“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saya Suaminya
Di dalam lift, suasana terasa hening. Alan dan Tara berdiri berdampingan dengan posisi tangan Alan yang masih mencekal lengan gadis di sampingnya. Entah ia lupa atau memang enggan untuk melepaskan cekalan itu.
Alan terlihat tegang, sesekali rahangnya terlihat menegang. Ia kembali tidak bisa menahan diri ketika melihat Tara bersama pria lain, meskipun pria itu adalah Rico, orang yang sudah ia percayai selama ini.
Di sisi lain, Tara menahan napas, berusaha untuk tetap tenang, meskipun perasaan gugup mulai merayap. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada pikiran Alan. Apa maksud pria itu menariknya ke dalam lift seperti ini? Bukannya pria itu ingin merahasiakan status mereka? Pikiran itu terus berputar-putar di benak Tara.
Lift meluncur turun dengan lambat, dan setiap detik terasa semakin panjang. Ketika pintu lift akhirnya terbuka, Alan menarik Tara keluar, lalu membawanya menyusuri lorong basement menuju ke tempat mobilnya terparkir.
Beberapa kali Tara berusaha melepaskan lengannya dari cekalan itu, merasa tak nyaman. Namun Alan tetap tidak mengendurkan cengkramannya.
“Pak, lepas.” Tara berusaha meronta. “Ada CCTV, Pak?”
Namun Alan justru lebih menguatkan cengkramannya, bahkan tampaknya tidak perduli dengan keberadaan kamera-kamera itu. Matanya menatap lurus ke depan, sementara telinganya seolah tuli hanya untuk sekedar mendengarkan keluhan Tara.
“Pak, tolong...” Tara berusaha sekali lagi, namun suara Alan yang dingin menghentikan kata-katanya.
“Hanya jika kita telah sampai di mobil.” Itu saja, tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Setibanya mereka di mobil, barulah Alan melepaskan lengan Tara. Ekspresi dinginnya tak berubah sama sekali.
Ia lalu membuka pintu depan mobil, menyuruh gadis itu untuk segera masuk.
“Masuk,” ucap Alan datar, tanpa memberi ruang untuk penolakan.
Tara menatapnya kesal. “Tidak mau,” jawabnya seraya mengusap lengannya yang memerah.
“Masuk kubilang, Tara!” perintah pria itu sekali lagi dengan suara tegas. “Jangan sampai aku memaksamu.”
“Pak, saya mau pulang,” sahut Tara emosi. Ia tidak suka diperlakukan seperti ini, seolah tidak memiliki pilihan.
Alan menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit dibaca. “Saya juga tahu kamu mau pulang. Dan saya akan mengantarmu,” jawabnya tegas, tanpa adanya opsi negosiasi.
“Tidak perlu. Saya naik bus saja,” jawab Tara sebal.
Alan mendengus. “Jangan membantah, Tara. Ini perintah.”
Tara menatap pria itu tajam, emosi di dalam dirinya terasa kian menggelegak. Ia sempat menoleh kiri dan kanan, barangkali ada seseorang yang bisa membantunya keluar dari situasi ini. Tapi nihil. Tak ada seorang pun yang lewat, bahkan security yang berpatroli pun tidak ada.
Tara menghela napas. Ia kembali menatap Alan. “Pak, saya bukan anak kecil. Anda tidak bisa memperlakukan saya seperti ini.”
“Saya tidak perduli. Masuk sekarang, atau aku yang akan melakukannya,” jawab pria itu tak mau berkompromi.
Keduanya saling menatap, suasana di antara mereka terasa kian panas. Tara menahan diri untuk tidak meledak. Ia tahu saat ini Alan tidak ingin mendengarkan apapun selain kata-kata yang pria itu inginkan.
Dengan wajah yang penuh kekesalan, Tara akhirnya masuk ke mobil itu. kakinya sempat menghentak lantai beton tempat ia berdiri.
Alan memperhatikan setiap gerak Tara hingga gadis itu duduk dengan benar di kursinya. Kemudian dengan gerakan sedikit kasar, Alan menutup pintu mobil itu.
