Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surrender
Nicko terus melangkah menuju tempat tidur.
“Tenang. Aku tak akan menyentuhmu malam ini,” ucapnya pelan. “Setidaknya belum.”
Sara membeku. Tubuhnya menegang, kakinya bergerak mencoba melawan, namun sia-sia.
Nicko berhenti di sisi tempat tidur, menurunkannya perlahan hingga punggungnya menyentuh seprai. Tubuhnya kini terlentang, tapi Nicko tak mundur.
Ia bertumpu dengan kedua tangan di sisi tubuh Sara, wajahnya condong ke depan,sebagian tertutup bayangannya. Tubuh mereka begitu dekat, dan kedua paha Sara terjepit di antara kaki Nicko yang kuat.
"Nick…” bisiknya panik.
Tangannya gemetar saat menyeka sudut matanya yang basah, lalu spontan menarik bagian bawah gaun tidurnya yang kusut, seolah itu bisa melindunginya.
“Kau mau apa?” suaranya tercekat. Matanya menatap Nicko dengan penuh kewaspadaan.
Nicko tidak menjawab. Ia sedikit mundur, tapi tatapannya tetap terkunci pada Sara, mata itu menyapu perlahan dari wajahnya, turun ke leher, lalu ke setiap lekuk tubuhnya. Pandangannya berat, seolah menelanjangi tanpa menyentuh.
Senyum tipis melintas di sudut bibirnya. Bukan senyum ramah, melainkan seperti milik seorang pemburu yang tahu persis bagaimana tatapannya bisa melumpuhkan mangsanya.
Dengan gerakan santai, ia membuka kancing kemejanya satu per satu. Napasnya terdengar berat, matanya tak lepas dari tubuh Sara, menelusuri setiap inci.
Sara terkejut dan tanpa sadar menggeser kepalanya ke belakang, menempel pada kepala ranjang, mencoba menjauh sejauh mungkin.
"Tadi kau bilang... ” suaranya menghilang, tak berani menyelesaikan kalimat itu.
“Aku biasa tidur seperti ini,” gumamnya datar, tapi ada sedikit nada main-main di ujungnya. “Kau tahu itu.”
Setelah kancing terakhir terlepas, ia menurunkannya dari bahu dan membiarkannya jatuh di sisi ranjang.
Kini kemeja itu sudah terlepas. Dada bidangnya terekspos, perutnya yang berotot bergerak naik turun seiring napasnya yang mulai berat. Ia tidak langsung mendekat, hanya menatap, seolah membiarkan ketakutan Sara tumbuh sendiri.
Sara menahan napas, matanya terus mengikuti setiap gerakan Nicko. Saat pria itu bergeser mendekat, tubuhnya menegang, sedikit mundur mengikuti arahnya, tapi Nicko sudah lebih dulu menariknya ke dalam pelukannya. Kepala Sara kini bersandar di lengan kekarnya, sementara tangan satunya melingkari pinggang rampingnya, menahan erat.
“Nick.. ” panggil Sara lirih, hampir seperti bisikan orang yang tak yakin ingin jawabannya.
“Hmm?” suaranya rendah, hangat, menyentuh kulit telinga Sara.
Sara mencoba menahan di dada Nicko, tapi pria itu malah menangkup tangan itu, menurunkannya perlahan sambil tetap menatap matanya.
Nicko menunduk sedikit, membiarkan ujung hidungnya menyapu pelipis Sara,lalu turun pelan ke garis rahangnya. Pandangannya mengunci mata Sara sebentar, tatapan itu dalam dan penuh maksud, sebelum bibirnya mendekat hingga jarak di antara mereka hanya terpisah oleh hembusan napas.
“Andai aku menyentuhmu malam ini..” katanya pelan, nada suaranya begitu lembut sampai terdengar seperti janji,
"Kau tak akan sanggup turun dari ranjang besok pagi.”
Pipinya menyentuh rambut Sara, dan senyum tipisnya menggoreskan sensasi dingin sekaligus panas di kulitnya.
Sara terlonjak kecil, mencoba melepaskan diri. “Lepaskan aku brengsek,” bisiknya lirih, memukul bahunya dengan lemah.
Nicko hanya terkekeh, tawa rendah yang terdengar seperti rahasia yang hanya mereka berdua tahu. Pelukannya malah semakin mengerat.
“Kalau tak mau itu terjadi, tidurlah” ucapnya pelan.
Sara menggigit bibirnya, tubuhnya masih menggigil. Ketakutan akan kemungkinan Nicko mengingkari ucapannya membuat napasnya memburu.
Perlahan, perlawanannya memudar.
Sara hanya bisa menggeser posisi, berusaha mencari jarak meski pelukan Nicko terlalu rapat. Lengan lelaki itu melingkari pinggangnya seperti pengunci yang sulit dilepaskan.
Nicko menarik selimut, menutup mereka berdua sampai ke bahu. Nada suaranya pelan, tapi tegas dan dingin.
"Aku pria normal, Sara. Jangan paksa aku kehilangan kesabaran. Diam, dan tidurlah sekarang."
