Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Tok... tok..... tok....
Suara pintu yang diketuk oleh Bi Fia yang dan sambil membawa nampan berisi bubur.
"MMMMPPPHHH!!"
"MMMMPPHH!!"
Helena berharap Bi Fia masuk dan menyelamatkannya.
Ceklek!
Pintu kamar mandi terbuka dan Helena melihat Karan yang baru saja selesai mandi.
Ia mengedipkan matanya dan setelah itu ia membuka pintu kamar.
Bi Fia memberikan nampan itu ke Karan dan mengatakan kalau buburnya masih panas.
"Terima kasih, Bi." ucap Karan yang kemudian menutup pintu kamarnya.
Karan meletakkan nampan itu di samping tempat tidur.
"Jangan tutup mata kamu, Helena." ucap Karan yang kemudian melepaskan handuknya dan berjalan kearahnya.
Helena memalingkan wajahnya ke arah sampingnya.
Karan tertawa kecil sambil membuka sapu tangan yang menutup mulut Helena.
"Ayo makan dulu, Helena. Aku tidak mau kamu mati secepat ini." ucap Karan.
Helena masih memalingkan wajahnya dan menutup mulutnya.
"Untuk apa kamu malu-malu seperti ini? Bukankah kamu dan Firdaus juga sering melakukannya?"
Helena langsung menatap wajah Karan dengan tatapan kebencian.
"Dia lebih baik dari pada kamu, Kak. Dia tidak pernah mengikat, menyumpal atau menyiksaku seperti ini."
Karan menaruh mangkuknya dan membuka ikatan yang ada di tangan Helena.
"K-kak, kamu mau apa?! Bukankah kamu janji untuk tidak menyentuhku?"
"Bukankah kamu yang mengatakan kalau Firdaus lebih baik dari aku dan aku akan membuktikannya kalau aku lebih baik dari Firdaus."
Karan paling tidak suka jika ada seseorang yang membanding-bandingkan dirinya dengan Firdaus adiknya yang sangat sempurna.
"KAK! J-JANGAN!!"
Karan berhasil masuk ke kehormatan milik Helena.
Helena memukul-mukul dada bidang Karan yang sedang berada diatasnya.
Karan mendekatkan bibirnya ke bibir Helena dan menciumnya dengan cara brutal.
Helena menggelengkan kepalanya dan mencoba mendorong tubuh Karan.
Karan menahan tangan Helena dan kembali mencium bibir Helena.
"Nikmati saja, sayang. Dan katakan siapa yang lebih baik. Aku atau Firdaus?"
Helena menggigit bibirnya dan tidak menjawab perkataan dari suaminya yang kini melakukannya dengan kekerasan.
"K-kak, hentikan..." ucap Helena lirih.
Karan semakin brutal dan Helena yang tidak bisa menahan rasa sakitnya langsung jatuh pingsan.
"Dasar wanita lemah,"
Karan bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar.
Ia berjalan menuju ke ruang kerjanya sambil menghisap rokoknya.
"Firdaus, wanita pilihanmu ternyata tidak mengecewakan." gumam Karan.
Karan duduk dan membuka laptopnya sambil melihat rekaman cctv yang dikirim oleh Dion.
Ia mulai melihat Firdaus dan Helena yang sudah berada di toko emas.
Karan menatap layar laptopnya dengan cermat dimana rekaman CCTV menampilkan Helena dan Firdaus di toko emas.
Namun tiba-tiba, layar berkedip-kedip, dan rekaman mulai rusak.
“Tidak… ini tidak mungkin,” gumam Karan, matanya menajam. Frame terakhir sebelum CCTV mati menunjukkan perampok masuk ke toko. Suasana di layar menjadi gelap dan sinyal terganggu.
Karan menahan napas, mencoba mengulang rekaman, tapi kamera tetap tidak menampilkan apa-apa. Hanya terlihat layar hitam dengan garis-garis statis.
Namun satu hal membuatnya berhenti sejenak dimana sebelum layar benar-benar mati.
Karan melihat Helena menatap lurus ke arah kamera, matanya tajam dan penuh kesadaran.
Sesaat tatapan itu seakan menembus layar laptop, menimbulkan pertanyaan besar di benaknya.
“Apakah dia melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat?” gumam Karan sambil memiringkan kepala nya.
Ia pun kembali bangkit dan menuju ke kamarnya untuk bertanya kepada Helena.
“Bangun, Helena! Aku ingin bicara denganmu!” teriaknya, suaranya memantul di dinding kamar yang megah namun dingin.
