Rayna Sasa Revalia, gadis dengan karakter blak-blakan, humoris, ceria dan sangat aktif. Dia harus meninggalkan orang tua serta kehidupan sederhananya di kampung karena sebuah kesialan sendiri yang men-stransmigrasikan jiwa gadis itu ke dalam sebuah karakter novel.
Sedih? Tentu. Namun ... selaku pecinta cogan, bagaimana mungkin Rayna tidak menyukai kehidupan barunya? Masalahnya, yang dia masuki adalah novel Harem!
Tapi ... Kenapa jiwa Rayna harus merasuki tubuh Amira Rayna Medensen yang berkepribadian kebalikan dengannya?! Hal terpenting adalah ... Amira selalu di abaikan oleh keluarga sendiri hanya karena semua perhatian mereka selalu tertuju pada adik perempuannya. Karena keirian hati, Amira berakhir tragis di tangan semua pria pelindung Emira—adiknya.
Bagaimana Rayna menghadapi liku-liku kehidupan baru serta alur novel yang melenceng jauh?
~•~
- Author 'Rayna Transmigrasi' di wp dan di sini sama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mari Berteman?
“Lo ngapain ada di tempat tad—Aw! Sakit!”
“Makannya diem, jangan nanya mulu. Udah tau tu muka babak belur. Mana luka lo pada serius lagi,” omel Rayna dengan ekspresi jengkel.
Ezra akhirnya diam dengan patuh. Rayna melepaskan tekanan yang membuat Ezra meringis barusan. Lalu ia melanjutkan mengobati lukanya dengan gerakan lebih lembut, namun mulut masih mengomel. Sedangkan semua orang yang tengah memperhatikan keduanya terlihat melongo.
Saat ini mereka berada di sebuah ruangan yang mereka sebut markas. Saat Rayna menghentikan tawuran mereka, tadinya mereka akan marah. Namun justru seperti saat ini. Rayna malah mengomel dan mengkhawatirkan luka mereka membuat tidak jadi marah.
Yang paling di perhatikan tentu saja Ezra. Wajahnya penuh luka membuat Rayna menyayangkan wajah gantengnya. Selain itu, banyak luka goresan di lengannya. Ada juga di pipi dan mungkin di balik baju seragamnya.
“Kalian ngapain sih perang-perangan kek gitu? Gak ada manfaatnya. Ngebela apa coba? Ngebela agama? Kagak, kan?Percuma kalo kalian mati juga, kagak ada jihad-jihadnya!” Rayna masih saja berceloteh.
“Lo mau sekolah kita di serang?” tanya Ezra dengan nada dingin.
“Hah? Sekolah kita?” sahut Rayna bingung.
“Kalo gak kita cegah, mungkin sekolah kita udah buat keributan saat tadi waktu pulang,” celetuk seorang cowok duduk tidak jauh.
Rayna menoleh dan melihat bahwa cowok itu adalah cowok yang sempat ia kuping pembicaraannya.
Melihat cowok yang satu lagi di sampingnya, Rayna semakin yakin, “Oh! Lo yang ngomong ‘kita harus pergi untuk mencegah mereka nyerang sekolah ini!’ kan?”
Melihat cowok yang satunya lagi, Rayna menunjuk, “Dan lo yang ngomong ‘Kalo gitu sekarang lo pergi ke kelas si bos buat kasih tau dia!’”
Kedua cowok itu saling pandang. Lalu menatap Rayna dengan kaget. Tiruan Rayna persis sama dengan nada mereka saat itu. Salah satunya bertanya, “Lo nguping, ya?”
Mata Rayna melebar. Lalu ia menggeleng,”Gak! Gue gak nguping. Cuma gak sengaja. Yaudah gue terusin.”
Mereka menganga menatap Rayna tidak percaya. Namun Rayna malah mengangkat bahu. Lalu ia bertanya penasaran, “Mereka emang siapa? Kok nyerang sekolah kita?”
Saat Rayna bertanya itu, mata semua orang langsung tertuju kepada Ezra. Namun Ezra terlihat tidak menampilkan ekspresi apapun.
Matanya menatap Rayna dengan mata tidak di mengerti. Nadanya tetap dingin, “Bukan urusan lo.”
“Urusan gue lah, kan itu sekolah gue juga.” Rayna menjawab dengan santai.
Tapi semua orang kini bergidik atas keberaniannya menjawab Ezra.
“Bos, kita pulang duluan yah. Gue mau obatin lukanya di rumah aja,” kata salah satu cowok di sana.
“Gue juga.”
“Gue juga, sekalian ada urusan di rumah.”
Satu persatu orang keluar dan berpamitan kepada Ezra dengan wajah ketakutan. Apalagi setelah melihat wajah Ezra yang semakin menyeramkan dan suasana yang mendingin setelah mendapat jawaban dari Rayna.
Sedangkan Rayna menatap kepergian semua orang dengan heran, “Kenapa mereka pada pulang sih? Padahal di sini aja obatinnya sama gue..”
Ezra menyela, “Itu emang tempat lo sekolah. Tapi bukan berarti lo orang yang bakal turun tangan kalo ada masalah. Lo seharusnya gak ada pas waktu tadi. Itu Sama aja lo udah buat masalah kita sama mereka gak selesai-selesai. Kedatangan lo..”
