Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sentuhan Familiar
Kelopak mata Yuer terasa berat saat ia perlahan membuka matanya. Aroma kayu cendana samar menguar, hangat dan asing, membuat napasnya tercekat. Bukan bau lembap batu dan karat sel.
Pandangannya yang sebelumnya buram kini perlahan menyesuaikan dan hatinya langsung mencelos. Ia tidak lagi berada di lantai dingin penjara bawah tanah. Sekarang, ia terbaring di ranjang lebar dengan sprei hitam pekat, tirai tipis bergoyang perlahan diterpa angin dari jendela.
Di kursi di dekat ranjang, Zeyan duduk condong ke depan, kedua sikunya bertumpu di lutut, jemarinya terjalin erat seakan menahan diri. Mata gelapnya menatap Yuer tanpa berkedip . Bukan sekadar menatap, tapi mengawasi setiap tarikan napasnya. Ada bayangan lelah di sana, dan ketegangan yang membuat rahangnya mengeras.
Begitu Yuer membuka mata sepenuhnya, Zeyan langsung berdiri. Langkahnya cepat namun terkendali, seolah menahan dorongan untuk langsung memeluk atau mengguncang Yuer agar sadar.
"Wen Yuer" suaranya terdengar rendah, namun kali ini ada sedikit tarikan napas lega di sela katanya. "Kau baik-baik saja?"
Jantung Yuer berdentum kencang. Ia belum memutuskan mana yang lebih membuatnya gugup, fakta dia berada di atas ranjang Zeyan atau intensitas tatapan pria yang kini hanya berjarak sejengkal darinya.
Kemudian ingatannya terbang pada kejadian yang ia alami sebelumnya. Informasi baru yang ia dapat. Lebih banyak tentangnya, tetapi juga ia tidak bisa mengabaikan fakta tentang dirinya dan juga Zeyan pernah bertemu jauh sebelum pertemuan mereka di hutan.
Yuer tersentak saat telapak tangan Zeyan menyentuh wajahnya.
"Kelompok itu, mereka mengincarmu, bukan Mingyue." Ucap Zeyan yang entah mengapa itu tidak membuat Yuer terkejut ataupun takut.
Yang terpenting sekarang dia sudah dibebaskan dari tuduhan. Namun, entah mengapa tubuhnya terasa lemas sekali dan juga lengket. Ia hanya memberi anggukan kecil sebelum akhirnya melepaskan tangan Zeyan dari wajahnya. Lalu, ia menyibakkan selimut namun Zeyan menahannya.
Sepertinya dia butuh mandi untuk mengembalikan kesegaran tubuhnya.
"Kau mau kemana?"
"Aku butuh mandi, Zeyan."
hanya senyum lebar yang membuat matanya sedikit menyipit. "Kalau begitu," ujarnya santai, "kau bisa mandi di pemandian pribadiku."
"Tidak, aku—"
"Wen Yuer,"
Yuer menatap Zeyan yang memberi tatapan tajam. Tak mau berdebat, gadis itu menghembuskan nafasnya. Zeyan mencondongkan tubuh sedikit sebelum mengangkat Yuer dari ranjang.
Tetapi, aneh, tubuhnya terasa hangat. Bukan hanya karena dekapan Zeyan yang kokoh, tapi seolah setiap denyut nadinya menemukan irama baru. Rasa pegal yang sejak tadi membebani persendiannya mulai mereda, napasnya pun terasa lebih ringan.
Ia sempat memejamkan mata, hanya sebentar dan hampir mengira ini hanyalah sugesti. Namun, semakin lama ia berada di pelukan Zeyan, semakin kuat perasaan itu, seperti aliran hangat yang menyapu seluruh tubuhnya.
"Wajahmu memerah," komentar Zeyan tanpa menghentikan langkahnya.
Yuer buru-buru menggeleng. "Itu karena aku lelah."
Senyum tipis muncul di sudut bibir Zeyan. "Kalau begitu, kau butuh mandi herbal."
Yuer ingin membalas, tapi tubuhnya malah terasa semakin ringan, seolah setiap napas yang ia ambil menghapus rasa letih yang tadi. Ia hanya bisa diam, memandangi garis rahang Zeyan dari jarak sedekat ini, sembari dalam hati bertanya-tanya kenapa sentuhan pria ini bisa membuatnya merasa sembuh?