Helena masih terbaring lemah, napasnya terengah-engah.
Tubuhnya gemetar, tetapi matanya perlahan membuka sedikit.
Ia sadar bahwa Karan sedang berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu dan kecurigaan.
“Apa yang kamu lihat di rekaman itu, Helena? Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?”
Helena menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau ia tidak melihat apa-apa.
"Jangan bohong!!"
Helena menatap wajah Karan yang memaksanya untuk bicara.
"Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Kak! A-aku tidak tahu!"
"Jangan berbohong padaku, Helena. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan! Saat kau menatap kamera itu, aku melihat sesuatu di matamu. Sesuatu yang berbeda.”
Helena menangis sesenggukan dan meminta Karan untuk tidak memaksanya.
Karan yang tidak sabar langsung mengambil ikat pinggang dan kembali menyabet punggung Helena.
"K-KAK! HENTIKAN!!"
Helena kembali menahan sakitnya di mana suaminya sedang menyabetnya lagi.
"Cepat katakan, Helena! Apa yang kamu sembunyikan?!"
Helena tetap menggelengkan kepalanya dan tidak menjawabnya.
Ia pun kembali pingsan untuk kesekian kalinya dengan tubuhnya yang penuh dengan luka.
Karan memanggil Delon untuk mengambilkan kotak obat.
"Aku akan mencari tahu siapa kamu dan apa yang kamu sembunyikan."
Tak berselang lama Dion datang dan mengetuk pintu kamar Karan.
Ia membawakan kotak obat yang Karan perintahkan.
Karan meminta Dion untuk masuk kedalam kamarnya.
Kemudian ia kembali masuk ke dalam kamar dan mengobati luka Helena yang ia buat.
Karan duduk di tepi ranjang, membuka kotak obat, dan mulai membersihkan luka-luka di punggung Helena.
Cairan antiseptik mengenai kulit Helena yang terkoyak, membuat gadis itu merintih meski masih setengah sadar.
Dion mengalihkan pandangannya ke arah lain karena ia tidak tega melihat seorang wanita yang disiksa seperti itu.
"Inilah akibat kalau dia tidak bicara jujur, Dion." ucap Karan.
"Tuan, mungkin dia memang tidak tahu apa-apa. Kamera bisa saja rusak karena perampok. Jangan terlalu cepat menuduh.”
“Aku lebih mengenal tatapan orang daripada siapa pun. Perempuan ini menyimpan sesuatu, dan aku akan mendapatkannya.
Dion memintaku agar tidak keterlaluan kepada Helena.
Karan bangkit dan mendekat ke arah Dion yang malah membela Helena.
"Apakah kamu menyukai istriku, Dion?" tanya Karan sambil mengarahkan senjatanya ke kepala Dion.
Dion menatap ke arah Karan dan mengatakan ia tidak menyukai Helena.
"Saya hanya kasihan kepada Nyonya Helena ,Tuan." jawab Dion.
Karan menatap Dion lama sekali, jarinya masih berada di pelatuk pistol.
Suasana kamar mendadak sunyi, hanya terdengar napas Helena yang tersengal di ranjang.
“Kasihan? Kamu kasihan pada wanita yang mungkin saja berkhianat pada Firdaus? Yang mungkin jadi alasan adikku mati?”
“Saya hanya mengatakan kemungkinan, Tuan. Jika Nyonya Helena benar-benar tahu sesuatu, biarkan dia bicara dengan tenang. Penyiksaan hanya akan membuatnya semakin lemah.”
Karan menurunkan pistolnya perlahan, lalu tertawa tipis.
“Kau berani sekali memberi tahu aku apa yang harus kulakukan.” ucap Karan sambil meninju perut Dion.
Dion menahan rasa sakitnya dan ia keluar dari kamar Karan.
Karan kembali duduk di samping tubuh Helena yang tidak berdaya.
Karan kembali duduk di samping ranjang, menatap wajah pucat Helena yang masih tidak sadarkan diri.
Tangan kirinya masih menggenggam kapas penuh antiseptik, sementara tangannya yang lain menyentuh pelipis Helena.
“Helena, kalau memang kau tidak bersalah, buktikan padaku. Tapi jika kau berbohong, aku akan tahu,” ucap Karan lirih, namun penuh ancaman.
Helena membuka matanya dan melihat bayangan Firdaus yang tersenyum kecil kearahnya.
"Firdaus....," ucap Helena lirih dan ia kembali memejamkan matanya.
Bayangan Firdaus di matanya tadi terasa begitu nyata, seakan ia benar-benar hadir untuk menguatkannya.