NovelToon NovelToon
Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Status: sedang berlangsung
Genre:Si Mujur / Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Cinta Murni
Popularitas:111
Nilai: 5
Nama Author: Dagelan

Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.

Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”

Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.

Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.

Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Cowok Berbahaya

Sepulang sekolah, aku ambil jalan memutar lewat taman belakang. Rute ini sudah teruji klinis sebagai jalur aman dari Cakra dan antek-anteknya: menyusuri lapangan kosong, membelok di bawah pohon flamboyan yang lagi rajin merontokkan bunga, lalu menembus jalan kecil di belakang kantin. Bebas drama, minim interaksi tidak diinginkan.

Tapi, ya, semesta memang hobi banget bikin kejutan—yang sayangnya, selalu terasa seperti jebakan Batman.

Baru saja aku muncul dari balik rimbunnya pohon flamboyan, sosok itu sudah bertengger manis di bangku taman—bangku yang biasanya jadi saksi bisu curhatan anak-anak yang baru sadar nilai ujiannya lebih pedih dari kenyataan.

Cakra Adinata Putra.

Dengan headphone bertengger di lehernya—aksesori wajib anak muda yang mencoba terlihat keren—kemeja putih yang lengannya digulung asal, tapi entah kenapa tetap terlihat seperti adegan iklan parfum mahal. Ekspresinya? Tenang, seolah hidupnya bebas dari beban cicilan atau tugas kelompok yang selalu jadi beban moral.

Aku membeku beberapa langkah dari bangku itu, berharap dia belum menyadari kehadiranku. Tapi, tentu saja, Cakra punya radar khusus untuk mendeteksi keberadaan orang yang berusaha menghindarinya. Cowok itu mengangkat kepala, menyunggingkan senyum—yang entah kenapa selalu mengingatkanku pada iklan teh manis di televisi—lalu melambai pelan.

“Gue nggak ngikutin lo, sumpah. Ini kebetulan,” katanya, dengan nada meyakinkan yang justru membuatku semakin curiga.

Kebetulan?

Ya, kebetulan sekali dia nongkrong di rute pelarianku, dengan timing seakurat jam atom dan gaya slow motion ala film India segala.

“Ya, kebetulan lo nongkrong di jalur orang yang pengen kabur,” sahutku datar, berusaha menyembunyikan nada sarkas yang sudah jadi makanan sehari-hari. Aku melangkah melewatinya, pura-pura tidak tertarik.

Dia terkekeh pelan, nadanya enteng seperti kapas yang tertiup angin. “Insting gue kuat sih. Biasanya, kalau gue ngerasa pengen ketemu seseorang, eh, orangnya langsung muncul.”

“Lo tuh kayak Wi-Fi publik, Cakra. Muncul di mana-mana dan suka nyambung tanpa izin.”

Tawanya meledak—lebih keras dari yang seharusnya. Aku hanya bisa menghela napas pasrah, lalu menghempaskan diri di ujung bangku, menjaga jarak aman sekitar satu meter lebih.

“Aduh, Kayyisa, relax dikit, napa? Gue nggak bakal gigit, kok.”

“Ya, tapi lo bisa bikin hidup gue digigit gosip,” balasku, tanpa bisa menyembunyikan nada kesal.

Cakra menoleh, senyumnya menipis, tapi matanya—aku bersumpah—seperti sedang mencari sesuatu. “Gue cuma pengen ngobrol. Biar hubungan pura-pura kita kelihatan wajar. Latihan dikit, lah.”

Aku memutar bola mata. “Cak, lo ngerti arti kata lowkey nggak, sih? Itu tuh artinya diam, nggak heboh, nggak—”

“—nggak terlalu terang?” potongnya, dengan nada bercanda yang—harus kuakui—cukup menghibur. “Sayangnya, itu nggak ada di setting-an gue.”

Aku melirik ke arahnya, agak lama tuh kan bener apa yang aku pikirin bener. Dan, entah kenapa, baru kali ini aku benar-benar memperhatikan Cakra lebih dari sekadar label “pangeran sekolah” yang melekat padanya.

Cakra memang populer, tapi bukan tipe yang sengaja mencari perhatian. Dia tidak berisik, tidak sok akrab, bahkan jarang terlihat nongkrong dengan gerombolan teman-temannya. Mungkin, justru karena itulah orang-orang semakin penasaran. Dia terlalu tenang untuk ukuran anak yang punya daya tarik setingkat bintang film.

Tapi, buatku?

