Putri Huang Jiayu putri dari kekaisaran Du Huang yang berjuang untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah membunuh keluarganya dengan keji.
Dia harus melindungi adik laki-lakinya Putra Mahkota Huang Jing agar tetap hidup, kehidupan keras yang dia jalani bersama sang adik ketika dalam pelarian membuatnya menjadi wanita kuat yang tidak bisa dianggap remeh.
Bagaimana kelanjutan perjuangan putri Huang Jiayu untuk membalas dendam, yuk ikuti terus kisah lika-liku kehidupan Putri Huang Jiayu.
🌹Hai.. hai.. mami hadir lagi dengan karya baru.
ini bukan cerita sejarah, ini hanya cerita HALU
SEMOGA SUKA ALURNYA..
JIKA TIDAK SUKA SILAHKAN DI SKIP.
JANGAN MENINGGALKAN KOMENTAR HUJATAN, KARENA AUTHOR HANYA MANUSIA BIASA YANG BANYAK SALAH.
HAPPY READING...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KANTONG YANG RAIB, HATI YANG TERENYUH
Dua jiwa terbuang, dalam desa yang ramai,
Sejuta rasa baru menyapa,
Di bumi yang asing nan merdeka,
Sebuah kantong raib, membawa duka.
Namun pertemuan tercipta,
Bagai sutra yang terjalin rapi,
Air mata yatim piatu, mengalir pilu,
Menautkan takdir, membuka jalan yang baru.
🍓🍓—≫∘❀Di Gubuk Reyot❀∘≪—🍓🍓
Sinar matahari siang menyirami Desa Longan dengan kehangatan keemasan, menari-nari di antara celah-celah daun dan menyentuh kulit dengan lembut. Namun, di sebuah rumah kecil yang sederhana, udara terasa berat dan manis sekaligus. Aroma terakhir makanan yang baru saja mereka santap masih menggantung, bercampur dengan kesedihan yang mulai merayap.
Sia, dengan matanya yang berbinar penuh tekad, merapikan jubah sederhananya. "Jiayu, ayo bersiap. Perjalanan ke rumah keluargaku masih jauh," ujarnya, suaranya lembut namun mengandung ketegasan baja yang biasa tersembunyi di balik senyumannya.
Dia kemudian berbalik kepada sekumpulan anak-anak yang berdiri dengan wajah sendu. "Yu Wei, Yan Rui," panggilnya pada dua anak lelaki yang paling besar, mencoba meniru nada tegas Nyonya Chu. "Kalian jaga adik-adik kalian. Dan ingat," dia menunjuk jarinya ke arah mereka, matanya menyipit berusaha terlihat galak, " Tidak boleh mencuri lagi di manapun! Jie-jie berjanji akan kembali ke sini dengan membawa gunungan makanan!"
Janji itu, yang seharusnya menghibur, justru memecah bendungan pertahanan si bungsu. Min Hwa, gadis kecil dengan dua kuncir yang sudah agak kusut, mendongak.
Matanya, sebesar kancing baju, sudah berkaca-kaca. "Sia jie-jie, jangan pergi… hiks…" rayunya, suara kecilnya pecah bagai kristal, dan akhirnya, butiran air mata jernih meluncur deras ke pipinya yang kemerahan.
Sia dan Jiayu langsung hancur. Jiayu, yang biasanya lebih kalem, langsung berjongkok dan menyeka air mata Min Hwa dengan ujung lengannya. "Jangan menangis, sayang. Nanti pipimu jadi asin," bisiknya, dia berusaha bercanda namun suaranya bergetar.
Sia merengkuh tubuh mungil Min Hwa, memeluknya erat, seolah ingin menanamkan kehangatannya. "Min Hwa, sayang, jie-jie pasti kembali. Kamu dan semua jie-jie dan ge-ge di sini harus sabar menunggu. Percayalah pada Sia-jie." Pelukan itu terasa akrab, seolah mereka telah berbagi hidup selama bertahun-tahun, bukan hanya empat hari yang penuh warna.
Dan dalam keheningan pelukan itu, pikiran Sia melayang mundur, ke pertemuan pertama mereka yang kacau dan penuh ironi.
