Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.
Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.
Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemburu
Hao masih duduk di samping jasad Su Liqing. Air hujan mengguyur tanpa henti, menetes di wajah gadis itu yang kini membeku bersama senyum ceria terakhirnya.
Ia perlahan berdiri, lalu meletakan jasad mereka diatas sebuah papan kayu dengan hati-hati. Setelah mengamati cukup lama, akhirnya Hao menemukan sebuah rumah yang masih memiliki atap. Dengan sekuat tenaga, Hao meletakan jasad mereka di dalam, sekedar berlindung dari hujan.
Sejam kemudian akhirnya hujan reda, ia membawa jasad mereka ke atas bukit, setelah menemukan tempat yang cocok, Hao mulai menggali tanah dengan kedua tangannya.
Ketika lubang itu cukup dalam, ia menurunkan tubuh Su Liqing, membaringkannya di antara kedua orang tuanya, lalu dengan sabar, Hao menutup lubang itu, menimbunnya hingga hanya gundukan tanah basah yang tersisa.
Hao meletakan sebuah biji yang ia temukan secara tidak sengaja ketika memburu kawanan burung. Ia kemudian tersenyum dan berbisik, “Gadis kecil…sampai jumpa lagi,”
***
Di suatu tempat, sekelompok manusia berjubah hitam bergerak menuju Hutan Iblis. Dengan kecepatan mereka saat ini, paling lama dalam tujuh hari mereka akan tiba di tepi hutan.
Namun, ditengah perjalanan, langkah mereka terhenti. Seorang wanita, berusia sekitar lima hingga enam belas tahun, tiba-tiba berdiri menghalangi mereka.
Meski tubuhnya kecil, sorot matanya dingin dan penuh tekanan. Dengan satu lambaian tangannya, seluruh kelompok itu seketika stagnan, tak satupun bisa bergerak, mereka mulai berlutut secara paksa oleh suatu tekanan tak terlihat.
Pemimpin kelompok itu memberanikan diri untuk berbicara, “Senior, mengapa Anda menghalangi kami?” suara gemetar.
Tanpa sepatah kata, wanita itu mengangkat tangannya. Sebuah tombak berkilau muncul, memancarkan aura dingin yang membuat semua orang bergidik. Dengan gerakan ringan, tombak itu meluncur dan menancap tepat di depan pemimpin kelompok, meninggalkan getaran yang menekan dada setiap orang.
Wanita itu mendengus, lalu berkata : “Ratu ini ingin kalian menculik keturunan harimau bersayap hitam,” setiap kata menekan seperti perintah mutlak.
Ia melanjutkan, “Para tetua bau tanah itu berbisik… katanya, harimau itu belum lama ini memiliki keturunan.”
Setelah mengatakan itu, sudut bibirnya melengkung, membentuk senyum yang lebih mirip sayatan daripada kebahagiaan. Lalu suaranya berubah—ringan, centil, hampir seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Namun justru karena itu, hawa dingin semakin menusuk.
“Konon, anak harimau itu… imut sekali. Kyahaha!” Tawanya pecah, melengking, menggema seperti retakan kaca di ruang hampa.
“Ingat baik-baik—aku mau dia dibawa hidup-hidup.” lanjutnya dengan nada dingin.
Pemimpin kelompok itu menelan ludah, wajahnya memucat. Samar-samar, Ia tahu betapa menakutkannya kekuatan harimau jenis itu. “Senior….tidak….Ratu, keluarga Anda sudah begitu kuat… kenapa masih—”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimat, udara mendadak berat. Tekanan luar biasa menghantam mereka semua. Nafas tercekat, dada sesak, tubuh bergetar tanpa kendali, sementara keringat dingin mengalir deras di pelipis mereka.
“Baik, sesuai perintah!” seru pemimpin itu tergesa-gesa, suaranya bergetar ketakutan.
“Bagus sekali,” Wanita itu menatap pemimpin kelompok dengan senyum samar, “Ingat, tombak itu… punya efek penindasan terhadap binatang kuno. Tapi masalah harga yang harus dibayar.......kau paham, bukan?”
Begitu suara itu jatuh, sosok wanita itu menghilang, dan tekanan yang menyesakkan dada mereka ikut sirna. Namun, mereka masih terpaku, saling menatap dengan wajah pucat. Hanya satu hal yang pasti: perburuan kali ini bukan lagi biasa.
***
Sekitar satu kilometer dari tepi Hutan Iblis, kelompok pemburu itu mulai menyusun strategi. Mereka membagi tim, menyiapkan racun atau pembius untuk memburu binatang muda tertentu, serta mengatur perlengkapan lainnya.
Dalam waktu kurang dari satu bulan, mereka berhasil menangkap beberapa binatang unik dan langka. Jika dijual, hasil tangkapan itu pasti mendatangkan keuntungan besar.
