Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Bahagia
"Sarapan datang, Suami ku yang gagah dan anak-anak kesayangan Ibu!"
Suara Fitriani Ayu Dewi melantun merdu, memecah kesibukan pagi itu. Senyum lebar tak lepas dari bibirnya saat ia melangkah masuk ke ruang makan, nampan berisi sarapan mengepul hangat di tangannya. Aroma nasi goreng rempah, telur dadar dengan taburan daun bawang, dan sosis bakar menyeruak, berpadu sempurna dengan semerbak kopi hitam pekat kesukaan Rohim. Cahaya matahari pagi yang lembut menembus jendela kaca besar, memandikan ruangan dengan kehangatan keemasan, menyoroti motif batik modern pada salah satu dinding dan vas bunga melati di atas meja.
Rohim Wiratama, sang kepala keluarga, sedang menyisir rambutnya di depan cermin kecil dekat pintu. Ia mengenakan kemeja batik lengan pendek berwarna biru dongker—seragam kebanggaannya sebagai manajer proyek di sebuah perusahaan teknologi terkemuka Kota Batara Raya. Tangan kanannya terhenti di udara, pandangannya beralih pada sosok sang istri. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
"Wah, kamu sudah siap aja melayani kami Bu ?" goda Rohim, menoleh dengan kerlingan mata jahil. Gerak tubuhnya santai, tapi ada gurat lelah tipis di matanya, efek begadang semalam setelah menerima kabar luar biasa dari International Space Travel Consortium. Namun, semangatnya tak sedikit pun padam.
Fitriani meletakkan nampan di meja makan dengan hati-hati. "Tentu saja! keluarga ku ini kan perlu asupan gizi biar kuat jadi pahlawan " balasnya dengan nada jenaka, mengusap bahu suaminya lembut. Jemarinya yang lentik menyentuh kain kemeja Rohim, merapikan sedikit kerah yang sedikit miring. Ada percikan cinta dan kehangatan yang mengalir dari sentuhan itu.
Di meja makan, Shalih Wiradipa, si jagoan lima tahun, sudah duduk tegak di kursinya. Mata bulatnya yang berbinar-binar menatap nasi goreng di depannya dengan antusias. Hari ini adalah hari besar baginya: hari pertamanya masuk sekolah TK! Ia mengenakan seragam putih biru dongker yang sedikit kebesaran di bahunya yang mungil, kerah kemejanya masih agak kaku, menunjukkan kalau itu seragam baru. Kakinya yang pendek menggantung-gantung di bawah kursi, sesekali mengayun tak sabar.
"Ibu, Ayah, Shalih lapar!" serunya, suaranya melengking penuh semangat. Sebuah senyum tanpa celah dari gigi depannya yang baru tanggal menambah kesan menggemaskan.
Di sampingnya, Humairah Wulanindri, si bungsu dua tahun, duduk manis di kursi bayi khusus. Pipinya gembil, matanya besar, dan ia mencoba meniru kakaknya, "Ap-pa... ap-pa..." gumamnya, mencoba mengucapkan 'lapar' namun masih tersendat. Tangan mungilnya menunjuk-nunjuk piring nasi goreng, matanya fokus sepenuhnya pada makanan. Sebuah celemek kecil bermotif awan dan bintang melilit lehernya, dengan hijab bayi berwarna pastel yang membiarkan sebagian kecil poni tipisnya terlihat.
Fitriani terkekeh gemas. Ia menghampiri Humairah dan mengecup puncak kepalanya. "Iya, Sayang, sebentar ya. Ibu suapin nanti." Lalu ia menoleh pada Shalih. "Shalih, doa dulu sebelum makan, ya."
Shalih dengan patuh menangkupkan kedua tangan kecilnya, memejamkan mata, dan menggumamkan doa makan dengan cepat, lebih karena lapar daripada khusyuk. Rohim dan Fitriani saling pandang, senyum tipis tersungging di bibir mereka. Interaksi kecil semacam ini adalah esensi kebahagiaan mereka.
Saat Rohim mengambil tempat duduknya, ia meraih tangan Fitriani yang berada di sampingnya dan menggenggamnya erat. "Enggak nyangka ya, Bu. Mimpi kita benar-benar jadi kenyataan. Minggu depan kita beneran terbang ke Mars," ucap Rohim, suaranya sedikit lebih pelan, sarat akan keharuan. Jempolnya mengelus punggung tangan istrinya. Matanya menatap Fitriani dengan tatapan penuh cinta dan kekaguman.
Fitriani mengangguk, senyumnya meluruh menjadi ekspresi haru. "Iya, Ayah. Rasanya kayak mimpi. Dulu waktu kita daftar iseng-iseng aja, enggak kepikiran bakal beneran lolos. Apalagi ini misi keluarga pertama. Keluarga kita!" Raut wajahnya memancarkan perpaduan antara kebahagiaan tak terbatas dan sedikit kecemasan, sebuah pertanda normal dari sebuah petualangan besar.
"Aku masih ingat pas Humairah nangis pas sesi wawancara via hologram, kan? Kita pikir gagal gara-gara itu," timpal Rohim, mengingat kejadian lucu beberapa bulan lalu. Ia tertawa kecil, bayangan Humairah yang memekik-mekek sambil menarik janggut virtual salah satu perwakilan konsorsium terbayang jelas.
"Makanya, ini beneran mukjizat!" Fitriani menyerahkan sepiring nasi goreng untuk Rohim. "Berarti minggu depan kita langsung berangkat ke Amerika ya, Ayah? Dari sana baru ke stasiun antariksa utamanya?"