🍎🍎—≫∘❀Empat Hari Yang Lalu❀∘≪—🍎🍎
Kedua kaki Sia seolah memiliki sayap. Baru saja berhasil melarikan diri dari sangkar emas kediamannya, setiap helai napasnya di Desa Longan terasa begitu bebas dan membakar. Dia seperti kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong, terbang kesana kemari mengejar setiap keriangan.
Pasar Longan ramai dan semrawut, dipenuhi teriakan pedagang, tawa anak-anak, dan aroma sedap yang menari-nari di udara. Aroma bawang goreng, daging panggang, dan rempah-rempah manis memenuhi indra penciumannya.
Sia, berjalan kesana kemari dengan kantong uang yang gemuk diselipkan di ikat pinggang, dengan cerobohnya dia menyusuri setiap lapak, matanya berbinar melihat semua barang yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
"Bakpao! Bakpao panas dan lembut!" teriak seorang pedagang.
Sia mendekat, air liurnya nyaris menetes. "Beri saya tiga, Paman!" ujarnya riang. Dia juga memesan dua mangkok bola-bola sapi berkuah dan dua mangkok kaki ayam bumbu pedas yang membuat matanya berair. Dia menyantapnya dengan lahap, jari-jemarinya lengket oleh kuah manis.
Tangannya yang mungil meraba-raba sabuknya, mencari kantong uang kulit yang selalu digantungkan di sana. Senyumnya pudar seketika. Matanya membelalak,
"Hah! Kemana kantong uangku?" desisnya panik. Dia menunduk, memindai tanah yang becek, berharap melihat kantong itu terjatuh. Nihil.
Dia menatap penjual makanan yang sebelumnya ramah, wajahnya memerah. "Paman, maaf… saya… uang saya hilang. Saya tidak bisa membayar makanannya," ucapnya lesu, perutnya yang kenyang tiba-tiba terasa bergejolak dengan rasa malunya.
Wajah sang pedagang berubah bagai langit mendung. "Tidak bisa! Kau sudah makan, kau harus bayar! Aku tidak mau rugi!" hardiknya, suaranya menggelegar memecah kesenangan di sekitar mereka.
"Tapi saya benar-benar tidak punya uang, Paman. Maafkan saya kali ini saja," pinta Sia, suaranya kecil. Beberapa orang mulai berkerumun, menatapnya dengan pandangan menghakimi. Sia merasa sangat kecil.
Tiba-tiba, sebuah suara mengalun bagai melodi, jernih dan penuh wibawa, memotong ketegangan. "Berapa harga yang harus dia bayar? Biar aku yang tanggung."
Semua kepala menoleh. Seorang wanita dengan gaun sutra berwarna hijau tua, rambutnya disanggul rapi, dan tatapannya tenang namun tajam, berdiri di sana. Aura kekayaannya terpancar jelas.
"Ah, Nyonya Chu!" ucap pedagang itu, serta-merta berubah sikap, membungkuk hormat. "Anda tidak perlu repot-repot. Gadis ini mungkin hanya penipu ulung."
Nyonya Chu hanya mengangkat alisnya sedikit. "Jika dia penipu, biar aku yang menanggung resikonya. Sekarang, berapa totalnya?" ujarnya, nada datarnya tidak meninggalkan ruang untuk bantahan.
Pedagang itu segera menghitung dengan cepat. "Dua mangkok bola sapi, tiga bakpao, dua mangkok kaki ayam… total dua puluh lima keping koin, Nyonya."
Nyonya Chu mengangguk. Seorang pelayan pribadi dengan sigap mengeluarkan sekantong kecil uang. Nyonya Chu mengambil segenggam dan memberikannya kepada pedagang. "Ini, untuk makanan dan kerugian batinmu, Ambil semuanya."
Pedagang itu berseri-seri, berulang kali membungkuk. Sia hanya bisa terpana.
"Terima kasih, Nyonya! Saya—" Sia mulai berbicara, tetapi Nyonya Chu sudah memotongnya.
"Jika kau hanya ingin berterima kasih dengan kata-kata, lebih baik kau diam. Jika niatmu tulus, ganti uangku dengan bekerja. Aku tidak percaya pada janji kosong." Tanpa menunggu balasan, Nyonya Chu berbalik dan berjalan dengan langkah cepat dan elegan, diikuti pelayannya.
"Tunggu, Nyonya!" teriak Sia, buru-buru menyusul. "Saya… saya baru tiba hari ini. Saya tidak tahu di mana harus mencari pekerjaan!"