Ia lalu berjalan memutar, menuju sisi mobil yang lain, membuka pintu kemudi dan duduk di sana dengan tenang. Ia menatap sekilas pada Tara yang memalingkan muka darinya sebelum menyalakan mesin.
Meski mobil telah melaju meninggalkan basement itu, suasana di dalam kabin tetap terasa mencekam. Keduanya memilih untuk diam, seolah kata-kata tidak mampu lagi mengungkapkan apa yang ada di hati mereka.
Namun seiring berjalannya waktu, Tara tak bisa lagi menahan rasa penasaran sekaligus kekesalannya. Jalan yang dilalui Alan jelas-jelas tidak sedang menuju ke tempat kost-annya.
“Pak, Ini bukan arah ke kost-an,” ujar gadis itu ketus, Ia menatap pada Alan lalu kembali menoleh ke jalanan.
Alan hanya meliriknya sekilas, bibirnya sempat tertarik ke atas meskipun hanya sedikit. “Saya lapar,” jawabnya santai.
Tara langsung melotot. “Lapar?”
Alan mengangguk. “Jadi kita makan dulu sebelum pulang.”
Tara seketika meluruhkan bahu, ia menoleh pada pria itu. “Kalau Bapak lapar kenapa tidak langsung pulang? Kenapa malah mengantar saya?”
Alan tidak langsung merespon. Ia mengerem mobil dan melambatkan laju kendaraannya. “Saya tidak biasa menahan lapar lama-lama, Tara. Saya tidak ingin pingsan di jalan hanya karena menahan lapar.”
Tara memutar bola mata malas, ia lalu menatap ke sekitar dan sedikit terkejut begitu tahu tempat yang saat ini mereka datangi.
“K_kenapa ke sini?” tanyanya heran.
Alan mengangkat bahu santai sambil mematikan mesin begitu mobilnya terparkir. “Tempat ini sepertinya enak, cocok dengan apa yang saya inginkan,” jawabnya santai. Ia lalu menatap Tara. “Kenapa? Apa kamu pernah ke sini sebelumnya?”
Tara menelan ludah, “T_tidak... Tidak pernah,” jawab gadis itu gugup. Ia buru-buru mengalihkan tatapannya dari Alan yang seolah tengah mencari kebenaran di wajahnya.
Alan menyeringai menatapnya, “Dasar pembohong kecil,” gumamnya dalam hati. Tak mungkin juga dia menyangkal dan menuduh gadis itu berbohong, bisa ketahuan kalau dia pernah menguntit Tara dan Dirga hingga ke tempat ini. Mau dikemanakan harga dirinya yang setinggi langit itu.
Alan lalu membuka pintu dan keluar, sebelum menutup pintunya kembali pria itu sempat melongok ke dalam. “Ayo turun.”
Tara melengos, seolah tak perduli dengan ajakan pria itu.
Alan mencebik santai kemudian menegakkan tubuhnya kembali dan menutup pintu mobil itu. Kemudian ia berjalan seorang diri menghampiri gerobak bakso yang sama dengan Tara waktu itu.
Sementara itu di dalam mobil, Tara hanya bisa menghela napas sembari menatap Alan yang kini sedang berinteraksi dengan si penjual bakso. Sesaat kemudian, pria itu duduk di bangku panjang, bangku yang sama tempat ia dan Dirga duduk waktu itu.
Beberapa saat kemudian, si penjual bakso tampak menyajikan seporsi bakso beserta satu gelas es teh manis di bangku Alan.
Tara masih memperhatikan dari dalam mobil saat Alan menuang saos dan juga sambal ke dalam mangkuknya. Tara sempat histeris sendiri di dalam mobil ketika melihat Alan menuang beberapa sendok sambal ke dalam mangkuknya.
“Astaga, dia gila atau apa?” Tara sampai menutup mulut melihat hal itu. Tanpa berpikir panjang, gadis itupun bergegas membuka pintu dan turun, lalu melangkah dengan cepat menghampiri Alan yang kini tampak mulai menyendok makanannya.
