnya. "Hati-hati Bu." Ucap Axel lirih pada Sasa yang terlihat sangat tegang.
Axel akhirnya bisa kembali ke mejanya, beberapa saat lalu dirinya di panggil Bu Sasa karena beberapa dokumen yang Sasa bawa dirinya yang buat. Sasa ingin memastikan semua yang Axel buat sesuai dengan instruksinya.
Aakkkkhhhh……
Suara lega Axel yang sedang meregangkan tubuhnya berhasil membuat Naya menengok ke belakang, ke arahnya.
"Bu Sasa tau gak kenapa bisa tegang begitu? Penasaran gak? Penasaran kan?" Padahal Axel tidak menjawab. Naya saja yang ingin bergosip.
"Tau gak Xel....." Axel mengusap dadanya kaget, tiba-tiba saja Kursinya sudah di geser mendekat ke sisi Axel. Padahal sekarang mereka tidak lagi duduk sejajar, Axel duduk di sebrang mereka saling memunggungi.
"Gosip terus kamu tuh Kak."
Plakkkkk.....
Paha Axel sering sekali jadi sasaran empuk tangan Naya. Tidak banyak bicara, Axel hanya mengusap usap pahanya yang terasa panas.
"Dengarkan.....kau jangan sampai ketinggalan gosip panas Xel, kan kamu sama Jani anak baru, pasti gak tau kan gosip terhot di kantor ini?!"
Naya tetap pantang menyerah meski Axel terlihat cuek. Naya tau Axel tetap mendengarkan meski terlihat tidak perduli.
"Bu Sasa pasti diminta menemani Pak Ara makanya sikapnya terlihat tegang dan was was seperti tadi. Percaya gak?"
Axel menggeleng, baru saja Naya ingin mengangkat tangannya, Axel sudah menutup pahanya dengan buku laporan tebal untuk melindungi pahanya.
Plakkkkk......
Awwwsss......
Sekarang punggung nya yang kena tepak tangan Naya. Jani yang ada di belakang mereka hanya tertawa. Naya dan Axel memang suka sekali membuat keributan. Yang satu super cuek yang satu super berisik dan usial. Cocok sekali mereka berdua ini.
"Kau harus percaya padaku Xel, aku ini sumber terpercaya di kantor ini." Sambil membusungkan dadanya sombong.
"Percaya Kak, Axel jadi banyak dosa duduk dekat-dekat Kak Naya."
Hihihi......
Naya terkikik merasa lucu. Dirinya memang selalu di sebut-sebut sebagai tukang gosip penyebar dosa.
Naya tidak marah, itu hanya hiburan semata baginya. Teman-teman nya tetap saja percaya dengan semua yang keluar dari mulut manis nya.
“Kau ini bisa saja Xel, tapi itu info terupdate hari ini. Nanti Kakak Naya update lagi yah untuk kelanjutan hubungan mereka.” Naya kembali menarik kursinya.
Axel hanya geleng-geleng kepala punya teman kerja seperti Naya yang cukup menghibur.
Hari-harinya berat karena pekerjaan kantor tidak semudah tugas kuliah yang selama ini dirinya kerjakan. Setidaknya Naya bisa membuat ujung bibirnya menorehkan senyum meski harus adu mulut dengan Naya yang tidak mau di bantah.
"Jan, sibuk?" Jani menggeleng. "Sini aku ajari buat laporan." Jani menggeser kursinya ke sisi Axel.
"Coba bagian mana yang kamu belum paham?." Tanya Axel dengan lembut. Axel tidak ingin Jani berkecil hati karena belum sepenuhnya paham.
Jani menatap Axel bangga dan ada sedikit rasa malu, bisa-bisanya Axel yang dirinya secara tidak langsung tolak perasaannya menjadi malaikat baik hati yang selalu ada untuknya.
"Terimakasih ya Kak, Jani tidak tahu diri sekali selalu menyusahkan Kak Axel." Axel mengusap kepala Jani dengan lembut.
Uhukkkkk....uhukkkk...uhukkkk....
Ara yang sedang bicara dengan Sasa di ruangan Calvin dengan sigap meraih botol air mineral dan menyerahkannya pada Calvin.
"Kenapa Pak? Apa ada yang membuat Bapak...." Calvin memberikan kode agar Ara melihat layar komputernya. "Sedang apa dia Pak?"
"Kau tanya aku lagi! Mana ku tahu!" Keras sekali sampai Sasa terkejut. "Kenapa masih dekat-dekat duduknya? Bisa kan di pisah dari ujung ke ujung, jangan sampai mereka bertemu."
"Tidak ada space lain pak." Dengan takut-takut Ara mencoba menjawab Calvin dengan logika.
Ruangan itu memang sudah cukup padat, banyak meja besar yang mereka gunakan untuk membuat rangkaian pekerjaan yang memang membutuhkan space dan ruang yang besar.
"Di ruanganku saja kalau mau Ra! Yang penting mereka tidak dekat-dekat." Ucapnya masih dengan nada yang kesal.
"Suruh Axel ke sini. Bilang aku memanggilnya." Ara menarik lengan Calvin memberikan kode jika di sana ada Sasa, bukan hanya mereka berdua.
"Hey....Sa....kau berikan tugas apa pada Axel? Apa dia banyak belajar? Kalau hanya menyusahkan lebih baik suruh dia sudahi PKL nya."
