Rio Tyaga hidup dalam kesialan bertubi-tubi. Ayahnya meninggal di penjara dan setelahnya ia hidup serba kekurangan. Ia mendapatkan uang untuk biaya sehari-hari dari taruhan Drag Race, balap motor liar. Saat itu tiba-tiba motornya hilang, ia kena tipu. Padahal uang jual-beli motor akan ia gunakan untuk hidup sehari-hari dan membeli motor bodong utuk balapan.
Di saat penelusuran mencari motor kesayangannya, Rio terlibat dalam aksi penculikan. Yang diculik oleh kawanan sindikat adalah temannya sendiri, gadis kaya yang populer di sekolah, Anggun Rejoprastowo. Rio berhasil menyelamatkannya dalam keadaan susah payah bertaruh nyawa.
Rio tadinya tidak terlalu kenal Anggun, namun setelah penculikan itu Anggun seakan begitu ketergantungan akan Rio. Tanpa Rio di sisinya ia bersembunyi di sudut kamar, seakan trauma dengan penculikan itu.
Walau benci, akhirnya orang tua Anggun membiarkan Rio si berandal mendampingi Anggun 24 jam 7 hari, termasuk saat Anggun ke sekolah.
Apakah Rio yang dingin akhirnya dapat luluh dengan kedekatan mereka? Bagaimana perasaan Rio sebenarnya? Dan Anggun, apakah memang ada perasaan cinta ke Rio atau hanya memanfaatkannya sebagai bodyguard saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Pernikahan
Pernikahan bermakna dua jiwa namun satu pikiran, dua hati namun satu perasaan. Suami istri adalah partner dalam pernikahan, bukan seperti pembantu dan majikan. Keduanya harus ikhlas berbagi peran agar rumah tangga bisa seiring sejalan.
Di luar itu, yang ada hanya ketidakbahagiaan dan keluhan.
**
Pagi ini, udara cerah dan angin sepoi membawa keharuman bunga kamboja ke hidung Rio. Ia sedang menyapu daun-daun kering di sekitar makam ibu dan ayahnya. Dua nisan yang berdampingan itu terasa dingin, namun Rio nyaman berada di sini, didampingi kedua orang tuanya.
Setelah semua di rasa bersih, Rio membuka kursi lipat, menyulut rokoknya dan duduk termenung memandang ke kedua nisan itu.
Ia tidak membawa bunga, atau pun merubah nisan itu menjadi keramik. Wasiat ibunya, yang tercantum dalam buku harian.
Rio sayang... Jangan tabur bunga di makam ibu, tapi tolong tanam banyak tumbuhan di dekatnya. Tumbuhan hidup akan berdzikir, ibu akan senang mendengarnya. Jangan juga membangun makam ibu dengan keramik, jasad ini hanya onggokan daging dan tulang yang akan hancur tak bersisa, biarlah menyatu dengan tanah, begitu sudah seharusnya.
Jadi, di sekeliling makam ibunya, Rio meletakkan banyak pot bunga. Ia setiap bulan datang untuk menyirami bunga-bunga itu. Walau pun hanya sebulan sekali, entah kenapa tanamannya subur-subur saja. Bisa jadi penjaga kuburan yang menggantikan Rio menyiramnya.
“Nanti siang aku akan menikah... dengan gadis yang kucintai.” Kata Rio.
Ia menghisap rokoknya lagi.
“Aku tahu aku tidak pantas mendampinginya, semua bilang aku ada maunya saja mendekatinya. Memanfaatkan suasana, katanya. Bisa jadi itu benar, tapi bukan mauku.”
Rio duduk sambil mencondongkan tubuhnya, “Anak kalian baik-baik saja, Ayah, Ibu... banyak hal yang terjadi, tapi aku masih berdiri tegak. Dulu saat aku pulang yang ada hanya sepi di rumah... tapi sekarang, aku telat pulang sedikit saja sudah dicariin, hehe.”
Rio kembali duduk bersandar sambil tersenyum. Yang ada di benaknya sekarang hanya ada senyum ibunya dan raut wajah ayahnya yang kaku, namun Rio tahu ayahnya peduli padanya. Sampai meletakkan deposit di rumah sakit dan sekolah dengan sisa uangnya.
Tuhan tidak mengizinkan Rio sengsara, saat uang ayahnya habis, rezekinya diisi lagi, malah berlipat ganda. Masih ditambah dengan... keluarga baru.