Ya, dia cuma Cakra.

Cowok yang kebetulan punya wajah “mahal” dan selera humor aneh.

“Lo tuh aneh,” kataku tiba-tiba, tanpa bisa menahan diri.

Dia menatapku, alisnya terangkat sedikit. “Aneh gimana?”

“Ya, lo tuh kayak orang yang tahu semua hal, tapi pura-pura nggak peduli. Kayak lo ngerti semua reaksi orang, tapi masih aja ngelakuin hal yang bikin masalah.”

Cakra terlihat menyeringai. “Kedengarannya kayak lo lagi ngejelasin diri lo sendiri.”

Aku mendecak. “Bedanya, gue nggak punya fans club.”

Dia bersandar di bangku, memiringkan kepalanya sedikit ke arahku. Sorot matanya—entah kenapa—terlihat lebih serius dari biasanya. “Fans bukan berarti ngerti. Kadang, orang cuma suka lihat luarnya aja.”

Nada suaranya pelan, sangat berbeda dari Cakra yang biasa kukenal. Aku sempat menatapnya—lebih lama dari yang seharusnya. Dan jujur, di momen itu, Cakra tidak terlihat seperti ‘pangeran sekolah’ yang selalu dipuja-puja. Dia hanya... cowok biasa. Yang mungkin, sama sepertiku, merasa lelah karena harus selalu memasang topeng di depan orang lain.

“Kadang gue mikir,” lanjutnya, suaranya hampir berbisik. “Gimana rasanya jadi orang biasa aja. Nggak perlu jaga image, nggak perlu senyum ke semua orang, bisa pacaran tanpa dikejar-kejar paparazzi.”

Aku terdiam. Kata-katanya—entah kenapa—terdengar sangat tulus. Tapi, tentu saja, otak sarkasku tidak mau kalah. “Wah, dalem banget. Lo latihan ngomong gitu di depan kaca, ya?”

Cakra langsung tertawa. “Ketahuan, ya?”

“Banget. Tinggal kurang musik sendu di background nanti pasti viral.” Yaaa—garing Cakra nggak ketawa dia malah menatapku lagi, kali ini dengan tatapan yang merupakan campuran antara geli dan penasaran. “Lo tahu nggak, Sa? Lo satu-satunya orang yang bisa ngomong ke gue tanpa filter.”

Aku menyeringai. “Karena gue nggak perlu bikin lo suka.”

“Lucunya, itu justru bikin gue pengen dengerin lo terus.”

Dan di situ—jantungku melakukan hal yang sangat tidak profesional: berdetak terlalu cepat. Aku buru-buru berdiri, berusaha mengendalikan diri.

“Oke, stop di situ. Dialog lo barusan tuh kayak jebakan romantis.”

“Kan cuma hipotesis,” balasnya enteng, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Ya, dan hipotesis bisa dibantah. Dengan cara: gue cabut!”

Aku berbalik, berusaha terlihat cool dan santai, padahal telapak tanganku sudah dingin seperti baru keluar dari lemari es. Tapi, sebelum aku berhasil melangkah terlalu jauh, dia berbicara lagi, pelan namun cukup jelas untuk kudengar.

“Kayyisa... lo nggak perlu pura-pura biasa aja di depan gue.”

Aku tidak menoleh. Cukup sekali saja mendengar nada suaranya seperti itu, sudah berhasil membuat otakku macet total. Tapi, di langkah keempat, aku menyadari bibirku sudah tertarik membentuk senyum kecil. Senyum yang—sialnya—tidak bisa kutahan.

Cowok itu memang tidak perlu berusaha terlalu keras untuk membuat segalanya terasa setengah serius, setengah gila.

Setelah insiden bangku taman itu, aku bersumpah pada diri sendiri: Kayyisa, mulai besok, hidupmu harus dilengkapi sistem alarm anti-Darel. Sistemnya sederhana—seperti rumus matematika yang seharusnya mudah dipahami: hindari tempat-tempat yang berpotensi menjadi habitat Darel.

Sayangnya, teori seringkali lupa bahwa dunia nyata lebih kejam dari soal fisika yang harus diremedial tiga kali.

Keesokan paginya, langkah pertama dalam "Operasi Hindari Darel" resmi dinyatakan gagal—bahkan sebelum bel masuk berdering. Tepatnya, di menit kesepuluh setelah aku menginjakkan kaki di koridor depan kelas.