Namun, di tengah kegembiraan para anggota, Bos hanya terdiam sambil menatap tombak di tangannya. Wajahnya dipenuhi keraguan dan kebingungan. Bagaimanapun juga, semakin jauh ke pusat hutan, semakin berbahaya pula medan yang harus mereka hadapi.
Bahkan ada rumor, salah satu penguasa dari Benua Utama pernah kembali dari sana dalam keadaan menyedihkan.
Saat ini, kekuatan pemimpin kelompok itu baru berada di puncak Alam Roh Sejati. Meski setara dengan beberapa penatua sekte tingkat menengah, menghadapi kekuatan mutlak di dalam hutan… ia ragu apakah dirinya benar-benar bisa bertahan.
Seorang Anggota baru maju dengan wajah penuh semangat, “Bos, dengan hasil perburuan kali ini saja, kita sudah bisa hidup mewah selama lima tahun kedepan. Mengapa Anda masih terlihat murung?”
pemimpin yang disebut Bos menghela napas panjang.
“Kalian tidak mengerti. Binatang-binatang muda yang kita tangkap hanyalah spesies unik yang lahir pada zaman ini. Meskipun ada beberapa yang memiliki garis keturunan kuno, mereka hanya darah campuran—kemurnian garis keturunannya juga rendah.”
Anggota itu terdiam sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, “Jadi begitu… pantas saja mereka terlihat lebih lemah.”
Tiba-tiba, terdengar teriakan kegembiraan dari arah lain. Seorang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan wajah standar berlari dengan mata berbinar,
“Bos, aku menemukan beberapa binatang muda eksotis di bagian timur! Sepertinya garis keturunan mereka masih murni. Jika dijual… hahahah… kita pasti kaya raya!” Sambil membayangkan kehidupan mewah.
Bos menatapnya dengan desahan pelan,
“Cukup Shi Tuo. Kendalikan dirimu. Meskipun kekuatanmu hampir setara denganku, jangan membuat banyak masalah. Bawalah beberapa ahli racun dan ahli formasi, agar pergerakan kita tidak menimbulkan kecurigaan.”
“Tapi…” Shi Tuo itu ingin membantah.
“Tidak ada tapi-tapi,” potong Bos dengan tegas. “Bawa mereka. Ingat, tujuan kita hanya menangkap binatang iblis muda untuk dijual. Jangan bertindak gegabah.”
“…Baiklah,” jawab Shi Tuo dengan pasrah. Ia sadar, meskipun kekuatan mereka setara, dalam hal strategi dan menilai situasi, Bos jauh lebih unggul.
Setelah merenung sejenak, ia menatap anggota baru di samping, “Hey anak baru kemarilah, berikan aku informasi para ahli racun dan formasi yang saat ini menganggur.”
“Maaf, Bos kedua. Hanya tersisa sepuluh ahli formasi. Untuk anggota yang bertugas dibidang racun sedang sibuk karena ada beberapa spesies yang kebal terhadap racun,” jawab anggota baru itu.
Wakil bernama Shi Tuo menatap anggota baru itu, “Kamu bisa pergi, jangan terlalu banyak minum.”
Setelah anggota baru itu pergi, Shi Tuo duduk di samping Bos, lalu menghela napas panjang.
“Kamu tetap pintar seperti biasanya. Kenapa tidak keluar saja dari pekerjaan berisiko ini, lalu menikah?”
Shi Tuo tersenyum miring, lalu menambahkan dengan nada mengejek,
“Kamu bahkan belum pernah memegang tangan wanita.”
Bos menghela napas pelan.
“Jika aku mengundurkan diri, bukankah itu sama saja dengan pembubarkan ?” suaranya terdengar dingin, hampir seperti mengejek dirinya sendiri.
Wajah Shi Tuo langsung berubah, bukan karena marah, melainkan getir. Ia meraih kendi arak, lalu minum hingga wajahnya memerah. Dengan mata setengah sayu, ia menatap Bos yang sedang merapikan beberapa berkas, lalu tertawa pendek,
“Dasar penjaka… lebih baik menikmati hidup dengan bebas. Tapi kamu… ah, sudahlah.”
Setelah mengatakan itu, Shi Tuo berdiri dengan kendi di tangannya dan pergi ke tempat lain, meninggalkan Bos seorang diri.
Disisi lain, Bos itu menatap Shi Tuo yang mulai menjauh, lalu menatap tombak itu sekali lagi, sekilas ia sadar, untuk mengeluarkan kekuatan penuh dari tombak ini dibutuhkan pengorbanan yang cukup besar.
Dari belakang, seorang pria berwajah halus dan feminim mendekat. Ia terdiam sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, “Apakah… kita benar-benar berniat masuk ke daerah pusat?”
Tatapan sang bos mengeras, genggamannya pada tombak semakin kuat. “Aku tidak punya pilihan, semuanya sudah siapkan?”