Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Lebih Tinggi
"Mauku?" Eireen mengeratkan cengkramannya, membuat Aslan semakin terdorong ke depan tubuhnya.
Tatapan matanya jelas sekali mengancam seperti elang. "Kau jangan banyak bicara, tapi lihat saja, setelah ini, hanya akan ada kesengsaraan yang pantas sebagai balasan untuk pengkhianatanmu, camkan itu!"
"Heh. Kau pikir aku takut?" Aslan pura-pura berani, menaikkan dagunya, seolah masih bisa menyombongkan diri.
Eireen menyeringai. Ia lepaskan cengkraman tangannya, kemudian mengusap tangan seolah jijik setelah memegang sesuatu yang kotor.
"Mari kita lihat. Dan jangan lupa, bayar hutangmu padaku, Pak Jaksa. Kecuali, kau mau aku mendapatkan uangku kembali dengan cara yang ramai, membuka semua aibmu. Sepertinya menyenangkan bukan? Kalau ada berita heboh, seorang jaksa, yang harusnya menegakkan keadilan tapi justru menipu?"
Aslan menggertakkan gigi. "Kau mengancamku, hah? Kau bisa kutuntut atas ucapanmu ini. Kau tahu?!"
"Silakan, aku juga bisa menuntutmu, karena dengan sengaja, menipuku, pura-pura akan menikahi hanya untuk membiayai resepsimu dengan perempuan gatal. Kau pikir aku tidak tahu? Itu bisa masuk pidana maupun perdata kalau kuajukan kerugian materiil/moral."
Aslan diam. Benar apa yang Eireen katakan. Ia tersudut dan hanya bisa menatap kesal gadis yang ia pikir bisa ia manfaatkan sampai akhir itu.
Melihat beberapa perempuan pihak WO bertepuk tangan, seolah mengapresiasi keberanian Eireen, Zeya kesal sendiri.
Ia yang tadinya menjauh dari Aslan karena takut diapa-apakan oleh Eireen pun beranjak mendekat.
"Aku bukan perempuan gatal, kau yang gatal, jadi duri diantara kami selama ini. Ayo, kita pergi!"
Zeya menarik tangan calon suaminya itu pergi.
Aslan masih menatap belakang, tangannya mengepal, seolah mau membalas kepada Eireen karena dipermalukan seperti itu.
Sayangnya, Eireen melambaikan tangan, dengan menggerakkan jari-jari lentiknya, sambil menyeringai puas.
"Da, Pengkhianat...!" ucapnya dengan nada mengejek.
Senyum masih tersungging, sampai Aslan dan lainnya keluar dari ruangan itu. Senyumnya hilang, berubah dengan ekspresi penuh kegetiran.
Sebuah tangan memegang pundaknya. "Nak?!"
Eireen menoleh, tersenyum tipis, saat Savero bertanya, "Kau baik-baik saja?"
"Tidak baik. Tapi, terima kasih sudah membelaku tadi, Paman. Entah kalau tidak ada Paman, aku mungkin sudah melakukan lebih nekad lagi kepada mereka."
"Hmm. Kau hebat karena masih bisa menahan diri, Nak. Maaf, Paman malu, karena mereka benar-benar tidak tahu diri begitu."
"Bukan salah Paman kok. Tapi maaf ya, Paman? Aku... sungguhan akan membalas laki-laki itu. Jadi, kalau Zeya tetap menikah dengannya, maka dia juga akan sengsara."
Paman Savero mengernyit, menatap penuh tanya. Eireen tersenyum tipis. "Tenang saja, aku tidak akan sampai menghilangkan nyawa. Orang seperti itu, tidak cukup dihukum dengan kematian, Paman. Dia harus dihinakan, agar belajar dari kesalahan."
"Hmm." Savero hanya menghela napas. "Asal itu tidak membahayakan dirimu, Paman akan dukung, Nak."
"Termasuk, jika aku menghentikan aliran uang kepada Zeya dan Tante Anabia?"
"Itu justru harus kau lakukan, Nak. Biar mereka tahu, jika selama ini mereka berdua yang bergantung dan berhutang budi padamu. Paman dukung!"
Eireen sekali lagi berkaca-kaca matanya. Ia memeluk laki-laki itu. "Terima kasih, Paman. Terima kasih sudah mau mengerti."
"Maaf juga, kalau karena membelaku, hubungan Paman dan keluarga jadi runyam," imbuhnya setelah melepas pelukan mereka.
Savero meletakkan tangan di pundak Eireen, menatap seolah ingin menguatkan. "Sudah jangan pikirkan Paman. Mulai sekarang, kau harus pikirkan dirimu sendiri dulu, ya?"