“Pak Alan, jangan...!” seru Tara jarak beberapa langkah dari Alan. Namun terlambat karena suapan pertama Alan telah berhasil masuk ke dalam mulutnya.
Teriakan Tara itu tentu saja langsung membuat Alan menoleh, begitu juga dengan si penjual bakso dan beberapa pelanggan yang duduk di sekitar Alan.
Begitu tiba di bangku Alan, Tara buru-buru menyingkirkan mangkuk bakso milik pria itu.
“Tara, apa yang kamu...” Alan yang hendak memprotes apa yang dilakukan Tara itu tidak melanjutkan ucapannya manakala Tara menatap tajam padanya.
“Dokter kan sudah bilang, kamu tidak boleh makan terlalu pedas?” ujar Tara kesal, mengingatkan Alan akan pesan mantri desa yang memeriksa Alan waktu itu. “Sudah tahu punya masalah asam lambung, masih saja ngeyel.”
Alan sempat terpaku sejenak, sebelum akhirnya sudut bibirnya sedikit terangkat. “Wah... kau perhatian sekali, ya,” ujarnya santai. “Masalah kesehatanku pun kau tahu dengan sangat baik.”
Tara menjadi kikuk, untuk apa juga dia harus ingat dan sok perhatian seperti itu. Ia sungguh sangat menyesal sekarang.
“Aww...” tiba-tiba Alan meringis sembari memegangi perutnya, membuat Tara refleks menunjukkan kepanikannya.
“P_Pak Alan kenapa?” tanyanya cemas, ingin menyentuh pria itu tapi enggan.
“Perutku, Ra...” Alan menjulurkan satu tangan, berpegangan pada lengan Tara, membuat gadis itu semakin panik. “Aww... sakit sekali, Ra.”
Dalam kebingungan Tara segera minta air putih pada si penjual, “P_pak, tolong minta air putih. Kalau ada yang hangat.” Seru gadis itu panik
Tara lalu membantu Alan agar kembali duduk, lalu di usap-usapnya bahu pria itu dengan lembut.
Tak lama kemudian Si penjual bakso datang dengan membawa segelas air dan langsung ia sodorkan pada Tara.
“Ini, Neng.”
Tara mengambil gelas itu dan langsung menyodorkannya pada Alan yang masih meringis kesakitan. “Minum dulu, Pak.”
Alan menerima gelas itu dan langsung meneguk isinya. Samar terdengar suara Tara yang memintanya meneguk pelan-pelan.
“Terima kasih,” ujar Alan sembari memberikan gelas yang hampir tandas isinya itu kembali pada Tara.
Tara menaruhnya ke atas bangku, ia lalu kembali mengusap punggung Alan, “Apa masih sakit? Bagaimana kalau ke dokter saja?”
Alan menggeleng, “Tidak usah, sebentar juga baikan,” sahut pria itu menunduk.
“Yang benar?” tanya Tara lagi memastikan, dan Alan pun langsung mengangguk.
“Duduklah, “Pinta Alan menepuk sisi kiri bangkunya.
Meski sempat ragu, tapi Tara akhirnya menurut.
Ia duduk tepat di sebelah Alan, nyaris tanpa jarak.
Ketika Alan akhirnya merebahkan kepala di pundaknya, Tara tak sanggup menolak. Ia hanya memejamkan mata sebentar, menahan gejolak di dadanya.
“Neng yang kemarin makan di sini, kan?” tiba-tiba terdengar celetukan dari si penjual bakso yang tengah membereskan mangkuk di salah satu meja di dekat Alan.
Tara menoleh dan mengangguk kecil, “I_iya, pak.”
Tatapan pria paruh baya itu lalu beralih pada Alan. Dahinya mengerut. “Saya pikir, suami neng pria yang kemarin.”
Seketika Tara melebarkan mata, “B_bukan, Pak. Saya...”
“Saya suaminya, Pak.”
Refleks Tara menoleh.