Ezra mendekat membuat Rayna mundur dengan was was. Ia baru sadar semua orang sudah keluar dan hanya ada mereka berdua di tempat itu.
“... Pengacau.”
Rayna gugup dan takut saat melihat ekspresi Ezra yang begitu dingin. Tapi ia tetap memberanikan diri, “Ta-pi.. walaupun seandainya gue gak ada, emang lo bakal jamin masalah itu selesai gitu aja setelah kalian berkelahi? Yang ada, lo sama temen-temen lo pasti lebih terluka dari ini.”
Ezra menyipitkan matanya tanpa mundur, “Emang kenapa kalo gue terluka? Itu bukan urusan lo, kan?”
“L-o mundur dulu..” Rayna berkata gugup karena jarak terlalu dekat.
Mereka tengah duduk di sebuah sofa usang namun tidak kotor. Rayna harus bersandar dengan tubuh menyusut karena Ezra memajukan badannya. Setelah mendengar Rayna berkata itu, Ezra langsung duduk tegak kembali.
“Kalo lo terluka, jadi urusan gue!” Rayna menjawab dengan lantang.
Ezra terdiam sejenak dengan mata lekat tertuju pada Rayna. Lalu ia bertanya dengan suara rendah. Suaranya melunak, “Kenapa?”
Rayna baru sadar ucapannya tadi terlalu frontal. Jadi ia memperbaiki, “Ah, ma-ksud gue.. gue Cuma agak kasiha—“
“Kasihan?” Nada Ezra kembali dingin. Apalagi matanya lebih dingin dari sebelumnya, “Gue gak butuh simpati lo.”
Rayna menggaruk kepalanya bingung karena serba salah, “E-h.. gak gitu.. Cuma rasa kemanusiaan aja. Masa gue diem aja pas lo lagi luka.”
Rasa dingin di mata Ezra sedikit menghilang. Nada suaranya pun kembali melunak, “Lo kenapa ada di tempat ini?”
“Haah.. pertanyaan itu lagi, “Rayna menghela nafas san bergumam dengan suara yang masih Ezra bisa dengar. Rayna menjawab jujur, “Gue gak sengaja lewat dan gue juga gak sengaja denger keributan. Karena penasaran, yaudah gue samperin.”
“Lain kali, lo harus pergi kalo ada kejadian yang sama. Lo jangan mendekat apalagi masuk area tawuran.”
Rayna menutup mulutnya seakan kaget. Ia menatap Ezra dengan malu-malu, “Ciee.. lo khawatir ya sama gue?”
Ezra menatapnya datar, “Gue gak bakal ngomong gini kalo lo bukan orang yang nyegah seseorang tadi nusuk gue dari belakang. Anggap aja tanda terima kasih gue.”
“Kalimat lo tadi gak cukup buat nembus tanda terima kasih lo. Gue pengen yang lain.” Rayna menawar dengan senyuman penuh arti di bibirnya.
Ezra mengangkat sebelah alisnya. Dia sudah agak penasaran dengan gadis di depannya sejak lama. Awalnya di kantin saat melihat perilakunya yang agak unik. Lalu saat dia berkelahi, entah kenapa tatapannya agak menenangkan. Lalu terakhir dia bertemu dengan orang di depannya ketika dia di hukum di tengah lapang.
Setiap kali bertemu, ada saja perilaku anehnya yang membuat dia merasa agak.. lucu.
Lalu pada Saat melihat gadis ini ketika waktu tawuran, Ezra merasakan kaget dan panik tanpa alasan.
Ingin tahu dengan tawarannya, Ezra bertanya, “Apa?”
“Gue ingin berteman sama lo.” Rayna membalas dengan senyuman lebar.
Ada kejutan di mata Ezra. Tanpa sadar bergumam, “Teman?”
Rayna yang mendengar gumamannya mengangguk yakin, “Iya. Lo mau, kan?”
Ezra menatap Rayna dengan kebingungan yang langka dalam ekspresinya, “Kenapa harus.. teman?”
“Ya.. karena gue pengen lebih deket sama lo.” Rayna menjawab asal tanpa tahu arti kata-katanya yang di salah artikan oleh Ezra.
“Deket sama gue?”
Pertanyaan Ezra dengan tampang bingungnya merasa agak lucu di mata Rayna. Melihat hari semakin sore, Rayna tanpa basa-basi mengambil tangan Ezra untuk berjabat membuat Ezra terkejut.
Sebelum Ezra bereaksi, Rayna menggenggamnya dan berkata, “Nama gue Amira Rayna Medensen. Panggil gue Rayna. Gak usah kenalin nama lo, karena gue udah tahu. Mulai sekarang kita resmi berteman. Jika kita bertemu di manapun, kita harus saling menyapa. Sekarang gue mau pulang, udah sore. Jangan lupa obatin luka lo. Babay.. sampai jumpa.”
Ezra menunduk menatap tangannya yang baru saja di genggam dengan eksppresi masih linglung. Lalu ia mengangkat kepala menatap punggungnya yang menjauh pergi keluar. Ada kehangatan di matanya.
“Oke. Sampai jumpa.”