“Seorang anak tidak akan lupa orang tuanya. Karena tubuh ini terbentuk karena orang tua. Tapi betapa hinanya aku kalau teringat tapi tidak mendoakan. Se-buruk-buruknya ilmu parenting kalian, kalian sudah berusaha membesarkanku. Aku akan jadikan patokan itu untuk mendidik anak-anakku, kelak.”
Lalu Rio pun menunduk dan mulai memejamkan matanya, memanjatkan doa untuk kedua orang tuanya.
“Kamu di sini juga...”
Rio menoleh karena seorang wanita menegurnya.
Adinda ada di belakangnya. Berdiri dan menatapnya dengan sendu
“Kamu bukannya di safe house?”
Adinda mengangguk, “Aku mendengar kamu akan menikah siang ini. Jadi aku laporan ke...” Adinda menunjuk makam ayah Rio dengan dagunya. “Ternyata kamu-nya udah lapor sendiri, ya sudah...” ia tersenyum menggoda Rio.
Rio menghampiri Adinda sambil memiringkan kepalanya untuk mengamati wanita itu. “Gemukan kamu... safe housenya bagus ya?”
“Mereka mencecokiku makanan enak-enak. Dan mengurus anak-anakku. Aku bangun tidur anak-anakku sudah selesai mandi dan makan, lagi joged-joged di depan tv nonton kartun.”
“Oh... Baguslah,” Rio mematikan rokoknya. Lalu berjalan melewati Adinda sambil menyeringai, “Orangtua Iptu Rayhan memang sudah lama mendambakan cucu, sih...” tambahnya.
Adinda menoleh sambil memekik, “Bagaimana kamu tahu?!”
Rio mengangkat tangannya berpamitan, “Rumahku terbuka untukmu kalau mau nitip adik-adik, ya Mamah,” serunya jahil.
**
Rio keluar dari kamarnya dengan berbalut baju koko warna putih dan peci hitam. Ada suara ramai dari lantai bawah. Dari sana ia tahu kalau tamu-tamu sudah datang.
Sambil menghela nafas ia pun berdiri di selasar.
Ia memejamkan mata, menenangkan diri sejenak.
Saat di dalam kamar tadi ia tidak kepikiran, tapi saat keluar kamar dan mencium wangi bunga, ia langsung gugup dan ingat.
Aku akan menikah.
Bukan pernikahan ini yang kubayangkan dulu.
Dalam keadaan yatim piatu, dengan kondisi terburu-buru.
Kalau ditanya, apakah ia yakin dengan pernikahan ini? Tentu saja ia tidak yakin. Ia tidak tahu masa depan.
Tapi kalau ditanya, apakah kau yakin dengan pilihan partner hidupmu? Jawabannya, tergantung.
Tergantung apakah kekasihnya juga memilihnya sebagai partner hidup.
Sebagaimana kita ketahui, yang namanya pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan perempuan. Dari sini saja harus dipahami bahwa harus terjadi komitmen antara keduanya.
Baik Rio atau pun Anggun tentu saja tidak menginginkan adanya pernikahan dengan kondisi terpaksa seperti saat ini. Kalau boleh memilih, menjalani hubungan dengan santai bisa jadi lebih baik.
Tapi kalau disuruh memilih untuk meninggalkan Anggun atau menikahinya, tentu saja Rio memilih menikah.
Perkenalan mereka termasuk singkat. Kurang dari 2 bulan, dengan segala permasalahan yang di luar nalar.
“Rio,” Pak Banyu memanggilnya. Beliau naik ke lantai atas khusus untuk menjemputnya.
“Anggun sudah di bawah,” kata Pak Banyu.
“Ya Om,”
Pak Banyu menghela nafas dan mendekati Rio, lalu menepuk bahunya. “Maafkan saya, harus melibatkan kamu ke dalam permasalahan anak saya,”
Wajah pria 45 tahun itu tampak capek. Tidak bercahaya, tidak bersemangat. Bisa jadi ia sama seperti Rio, tidak berharap pernikahan semacam ini yang terjadi untuk Anggun. Mumpung ada yang mau sama anaknya yang sudah ternoda, ditambah belum sembuh dari trauma dan ketergantungan pada satu orang, sebelum terjadi fitnah lebih baik dinikahkan.
Pak banyu tidak tahu kalau urusan bercinta dengan bebas, Rio sudah cukup pengalaman dalam hal itu.
Atau mungkin Pak Banyu tahu tapi berusaha menutup mata... demi Anggun, anaknya.
