Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Udara siang itu terasa panas ketika Bagas menuntun langkah Alya menuju parkiran sekolah. Gadis itu masih tampak lemah, wajahnya pucat, langkahnya pun pelan seakan setiap pijakan membuat tubuhnya semakin berat.
Bagas berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan cemas.
“Kalau kamu merasa nggak kuat naik motor, bilang ya. Aku bisa cari cara lain buat nganterin kamu pulang,” ujarnya hati-hati.
Alya tersenyum tipis, “Aku nggak apa-apa, Gas. Aku cuma butuh istirahat.”
Mereka berhenti di depan motor Bagas. Motor itu memang sederhana, catnya mulai pudar, namun terlihat terawat. Bagas cepat-cepat mengambil helm cadangan dan menyodorkannya ke arah Alya.
“Pakai ini. Aku nggak mau kamu tambah kenapa-kenapa.”
Alya menerima helm itu dengan tangan sedikit gemetar, lalu mengenakannya. Bagas membantu mengaitkan tali di dagunya, jarak wajah mereka hanya beberapa jengkal. Alya bisa melihat tatapan Bagas yang serius, penuh perhatian. Ada sesuatu di sana yang membuat dadanya berdesir, namun ia buru-buru menunduk.
“Yuk, naik,” ucap Bagas lembut.
Alya naik pelan ke jok belakang, kedua tangannya ragu sebelum akhirnya memegang ujung jaket Bagas.
“Pegangan yang kuat, Al. Aku nggak mau kamu jatuh,” ujar Bagas lagi, suaranya tegas.
Mereka melaju meninggalkan halaman sekolah. Angin siang menerpa wajah Alya, membuat kelopak matanya terasa berat. Namun ia tetap berusaha menjaga kesadarannya. Bagas di depan tidak banyak bicara, hanya sesekali memastikan Alya masih kuat duduk.
Sementara itu, pikiran Alya justru melayang pada seseorang. Reihan. Ia menggigit bibirnya, mengingat deretan panggilan telepon yang tadi tak kunjung dijawab. Ada rasa kecewa yang sulit ia bendung.
Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, motor berhenti di depan rumah megah yang Alya tingali. Bagas mematikan mesin, lalu menoleh.
“Kita udah sampai. Kamu bisa masuk sendiri? Atau mau aku bantu sampai dalam?” tanyanya pelan.
Alya buru-buru menggeleng. “Nggak usah… cukup sampai sini aja. Makasih, Gas.”
Bagas ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya. Ia hanya mengangguk.
“Kalau gitu, istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri. Aku… bakal selalu ada kalau kamu butuh bantuan.”
Ucapan itu membuat Alya terdiam sejenak. Ada hangat yang menyelinap di hatinya, tapi sekaligus membuat rasa bersalah makin besar. Namun Alya hanya mengangguk.
“Aku masuk dulu, Gas. Sekali lagi makasih,” ucap Alya lirih, lalu melangkah masuk ke rumah tanpa menoleh lagi.
Bagas menatap punggung Alya yang menjauh, lalu menghela napas panjang. Lalu ia kembali menyalakan mesin motornya. Dan pergi menjauh dari rumah mewah tersebut.
...
Sementara itu, di tempat berbeda...
Reihan tengah berdiri di panggung megah, dikelilingi cahaya lampu dan ratusan pasang mata yang menatap penuh antusias.
Ballroom hotel bintang lima itu berkilauan. Musik lembut mengalun, para tamu duduk rapi, menanti momen puncak pertunangan Reihan dan Rani. Meja-meja bundar dihiasi bunga putih segar, lilin kristal berkelip, dan kilatan kamera media tak henti-hentinya menyambar.
Reihan berdiri kaku di samping Rani yang tersenyum anggun dalam balutan kebaya mewah. Jas hitamnya terpasang rapi, wajahnya tampan, namun sorot matanya beku. Ia merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk yang tak bisa ia hentikan.
Di kursi kehormatan, Lidya dan Sutrisno tampak penuh wibawa. Mereka berbisik kecil dengan beberapa tamu penting, seolah semuanya berjalan sempurna.
“Dan kini, mari kita saksikan bersama,” suara MC menggema penuh semangat, “pemasangan cincin pertunangan antara Tuan Reihan dan Nona Rani!”
Tepuk tangan bergemuruh. Sorot lampu menyorot ke panggung utama. Semua mata tertuju pada Reihan dan Rani.
Kotak cincin dibawa oleh pembawa acara, diletakkan di hadapan mereka. Reihan menatap cincin itu. Sekilas, bayangan wajah Alya melintas di benaknya.
Tangannya bergetar.
“Rey?” bisik Rani lirih.
Sorakan kecil terdengar dari tamu undangan, mengira momen itu adalah bentuk ketegangan manis khas sepasang kekasih. Padahal dalam diri Reihan, perang batin sedang memuncak.
Ibunya, Lidya, menatap tajam dari kursi kehormatan. Tatapan yang jelas berisi perintah. lakukan sekarang juga, atau bersiap kehilangan segalanya.
Reihan mengepalkan rahangnya. Napasnya memburu. Tangannya terulur lagi, kali ini lebih tegas, menyentuh jemari Rani.
Dan pada akhirnya… cincin itu melingkar di jari manis Rani.
Ballroom pecah oleh tepuk tangan dan sorak sorai. Kilatan kamera bertubi-tubi. Rani tersenyum bahagia, sementara Reihan hanya berdiri kaku, seolah tubuh dan jiwanya tercerabut dari tempat itu.
Dalam hatinya ia berkata.
Maafkan aku, Alya… maafkan aku.