Nyonya Chu berhenti mendadak. Sia, yang terlalu bersemangat, nyaris menabrak punggung sang nyonya. "Hampir saja!" batinnya.
Tanpa menoleh, Nyonya Chu berkata, "Ikut aku! Aku punya pekerjaan untukmu."
Mereka berjalan menyusuri pasar hingga tiba di sebuah toko pakaian yang megah. Wangi kayu cendana dan sutra halus menyambut mereka. "Ganti pakaianmu dengan yang di dalam. Lalu, berdirilah di sana," perintah Nyonya Chu, menunjuk sebuah podium kecil di tengah ruangan.
Sia, bingung tetapi dia tetap patuh, mengenakan baju khas kekaisaran Long Bao, namun yang ada di toko tersebut lebih menunjukkan lekuk tubuh si pemakai. Dan selama berjam-jam berikutnya, dia berdiri kaku bagai patung, menjadi manekin hidup. Kakinya pegal, lengannya kram, tetapi dia tak berani bergerak. Tak berselang lama ada beberapa nona muda datang untuk melihat-lihat, ada yang membeli beberapa dan ada juga hanya sekedar cuci mata.
Saat matahari mulai tenggelam, Nyonya Chu akhirnya mendatanginya. "Sudah cukup, Kemarilah!" Di tangannya, ada kantong uang yang familiar—kantong yang sama yang digunakan untuk membayar pedagang makanan.
"Untuk… untuk saya?" tanya Sia, tidak percaya.
"Kau pikir aku mengupahmu dengan senyuman?" jawab Nyonya Chu kering. " Ambil! Kau mau atau tidak?"
Sia dengan cepat menyambutnya, merasakan beratnya yang melegakan. "Terima kasih, Nyonya! Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Anda!" dia membungkuk dalam-dalam.
Nyonya Chu hanya melambai, mengusirnya. Saat Sia hampir keluar, sang nyonya berbicara lagi, suaranya lebih rendah. "Jika kau penasaran dengan kantongmu yang hilang pagi tadi, cobalah mencari di daerah paling kumuh di pojok pasar. Kau mungkin akan menemukan jawabannya di sana."
Dengan hati berdebar-debar, bukan karena takut, tetapi karena penasaran, Sia bergegas menuju tempat yang dimaksud. Jalannya sempit, becek, dan udara di sini terasa pengap dan berbau anyir. Dia menyusuri gang-gang gelap, dengan waspada.
Brukk!
Seorang anak kecil,dengan baju compang-camping, menabraknya dan terjatuh. Tanpa pikir panjang, Sia membantu si anak berdiri. "Hati-hati, sayang," ujarnya.
Si anak mengangguk cepat, lalu berlari. Tetapi sesuatu terasa aneh. Tangan Sia refleks meraba sabuknya, kantong pemberian Nyonya Chu raib.
"Hah! hilang lagi? jangan-jangan—"
Dia menoleh. Anak kecil itu sudah hampir menghilang di tikungan. "Hei! Tunggu!" teriak Sia, mengejarnya. Dia berhasil menangkap lengan kecil anak itu. Dan benar, kantong uang itu tergenggam di tangan mungilnya yang kotor.
"Pencuri kecil! Jangan-jangan kamu juga yang mengambil kantongku pagi tadi!" tuduh Sia, tanpa sengaja menatapnya dengan tatapan tajam.
Anak itu, ketakutan, wajahnya merah dan kemudian… Hwaaaaaa! Tangisnya memecah kesunyian gang.
Sia panik. "Duh, jangan nangis! Sudah, sudah! Ayo, jie-jie antar kamu pulang. Di mana rumahmu?"
Anak itu, sambil terisak, melihatnya sebentar, lalu berlari. Sia mengikutinya dari belakang, sampai akhirnya anak itu menghilang ke dalam kegelapan.
.
.
🌹Hai...hai...Sayangnya Mami🥰🥰
Kemanakah anak kecil itu pergi?
Bisakah Sia menemukannya?
Ikuti terus kelanjutan Cerita Yaaa.
JANGAN LUPA KASIH LIKE & KOMEN, VOTE SERTA HADIAH JUGA YAAA
TERIMA KASIH SAYANGKU 🥰🥰