Pengorbanan Rio selama ini untuk Anggun, dan kenyataan kalau setelah ditempa dengan hal buruk berkali-kali nyatanya Rio tidak menjauh dari Anggun, membuat Pak Banyu terkesan dengan sosok berandalan ini.
“Kenapa minta maaf, Om? Itu pilihan saya sendiri,” kata Rio.
“Kamu bisa saja berjalan keluar, kami bukan siapa-siapa kamu,”
Rio tersenyum dan menarik nafas panjang, “Ya, saya pernah mencobanya. Tapi tidak ada gunanya. Kaki saya kembali melangkah menghampirinya. Lagi dan lagi...”
“Hm, apa motif kamu sebenarnya. Kamu sudah dapat uang itu. Kamu bisa melanjutkan hidup kamu sendiri, tidak usah terbebani dengan Anggun.”
“Mungkin hampir sama seperti perasaan Om terhadap Anggun. Tidak ada beban, yang ada hanya kewajiban. Lama-lama perasaan memiliki semakin besar. Saya setuju, pernikahan ini harus terjadi lebih cepat...”
Pak Banyu menatap Rio lurus. Ia menyelidik.
“Seperti apa orang tuamu mendidikmu? Kamu bukan berandal biasa...”
Rio hanya bisa mengangguk, “Saya dibesarkan oleh kelembutan seorang ibu yang seorang Schizofrenia sampai usia 7 tahun. Hanya sebentar tapi sangat berbekas. Lalu Bagaimana saya harus memperlakukan wanita, diajarkan oleh ayah. Dia punya banyak pacar... tapi semua diperlakukannya dengan baik. Tapi... bagaimana saya mencintai, dibentuk oleh diri saya sendiri. Disadur dari keadaan ayah yang rutin mengunjungi makam ibu saya setiap bulan, betapa dia sangat mencintai ibu saya...”
Pak Banyu mengangguk mengerti.
“Mari?”
“Ya Om...”
“Panggil saya Papah,”
“Baik Pah.”
**
Kita berdua tidak pernah saling menanti, tidak pernah saling menghampiri. Kita berdua hanya begitu saja bertemu. Cinta datang sendiri, Sayang tumbuh sendiri. Mau lari bertemu kembali, mau diam-diam kabur malah saling menolong.
Begitu manis ketentuan Illahi, menemukan sejoli dalam mahligai rumah tangga.
Kini tergantung MakhlukNya menghadapi ujian. Karena rumah tangga hakikinya sangat berat. Ego manusia sangat mendominasi setiap keputusan. Tapi kalau bisa melewati semuanya, hadiahnya DariNya lebih manis dari rasa cinta di awal. Kalau tidak bisa melewatinya saat ini, yakinlah Tuhan sudah menyiapkan jalan yang lebih baik.
(Septira W, 2023)
**
“Rio,” Anggun mencegah Rio bersalaman dengan Pak Banyu tepat di sesi penting.
“Eh?”
“Aku judes, egois, mau menang sendiri, posesif mungkin saja galak sama anak kita nanti.” Kata Anggun dengan suara bergetar.
Rio mengangkat alisnya menatapnya.
“Bisa-bisa jadi, aku akan menyulut pertengkaran tidak berarti di rumah tangga kita nanti, seperti melarang kamu balapan, atau merokok, atau main game.”
Pak Banyu sampai terkekeh dan duduk bersandar dengan senyum geli di wajahnya.
Rio hanya menatap Anggun, menghadap ke arahnya sambil menyangga dagunya dengan tangan. Begitu lucu Anggun di matanya dalam posisi curhat seperti ini.
“Aku mungkin juga akan menuntut perhatian lebih darimu! Membuatmu kesal, membuatmu kabur dari rumah, dan aku juga nggak bisa masak, nggak bisa bersih-bersih, Parahnya, aku nggak bisa hidup miskin!”
“Hm,” gumam Rio kalem.
“Bagaimana ini? Jangan ham-hem aja dong!” Anggun mengguncang-guncang tubuh Rio.
“Kamu cinta aku?” tanya Rio.
“Iya.”
“Yakin?”
“Tentu!”
“Ya sudah masalah selesai,” Rio membenahi bajunya dan mengulurkan tangan ke Pak Banyu.
Pak Banyu menyambut tangan Rio.
“Saudara Rio Tyaga Bin Guntur Tyaga...”
mewakili netijen