"Dan jangan terpengaruh ucapan mereka tentang masa lalumu. Kau berharga, lihat, bahkan keluargamu memberikanmu kalung emas yang mahal ini," imbuh Savero sambil memegang kalung di leher Eireen.
"Aku tidak mau berharap, Paman. Hidupku hanya untuk melihat ke depan, sedang keluargaku, sudah jauh ketinggalan di belakang." Eireen menjawab dingin.
Ada rasa marah yang masih begitu besar dalam dirinya karena merasa terbuang.
Ia pun tidak ingat apa-apa saat ditemukan Savero saat itu, hanya liontin bertuliskan Eireen saja, yang membuatnya tahu namanya.
Anehnya, tidak ada luka di kepala Eireen, sampai dokter bingung, kenapa gadis itu bisa hilang ingatan dulu? Tapi Eireen sudah tidak peduli, makanya, ingatannya tidak pernah kembali.
"Kau pun tidak pernah menangis. Bahkan sampai setelah kejadian tadi?" Paman Savero mengalihkan pembicaraan, agar Eireen tidak semakin terbebani dengan masa lalunya.
Eireen tersenyum lebar. "Menangis hanya akan merendahkan harga diriku, Paman."
"Memang di sini sakit. Sangat sakit, karena kupikir, hari ini aku akan punya keluarga." Eireen menepuk dadanya sendiri. "Tapi, bahkan jika menangis, rasa sakitnya tidak akan hilang, Paman. Justru aku mungkin akan dipermalukan, orang-orang yang menginginkan lepasnya tangisan."
Savero hanya menatap iba.
Eireen menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak akan pernah menangis. Itu hanya buang-buang energi. Lebih baik, aku fokus melakukan yang harus kulakukan, seperti membalas mereka mungkin? Kupikir itu lebih bisa membuat sesak di dada jadi sedikit lebih lega."
Savero memaksakan diri tersenyum tipis. Ia tahu, Eireen gadis yang kuat, tangguh, benar-benar tidak pernah menangis.
Tapi, dari sorot matanya, ia bisa melihat, jika gadis itu sedang terus menerus memaksa dirinya tampak sekuat itu. Di sisi lain, hati Aslan semakin bergemuruh karena amarah. Tidak terpikir olehnya jika akan terusir begini. Belum lagi semua tamu yang sengaja ia undang semakin melihat rendah dirinya dan sang ibu, karena pernikahannya tidak jadi.
Selentingan demi selentingan terdengar di telinga.
"Sepertinya memang tidak punya uang."
"Penipu masih sombong juga, benar-benar tidak tahu diri."
"Diam kalian!" Aslan menyentak mereka semua. Orang-orang kabur setelah menatap sinis ke arahnya.
"Dasar kampungan, lihat saja, aku buat resepsi mewah kalian tidak akan kuundang!" Aslan sampai menunjuk-nunjukkan tangan saking kesalnya.
"Uang darimana?" Suara ibunya terdengar, membuatnya melotot.
Zeya dan ibunya saling tatap. Mereka terlihat ragu, karena Aslan awalnya merencanakan menipu Eireen demi mempermalukannya saja.
Tapi, bahkan Eireen sendiri berkata jika Aslan tidak punya uang, hingga sering meminjam kepadanya.
Melihat kedua perempuan itu ragu, Aslan segera meraih tangan Zeya. "Tenang saja. Aku... akan buat resepsi mewah untuk kita. Kita buat Eireen sungguh malu saat itu. Ok?"
Zeya tanpa pikir panjang tersenyum lebar, kemudian memeluk calon suaminya itu. "Iya, kita permalukan dia nanti!"
Ia percaya saja dengan ucapan Aslan. Sedang Adena, melengos. 'Dasar anak muda. Uang saja tidak ada, pakai janji segala!'
Ia kesal sendiri, karena tahu keuangan putranya.
"Eir!" Suara Anabia membuat pasangan itu melepas pelukan mereka.
"Sakit, Bu?" tanya Zeya.
"Iyalah, keras sekali pukulan Eireen tadi. Ayo, antar ibu ke rumah sakit, ibu mau Visum, biar ibu laporkan dia!"
"Eh, jangan, Bu!" Aslan menghentikan.
"Kenapa? Kau kan jaksa? Harusnya mudah bagimu untuk membuatku menang dan menjerat Eireen bukan?"
"Ibu lupa Eireen tadi berkata apa? Dia akan membuat masalah semakin runyam kalau kita bawa-bawa hukum. Ibu juga menampar, ikut menipu dia. Mau ibu dihukum juga, kita semua bisa dipenjara karena persekongkolan!?"