...
Uap tipis mengepul di udara, bercampur wangi daun kering dan kelopak bunga yang mengambang di atas permukaan air. Di tepi bak pemandian batu, seorang pelayan tengah menaburkan herbal berwarna hijau, daun qinghua, dan serpihan kulit kayu yang mengeluarkan aroma menenangkan.
Yuer berdiri tak jauh dari bak, punggungnya membelakangi para pelayan. Jubah luar berwarna biru lembut sudah dilepas, terlipat rapi di atas meja rendah. Yang tersisa hanyalah lapisan pakaian dalam tipis berwarna putih pucat, membentuk siluet halus tubuhnya di balik kain. Di atasnya, ia mengenakan jubah mandi tipis yang longgar, terbuat dari sutra tipis berwarna gading, talinya hanya diikat sekali di pinggang.
Seorang pelayan mendekat, berbisik sopan, "Nona, air sudah siap."
Yuer hanya mengangguk, jemarinya terulur untuk merapikan ikatan tipis di pinggang, seolah bersiap untuk masuk ke dalam air. Zeyan sudah keluar beberapa saat yang lalu, tapi jejak kehangatannya seperti masih tertinggal di udara.
Perlahan Yuer melangkah masuk ke dalam air. Begitu hangatnya air menyentuh kulitnya, Yuer memejamkan mata. Kehangatan itu merayap, melonggarkan otot-ototnya yang tegang. Namun, di sela rasa nyaman tersebut tubuhnya masih mengingat sensasi tadi, sensasi yang hanya muncul saat Zeyan menyentuhnya.
Gadis itu menggeleng, sadar bahwa dia seharusnya tidak memikirkan Zeyan seperti itu.
Ingatannya melayang pada ucapan roh ibunya Zeyan yang masih bergema di pikirannya, tentang klan Suihua, tentang dirinya yang bukan sekadar keturunan biasa, tapi pilihan roh kekuatan itu sendiri.
"Pemimpin klan Suihua bukan dipilih melalui warisan darah, melainkan sebuah takdir yang dipilih oleh Huiyan sendiri. Roh spirit Huiyan telah memilihmu sejak kau masih bayi."
"Ibumu menyembunyikan rahasia ini untuk melindungimu. Energi kekuatanmu yang besar harus tersembunyi agar kau tidak menjadi sasaran mereka yang takut dan iri. Ibumu menekan energimu hingga itu melemahkannya dan dengan dia yang tidak bisa lagi menekan energimu, energi itu perlahan melepaskan diri dari segel yang dibuat ibumu, bertambah besar setiap hari bertambahnya usiamu. Aku bisa menunjukkan diri di hadapanmu karena energimu yang menarikku, Yuer. Sekarang, segel itu sepenuhnya hilang dan kini kau dan kini kau dan Energi Huiyan menjadi kesatuan utuh. Dan tugasmu adalah membantumu mengontrolnya..."
Suara pintu kayu berderit membuatnya membuka mata.
"Zeyan?" alisnya terangkat, sedikit terkejut melihat sosok tinggi itu masuk begitu saja, tanpa tergesa, seolah ruangan ini memang miliknya.
"Apa yang kau—keluar." nada Yuer terdengar datar tapi ada sedikit gemetar yang tak ia sadari.
Zeyan tidak menjawab. Ia hanya melepas lapisan luar jubahnya, menyisakan pakaian dalam tipis, lalu melangkah menuju bak. Air bergolak ringan saat ia masuk, berhadapan dengan Yuer.
"Zeyan, aku tidak—"
"Aku bahkan tidak tahan untuk tidak melihatmu dan menunggumu selesai,"potongnya pelan. Suaranya rendah, tapi nadanya memaksa. "Biarkan aku di sini."
Yuer mendengus. "Ini tidak pantas."
Zeyan tersenyum tipis, bergerak mendekat. Jemarinya menyibak helaian rambut basah Yuer yang menempel di pipi, menyelipkannya ke belakang telinga.
"Apa yang tidak pantas?" ucapnya sambil menatap lekat wajah Yuer, seperti hendak menghafal setiap detailnya.
Yuer menunduk, namun Zeyan maju sedikit seolah mengejar matanya untuk tetap menatapnya.