Rohim mengangguk sambil menyendok nasi goreng. "Betul, Bu. Semua persiapan dokumen sudah beres. Tiket ke Houston juga sudah di tangan. Nanti di sana kita akan dapat orientasi singkat, pelatihan darurat, terus... meluncur!" Matanya menerawang, membayangkan momen peluncuran roket raksasa yang akan membawa mereka melesat menembus atmosfer Bumi. Ada kilatan gairah dan sedikit rasa gentar di sana.
"Mama, Shalih mau roket!" Shalih menyahut, matanya berbinar, sudah membayangkan mainan barunya. Ia menyuap nasi goreng dengan sendok kecil, mulutnya penuh. Sebuah butir nasi menempel di pipinya, namun ia tak peduli.
Fitriani tersenyum, mengusap sisa nasi di pipi Shalih. "Nanti ya, Sayang. Kita beli roket yang besar sekalian. Mau roket sungguhan?"
"Mau!" Shalih mengangguk antusias, hampir menjatuhkan sendoknya. Gerakannya lincah, penuh energi lima tahun.
Humairah di kursi bayinya memekik gembira, meniru kakaknya, "Oket! Oket!" Tangannya yang gembil mengayun-ayun, ekspresinya lucu dan menggemaskan. Ia berhasil menyuap sepotong kecil sosis yang dipotong Fitriani ke mulutnya.
Rohim memandang kedua anaknya dengan tatapan lembut. "Lihat mereka, Bu. Mereka bahkan belum sepenuhnya paham apa yang akan kita lakukan. Tapi antusiasme mereka... itu yang bikin kita makin semangat." Ia meraih tangan Fitriani lagi, meremasnya pelan, seperti ingin menyalurkan seluruh kekuatannya.
"Iya, Ayah. Aku kadang mikir, ini bukan cuma petualangan untuk kita, tapi juga kesempatan buat mereka ngelihat dunia dari perspektif yang beda banget. Mereka akan jadi generasi pertama manusia yang tinggal di Mars, walaupun cuma sementara," ujar Fitriani, suaranya sedikit bergetar karena emosi. Ia menatap Shalih dan Humairah bergantian, membayangkan masa depan yang terbentang luas di hadapan mereka. Ada kebanggaan yang dalam di matanya, bercampur dengan sedikit kekhawatiran seorang ibu yang akan membawa anak-anaknya ke tempat asing.
"Pasti akan jadi cerita yang luar biasa buat cucu-cucu kita nanti," tambah Rohim, meneguk kopinya. "Bayangin aja, mereka akan cerita, 'Nenek dan Kakek dulu pernah ke Mars, lho!'." Ia terkekeh, membayangkan adegan itu.
"Ayah... ini serius, kan?" Fitriani bertanya lagi, nadanya sedikit lebih rendah, seolah masih butuh kepastian. Matanya menatap Rohim lekat-lekat, mencari validasi. Keraguan kecil itu muncul bukan karena takut, melainkan karena keagungan dari apa yang akan mereka jalani.
Rohim meletakkan cangkir kopinya, mencondongkan tubuh ke depan. Ia meraih dagu Fitriani dengan ibu jarinya, mengarahkan wajah istrinya agar menatapnya sepenuhnya. Matanya yang gelap memancarkan ketegasan dan cinta. "Sangat serius, Ibu. Tapi aku di sini, kita di sini, bersama-sama. Kita akan hadapi semuanya. Aku janji."
Ada keheningan singkat, hanya terdengar suara sendok Shalih yang beradu dengan piring dan celotehan Humairah. Di balik kesibukan sarapan, momen itu terasa begitu personal, begitu intim. Sebuah janji yang diucapkan di pagi hari, di tengah kehangatan keluarga, sebelum mereka melangkah menuju takdir yang entah membawa mereka ke mana.
Rohim kemudian bangkit dari kursi, melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 06.30 WIB. "Oke, Ibu, Ayah harus berangkat kerja sekarang. Shalih, habiskan sarapannya, ya. Jangan bandel di sekolah." Ia mengecup kening Fitriani, lalu mengacak-acak rambut Shalih.
"Hati-hati, Ayah!" Shalih melambaikan sendoknya.
"Ati-ati, Ayah!" Humairah meniru, mengayunkan tangan mungilnya.
Fitriani mengantarkan Rohim sampai ke pintu depan. Sebelum suaminya melangkah keluar, ia mengaitkan jemarinya di jemari Rohim. "Jaga diri, Ayah. Jangan lupa makan siang. Minggu depan, petualangan kita yang sebenarnya akan dimulai."
Rohim tersenyum, membalas genggaman tangan istrinya. "Pasti, Ibu. Dan aku enggak sabar." Ia menatap istrinya sekali lagi, senyumnya mengembang, lalu berbalik dan melangkah pergi, menuju mobil listriknya yang terparkir rapi di carport.
Fitriani berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya hingga hilang di balik gerbang. Angin pagi menerpa wajahnya, membawa serta aroma melati dari taman kecil mereka. Sebuah perasaan campur aduk meliputi hatinya: bahagia, bangga, takjub, tapi juga secuil rasa... tak menentu. Mereka akan ke Mars. Mungkinkah ada sesuatu yang menunggu mereka di sana, sesuatu yang lebih besar dari sekadar misi ilmiah atau tur biasa? Langit Batara Raya tampak begitu damai pagi itu, namun di baliknya, kosmos yang tak terbatas menyimpan rahasia.
Bersambung....