Anabia memanyunkan bibir, jelaslah dia tidak mau. Azusa kemudian berceletuk, "Iya, anakku ini juga baru dilantik, jangan sampai pekerjaan anakku jadi taruhan. Sudah, rawat saja di rumah sakit sana!"
Anabia mau tidak mau setuju. Dalam hati, ia masih bertekad, 'Awas saja di rumah, akan kubalas semua perlakuanmu, Eireen!'
Sayangnya, Eireen tidak pulang ke rumah Savero selama berhari hari, membuatnya semakin kesal.
Lebih-lebih, Savero memarahi mereka habis-habisan, tidak memberi mereka makan.
Diancam diusir Savero, Anabia dan Zeya akhirnya diam, tidak berulah dengan mengacak-acak kamar Eireen.
......................
Sementara itu, Eireen sendiri ada di dalam mobil, bersama dengan Double J.
Tidak biasanya, gadis itu merenung menatap jendela, Double J yang mengemudikan mobil di depan tampak saling tatap sekilas.
Sampai si Jimmy berceletuk, "Cinta... oh cinta....! Kenapalah, kau buat kawanku merana?!"
Merasa tersindir, Eireen seketika melemparkan lirikan mautnya.
Jimmy justru terkekeh. "Astaga... makanya, kau itu. Kubilang juga apa? Mata laki-laki lebih pandai menilai sesama laki-laki. Tidak percayaan sekali kau padaku ini, sudah kubilang dia tidak baik, masih juga mau menikah dengannya!"
"Diam kau!" sergah Eireen kesal, kemudian mengalihkan pandangan ke jendela lagi.
Jimmy masih mengomel, Joey hanya geleng-geleng kepala dengan mereka berdua.
Tidak berselang lama, telepon genggam Eireen berbunyi, karena seseorang menghubungi.
"Ehm?"
....
"Shit, bagaimana bisa?"
....
"Ck. Baiklah."
Panggilan berakhir, Joey yang sedang mengemudi bertanya, "Ada masalah?"
"Ini... gugatanku ditolak, anehnya dia mencabut gugatannya juga. Katanya si Aslan brengsek itu menyabotase. Entah bagaimana, dia sepertinya punya channel baru dengan pejabat berwenang. Kurang ajar, tidak bisa dibiarkan!"
"Rumit kalau berurusan dengan pejabat. Sudah bunuh sajalah!" Joey memberi usul dengan asal sekali.
"Ck." Eireen berdecak, ia maunya menghinakan Aslan agar jatuh harga dirinya.
"Lantas maumu bagaimana, hah?"
Belum sempat Eireen menjawab, telepon genggamnya berbunyi. Ternyata dari Aslan.
Laki-laki itu dengan sombong berkata, "Kandas kan gugatanmu? Haha. Sudahlah, aku saja tidak berniat menggugatmu, maklum orang sibuk sepertiku, malas mengurusi hal receh sepertimu. Oh iya, kapan kau pulang, hah? Biar aku bisa melempar semua hutangku ke wajahmu tunai."
"Heh!" Eireen menghembuskan napas kesal.
Tidak mau memberi Eireen waktu bicara, Aslan terus saja melanjutkan ucapannya. "Ah... akan lebih baik seminggu lagi, kulempar semua uang itu ke wajahmu di pesta pernikahan mewahku dengan Zeya. Dan kau harus datang, kecuali kau pecundang!"
TUT... TUT...!
"Shit!" Eireen baru mau bicara, panggilan itu sudah diakhiri sepihak oleh Aslan. Ia mengumpat sejadi-jadinya.
"Kenapa lagi?" tanya Joey dengan nada selalu peduli.
"Seminggu lagi mereka menikah, aku harus datang dengan orang lebih tinggi dari pejabat yang berkoalisi dengannya!"
"Siapa? Menteri?!" celetuk Jimmy kemudian terkekeh, sambil menggelengkan kepala. "Ada-ada saja. Sudahlah tidak perlu datang!"
Eireen tampak berpikir keras. Kalau tidak datang, ia akan kehilangan muka. Lebih-lebih, masa iya dia harus membiarkan mereka menang. 'Tidak, tidak boleh. Bagaimanapun, aku yang harus membuat mereka bertekuk lutut!'
"Ah sial, kenapa juga takdir tidak pernah sekalipun memihakku begini?" celetuknya sambil mengusap kepala.
Siapa sangka, tidak lama setelahnya, sebuah panggilan dari alat komunikasi di kemudi mobil itu menjadi awal mula, titik balik takdirnya. Sebuah kesempatan baru, dengan orang baru yang tidak terduga.