Ara membulatkan matanya. Bisa-bisanya Calvin bicara tidak profesinal pada Sasa yang tidak tahu apa-apa.
Sasa meremas jemarinya ikut terbawa tegang karena amarah Calvin. "Aku....aku hanya memintanya mengajari Jani membuat laporan Pak." Calvin mengusap wajahnya kasar.
"Kenapa kau tidak langsung mengajari Jani? Kenapa meminta orang lain?" Ara memberikan kode agar Sasa tidak perlu menggubris. Tapi bukan Sasa kalau diam saja saat diminta pertanggung jawaban atas kinerjanya.
"Sudah Pak, saya sudah ajarkan Axel dan Jani, tapi Jani belum terlalu paham. Laporannya masih banyak yang kurang tepat tidak seperti milik Axel. Karena itu aku meminta Axel un...."
"Cukup....cukup....sekarang suruh Axel ke sini, sekarang Ra." Pinta Calvin dengan wajah yang tidak bersahabat.
"Sa....boleh yah tunggu saya di depan sebentar." Sasa menggaruk kepalanya dengan pulpen yang dia pegang meski kepalanya tidak gatal.
Matanya masih mencuri-curi pandang pada Calvin yang tidak pernah marah selama ini.
Seram juga kalau sudah marah makkk…..Ku kira dia tidak pernah marah dan selalu kalem. Dia manusia biasa juga ternyata.
Sasa bicara dalam hati merasa masih sangat terkejut melihat Calvin marah-marah tidak jelas seperti ini.
"Baik Pak." Sasa segera mengemasi barang-barangnya dan keluar dari ruangan Calvin yang mencekam.
"Loh Bu....sudah mau berangkat?" Tanya Rani yang melihat Sasa yang baru saja masuk sudah keluar lagi. Wajahnya terlihat tegang dengan tatapan mata penuh keterkejutan.
"Pak Calvin ngamuk Ran....gak tau kenapa. Ihhhh....serem Ran." Rani tertawa.
Bisa-bisanya Bu Sasa yang tidak pernah melihat Pak Calvin marah begitu terlihat kengerian. Wajahnya sampai tidak perlu di jelaskan lagi saking jelasnya terlihat di sana.
"Rani mah sudah biasa Bu." Candanya memberikan Sasa air mineral agar Sasa tenang. “Minum Bu, siapa tau bisa mengurangi rasa heran Ibu.”
Sasa meneguknya tanpa basa basi. Tenggorokanya memang mendadak kering menghadapi Calvin dan Ara.
"Pak....ini beberapa laporan yang Axel bantu Sasa secara langsung. Jangan menilai sebelah pihak Pak, jangan hanya karena emosi Bapak bisa kehilangan bakat muda yang sudah sangat lama tidak kita temui ini Pak." Calvin masih bertolak pinggang.
“Kau bisa cari orang lain yang lulusan luar negeri atau lulusan terbaik di negara ini. Cari sampai penghujung dunia kalau perlu!” Masih emosi.
“Tapi bakat Axel ini jarang-jarang sekali bisa kita temukan Pak. Axel juga anak yang penurut dan bisa cepat mengerti saat diberikan tugas Pak.” Calvin melangkah lebih dekat ke arah Ara.
"Kau akan diam saja kalau Istrimu di belai-belai orang lain seperti itu? Seperti tadi!" Axel dan Jani sekarang terlihat sangat serius belajar.
"Tapi memintanya pindah ruangan atau tempat secara berturut-turut apa tidak menimbulkan kecurigaan Pak? Kasihan Nona." Jurus Ara jika sudah tidak lagi menemukan cara membujuk Calvin yang keras kepala.
Calvin memanyunkan bibirnya. Dia akan langsung lari memisahkan Jani dan Axel jika tidak memikirkan perasaan Jani. Api cemburu masih membakar dadanya, kepalanya terasa panas melihat sendiri bagaimana Axel memperhatikan Jani.
Ide bodohnya sendiri yang membuat hari-harinya makin repot mengurusi rasa cemburunya setiap kali Jani terlihat bercanda dan berinteraksi dengan lawan jenisnya.
Dia yang mau sendiri memantau CCTV di Komputernya sampai petugas keamanan mengaktifkan system nya agar Komputer Calvin bisa mengakses semua ruangan.
Sejak awal Ara sudah melarang Calvin melakukan semua ini. Ara tau kapasitas Calvin menahan emosi dan amarah, dia bisa saja tiba-tiba mendatangi Jani jika tidak bisa membendung lagi amarahnya melihat Jani dekat dengan karyawan lain.
"Tolong Pak, ini kesempatan kita dapat karyawan yang kompeten Pak. Aku butuh partner yang seperti Axel Pak." Calvin menggeleng, dia masih belum rela jika Axel terus menempel di sisi Istrinya.
"Dia anak yang baik, dia tetap menjaga rahasia Bapak dan Nona meskipun dia bisa saja menyebar gosip kalau dia mau Pak." Calvin mulai mereda, amarahnya berangsur membaik.
“Sahabat apa yang belai-belai kepala Istriku seperti itu Ra.” Ara menghela nafasnya panjang. Repot sekali jika Calvin sudah menjelma menjadi anak kecil yang maunya di mengerti.