Udara pagi itu—seperti biasa—dipenuhi aroma parfum murahan dan keringat anak-anak yang terlambat datang. Cahaya matahari berusaha menembus celah-celah di antara atap dan dinding, menciptakan pola geometris aneh di lantai. Suara obrolan dan tawa—yang biasanya kurasakan sebagai latar belakang yang mengganggu—tiba-tiba terasa seperti simfoni neraka.

Seseorang memanggil, “Kayyisa!”

Suara itu—aku mengenalnya terlalu baik. Suara yang bisa membuat kadar sarkasmeku melonjak drastis.

Aku menutup mata. Menghitung mundur dalam hati. Lima detik. Tarik napas dalam-dalam. Buka mata.

Dan—tentu saja—di ujung lorong berdiri Cakra Adinata. Dengan pose santai yang sudah dipatenkan—satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, bahu disandarkan ke dinding—seperti model yang baru saja turun dari billboard iklan minuman soda.

“Lo tuh kayak nyamuk, Cak,” kataku datar, berusaha menyembunyikan rasa kesal yang mulai menggerogoti. “Semakin diusir, semakin balik lagi.”

Dia berjalan santai ke arahku, senyum itu lagi—senyum yang bisa mengancam sistem imun sarkasme siapa pun. Senyum yang—kalau dipikir-pikir—sebenarnya tidak terlalu istimewa. Hanya tarikan bibir yang sedikit ke atas, memperlihatkan deretan gigi putih yang—oke, mungkin memang agak menarik.

“Tapi nyamuk punya fungsi penting. Penanda kalau lo masih hidup, kan?”

“Kalimat itu terdengar keren di kepala lo, tapi keluar kayak bencana linguistik.” balasku cepat, berusaha mengalihkan perhatian dari detak jantung yang mulai tidak terkendali.

Beberapa anak yang lewat menatap kami dengan tatapan ingin tahu—diselingi cekikikan kecil. Cakra si pangeran sekolah, ngobrol dengan Kayyisa si cewek deadpan yang terkenal karena dua hal: deadpan humor dan catatan rapor warna-warni (bukan karena prestasi, tapi karena nilai remedial yang lebih banyak dari koleksi sticker).

Cakra menyandarkan diri ke tembok—seolah itu adalah properti pribadinya—nada bicaranya santai banget. “Lo sibuk nggak nanti sore?”

Aku mendengus. “Tergantung. Kalau buat ikut sekte pengagum lo, gue pass.”

Dia tertawa kecil—tawa yang entah kenapa terdengar lebih tulus dari biasanya. “Tenang aja, gue nggak butuh pengagum. Gue butuh... partner.”

“Partner? Kita udah partner. Dalam proyek sandiwara paling aneh sepanjang sejarah sekolah ini.”

“Ya, tapi kita perlu upgrade. Latihan dikit biar makin natural. Lowkey tapi believable.”

Aku melipat tangan di dada—mencoba menciptakan penghalang fisik antara diriku dan Cakra. “Cakra, lo sadar nggak setiap kali lo bilang lowkey, hasilnya justru highkey drama?”

“Justru itu serunya.” Dia menyeringai—seringai yang—aku bersumpah—terlihat sangat berbahaya. Nada suaranya enteng, tapi matanya—ya ampun—tajam seperti sedang mengukur setiap reaksi yang muncul di wajahku.

Dan di titik itu, aku tahu: cowok ini bahaya. Bukan dalam arti kriminal—bukan tipe yang akan menculikku dan meminta tebusan pada orang tuaku—tapi... emosional. Dia punya kemampuan untuk mengacaukan pertahanan mentalku, membuatku mempertanyakan setiap prinsip yang selama ini kupegang teguh.

✨Catatan Reva, siang itu, di buku catatan matematika yang penuh coretan:

“Cakra Adinata Putra:

Bukan cuma nyamuk. Lebih tepatnya, virus.

Menyebar dengan cepat, sulit dihilangkan, dan bikin sistem kekebalan tubuh melemah.

Plus, dia punya bakat terpendam jadi public speaker. Pidatonya tentang 'hidup normal' hampir bikin gue percaya.”

 

✨Bersambung...

1
Yohana
Gila seru abis!
∠?oq╄uetry┆
Gak sabar nih nunggu kelanjutannya, semangat thor!
Biasaaja_kata: Makasih banyak ya! 😍 Senang banget masih ada yang nungguin kelanjutannya. Lagi aku garap nih, semoga gak kalah seru dari sebelumnya 💪✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!