"Aku benci ketika kau memalingkan wajahmu dariku," gumamnya, suaranya semakin rendah, nyaris seperti rahasia. "Seolah ada orang lain yang pantas mendapat tatapanmu selain aku."
Bibir Zeyan mendekat, singgah di pelipisnya. Sentuhan itu lembut, tapi cukup untuk membuat napas Yuer tercekat. Degup jantungnya memukul-mukul dadanya, dan seolah panas air tak lagi datang dari herbal, melainkan dari darah yang berdesir di seluruh tubuhnya.
Tanpa ia sadari, napasnya menjadi pendek. Ada jeda di antara setiap tarikan napas, seakan tubuhnya berusaha mengimbangi setiap kali bibir Zeyan berpindah, turun ke lekuk lembut di lehernya. Kulitnya merinding bukan karena dingin, tapi karena rasa yang asing dan terlalu akrab sekaligus.
"Zeyan—"
"Shh..." Zeyan menenangkan, ibu jarinya yang mencengkram bahunya mengusapnya lembut. "Kau bahkan tidak tahu betapa sulitnya bagiku menahan diri setiap kali melihatmu."
Yuer ingin mendorongnya. Tapi sensasi ringan yang hanya muncul saat Zeyan menyentuhnya datang lagi, membuat kekuatan di tangannya menguap. Ia memejamkan mata, membiarkan sentuhan itu bertahan sedikit lebih lama meski jantungnya seperti seolah dia sedang berlarian.
Zeyan masih mencium lehernya, perlahan seperti menghafal setiap inci kulitnya. Bibirnya bergerak pelan, seolah takut merusak momen, namun tetap cukup tegas untuk meninggalkan jejak hangat yang membakar. merinding.
Jari-jari Zeyan menelusuri garis lengan Yuer di bawah air, sentuhannya ringan tapi penuh kepemilikan. Ia sedikit memiringkan kepala Yuer, memberi dirinya ruang lebih untuk menyusuri kulit di belakang telinganya.
Sesekali napas hangatnya menyapu kulit Yuer, mengirim sensasi baru yang aneh dan Yuer tahu dia menikmatinya. Hingga akhirnya, tanpa ia mengerti alasannya, sudut matanya terasa hangat. Setetes air mata jatuh.
Zeyan terhenti. Mata gelapnya membulat sedikit saat melihat kilau basah di pipi Yuer. Dengan hati-hati, ia mengangkat tangan untuk mengusapnya.
"Wen Yuer, apa aku menyakitimu?" suaranya terdengar rendah, hampir seperti takut mendengar jawabannya.
Diluar dugaan Yuer sendiri, Yuer menggeleng, bibirnya bergetar tapi ia tak sanggup berkata apa-apa. Zeyan mengembuskan napas pelan, lalu menangkup wajah Yuer dengan kedua tangannya. Ada rasa bersalah yang jelas di matanya.
"Maafkan aku, Yuer. Aku akan pergi, ya?"
Namun sebelum ia sempat mundur, Yuer justru memeluknya erat. Gerakan yang tiba-tiba itu membuat Zeyan membeku sesaat, tapi kemudian ia membalas pelukan itu tanpa bertanya apa-apa. Tangannya melingkari pinggang Yuer, menahan seolah takut jika ia melepaskannya, Yuer akan menghilang.
Suara Zeyan terdengar lembut di telinganya. "Lain waktu, jika aku kelewat batas atau kehilangan kendali, pukul saja."
Itu bukan kalimat yang biasa Zeyan katakan. Pria itu bahkan meminta maaf. Kemudian itu membawa Yuer pada kesimpulan bahwa sesuatu di antara mereka sedikit berubah.
Yuer tak tahu pasti apa yang membuat air matanya jatuh. Mungkin karena debar yang terlalu kencang, atau rasa aman yang anehnya muncul di tengah semua kegugupan itu. Ia tidak ingin Zeyan melangkah lebih jauh tapi ia juga tidak ingin melepaskan kehangatannya.
Sensasi itu membingungkan, seperti berada di antara ketakutan dan kerinduan, namun keduanya entah kenapa menyatu saat Zeyan ada di sana.
ini pertama kali aku baca cerita kolosal china version indo jadi terasa excitednya gituu 🙈
tapi kasian yuerkuhhh