Sara menutup mata, mencoba tidak bergerak. Detak jantungnya masih cepat, tubuhnya tetap tegang, tapi rasa lelah mulai menguasai. Kehangatan tubuh Nicko, mau tak mau, terasa lebih nyata daripada udara kamar yang dingin.
Waktu berjalan.
Napas Sara mulai teratur, tangisnya berhenti, bahunya tak lagi bergetar. Perlahan, kelopak matanya tertutup rapat. Beberapa menit kemudian, ia sudah terlelap.
Nicko menatap wajahnya yang tenang untuk pertama kalinya malam ini. Tidak ada perlawanan, hanya sisa takut yang belum sepenuhnya hilang. Ia mendekat sedikit dan mengecup keningnya sebentar.
"Tubuhmu selalu lebih jujur daripada mulutmu," ucapnya pelan.
Nicko lalu melepas pelukannya perlahan , bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Tak lama kemudian, terdengar suara pancuran air dari balik pintu yang tertutup rapat.
Satu-satunya cara... agar malam ini ia tetap bisa mengendalikan dirinya.
...----------------...
Pagi itu terasa seperti lanjutan malam yang belum selesai.
Sara duduk diam di tepi ranjang. Punggungnya membungkuk, matanya kosong menatap dinding. Selimut masih membungkus tubuhnya. Bukan untuk menghangatkan, hanya untuk menyembunyikan sisa kehadiran seseorang yang semalam terlalu dekat.
Aroma Nicko masih tertinggal.
Di bantal, di seprai, bahkan seolah menempel di kulitnya, saat ia menarik napas pun, rasanya seperti masih mencium napas pria itu.
Nicko tidur di sampingnya tadi malam.
Tak menyentuh, tapi tetap membuatnya sesak. Lengannya melingkar, tapi cukup untuk membuat Sara merasa terkurung.
Bukan tubuhnya yang disentuh.
Tapi rasa takutnya.
Dan itu lebih dalam dari sekadar sentuhan.
Nicko tak ingin memaksa. Ia hanya ingin membiasakan dirinya dalam hidup Sara. Agar ketakutan itu berubah jadi kebiasaan. Lalu keterikatan.
Itulah yang Sara takutkan.
Dan pagi ini, ia ingin pergi, dari pengaruh Nicko yang diam-diam mulai tumbuh.
Satu-satunya tempat yang masih terasa seperti miliknya sendiri adalah butik.
Sara menuruni tangga pelan-pelan. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, sedikit menutupi sisi leher dan sebagian pipi. Blazer hitam dengan scarf putih bergaris hitam melingkar di lehernya, kontras dengan celana jeans biru yang membingkai kakinya. Penampilannya rapi, tenang seperti biasa, hanya saja dari dekat, guratan samar kemerahan di bawah lehernya belum sepenuhnya pudar.
Sofia yang tengah merapikan meja sarapan langsung menoleh. Ia tak menunjukkan ekspresi terkejut, hanya tersenyum tipis sembari menurunkan spatula ke atas piring.
“Apa pun yang Nona pakai, selalu terlihat sempurna,” gumamnya pelan. “Kadang saya lupa kalau saya sedang bicara dengan seorang desainer.”
Sara ikut tersenyum tipis, lalu duduk di kursi yang biasa ia tempati.
“Ini hanya blazer dan jeans, Sofia,” balasnya tenang, mengambil cangkir teh hangat yang sudah tersedia.
Sofia ikut duduk di seberangnya, menata piring perlahan.
“Justru itu. Tidak semua orang bisa kelihatan seperti dari sampul majalah dengan pakaian biasa.”
Sara tak membalas, hanya mengangkat alis sedikit, lalu menghela napas. “Aku sedikit lapar.”
Sofia segera menyodorkan roti panggang dengan selai aprikot. “Saya buat yang simpel dulu, ya. Tapi kalau Nona mau, besok saya bisa masak sup lentil. Tuan Velmier bilang itu makanan favorit Nona?”
Sara menghentikan gerakan tangannya. “Dia bilang begitu?”
Sofia mengangguk sambil menuang teh. “Waktu saya bilang Nona tak berselera makan, Tuan Velmier langsung mengatakannya. Dengan sangat detail, seperti dia benar-benar ingat.”
Sara terdiam sejenak. Ada sesuatu yang mencelos diam-diam di dadanya.
“Ya.. dulu aku sering membuat sup lentil bersama mama di Swiss,” ucapnya pelan, senyum tipis melintas sesaat.
"Kalau waktuku sedikit lenggang nanti," tambah Sara, menoleh padanya, "aku ingin ikut memasak denganmu, Sofia. Aku rindu dapur."
Sofia tampak girang, tapi tetap menjaga nada suaranya hangat.
“Saya akan sangat senang, Nona. Dapur ini jadi lebih hidup kalau ada yang mau mencoba resep baru. Apalagi kalau yang memasak seorang desainer, pasti potongan sayur pun bisa jadi karya seni.”
Keduanya tersenyum kecil. Hening yang nyaman menyelimuti mereka. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya setelah malam-malam yang berat, rumah itu terasa sedikit lebih hangat.
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi