"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benteng yang roboh.
Kantuk Sora mendadak lenyap mendengar pekikan Kayla. Tubuhnya terduduk seraya mendekat kepada ponsel yang kini terarah kepadanya. Di sana dia bisa melihat foto Julian yang kata Kayla sedang babak belur.
"Ya ampun! Dia... dia kenapa!?" Sora kaget bukan main. Kekasih satu bulannya itu benaran babak belur! Sudut bibirnya lebam dan berdarah, tulang pipinya juga membiru. Tidak ketinggalan beberapa beberapa luka di pelipisnya. Siapa yang menghajar Julian sampai seperti ini?!
"Video call, Kay!" Diberinya perintah tanpa pikir panjang. Dia ingin tau bagaimana Julian berakhir kacau seperti ini.
"Halo." Hanya beberapa detik, Julian sudah mengangkat panggilan tersebut.
"Ya ampun, Jul! Lo kok bisa kayak gini? Lo berantem?!" Wajah Sora dan Kayla sama-sama memenuhi layar ponsel.
"Ck. Bener kata lo, Ra. Sepertinya Tama marah besar karena kita pacaran. Dia memang nggak matahin tangan lo, tapi dia bikin gue babak belur, ck." Julian terlihat sedang mengompres lukanya dengan es batu.
Kedua tangan Sora langsung mengepal. TAMA?! Sialan! Benar-benar pengecut!! Apa tamparan tadi belum bisa membuat dia sadar kalau Sora sudah sangat muak melihatnya??
Sepertinya anak itu harus diberi pelajaran lebih.
"Gue pulang sekarang, Kay!"
***
Sora sampai di apartemen sekitar jam sebelas malam. Setelah berdebat dengan Kayla persoalan diantar atau tidak, akhirnya Sora menang dengan opsi pulang sendiri, naik taksi. Ini sudah malam. Mana mungkin dia tega membiarkan Kayla keluyuran di jalan raya sendirian sehabis mengantar dia nanti?
Tujuan Sora pulang adalah karena ingin membalas perbuatan Tama ke Julian. Hatinya semakin ilfeel akan sikap pongah laki-laki itu. Apa coba alasan dia kasar ke Julian? Karena pacaran dengan Sora? Bukankah dia tidak berhak?
Tau kalau Tama belum pindah, Sora langsung berhenti di depan pintu apartemen laki-laki itu. Tangan kanannya terangkat cepat untuk mengetuk.
Sekali dua kali, tidak ada hasil. Ketiga kalinya Sora menambah panggilan dengan suaranya yang jauh dari kata ramah. Terkesan mengajak ribut alias berantem. Namun tetap tidak ada hasil.
"Tamaaaa! Buka pintunya, Tam! Gue tau lo ada di dalam!" serunya tak ingin menyerah. Gedoran di pintu semakin kencang. Membuat salah satu tetangga mereka keluar dari unitnya.
"Ini sudah jam sebelas malam. Bisakah kalian ribut besok pagi?" saran orang itu dengan wajah malas. Kemudian masuk lagi tanpa menunggu Sora meminta maaf.
Sora berpikir tentang kemungkinan Tama yang belum pulang, atau bahkan sudah tidur. Ck! Lebih baik dia menunggu di apartemennya saja.
Perempuan itu akhirnya mengalah. Dirogohnya tas dan mengambil kunci. Koper berpindah dari depan unit Tama ke unit miliknya sendiri.
Ah, padahal baru beberapa hari meninggalkan tempat ini, tapi rasanya seperti sebulan. Mungkin efek dari hati yang sudah jauh dari orang yang biasanya menemani keseharian Sora di sini. Saat pintu sudah terbuka, tangan perempuan itu langsung meraba saklar untuk memberikan penerangan. Kemudian dia menarik koper ke dalam dan kembali menutup pintu.
"Apa gue harus menghajar Julian dulu, baru lo mau pulang?"
Jantung Sora seakan mau copot mendengar ada suara lain di dalam unitnya. Dan... itu... suara Tama 'kan?! How?! Bukannya dia sudah mengembalikan kunci?
Wajah Sora langsung berubah dingin. Ternyata diam-diam Tama menggandakan kunci apartemennya sebelum mengembalikan benda itu kemarin. Brengsek!
Semakin kesal, dia berjanji akan membuat Tama juga babak belur. Ingat 'kan kalau dia pulang hanya untuk menghajar laki-laki ini?? Ditambah lagi, kenyataan kalau dia sudah melakukan penggandaan kunci tanpa sepengetahuan Sora.
Perempuan itu berbalik dengan cepat. Menunjukkan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun. Bibirnya sudah siap untuk memaki, namun tersendat begitu saja karena apa yang dilihat matanya sekarang.
Tama juga babak belur. Malah lebih parah dari Julian.
Apa-apaan sih ini? Apa tadi mereka bertarung sehingga sama-sama terluka seperti ini?
Hening sepuluh detik, sebelum akhirnya Tama bergerak dan meninggalkan Sora yang masih mematung.
"Jadi, apa lo pulang karena Julian mengadu?" Suara laki-laki itu masih terdengar sekalipun dia sudah hilang di balik pintu kamar Sora. Jadi, dia juga bisa masuk ke dalam kamar itu sekalipun kuncinya hanya satu dan itu ada di dalam tas Sora sendiri? Amazing! Ingatkan Sora untuk melapor ke manajemen apartemen nanti.
Perempuan itu melepas sandal, lalu meletakkannya di rak sepatu. Menarik koper dan ikut masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Tama sudah kembali rebahan di atas kasur, dengan posisi telungkup.
Kebingungan melanda hati perempuan yang tidak pernah berhenti mencintai Tama Sean Wijaya. Melihat wajah babak belur itu, jelas hatinya bak diperas tangan tak kasat mata. Iba, sedih.
Kini dia mempertanyakan apakah dia pantas marah jika Tama juga sama hancurnya seperti Julian? Bahkan ini lebih parah. Tadi Sora melihat batang hidung Julian baik-baik saja. Sedangkan Tama, ada goresan di bagian pangkal, yang masih mengeluarkan darah segar.
"Lo belum jawab pertanyaan gue, Ra. Lo pulang karena Julian ngadu soal gue yang ngehajar dia?" Suara itu terdengar seperti orang yang sedang mengantuk. Begitu dalam dan seksi di telinga.
...
"Kalau iya, apakah maksud kepulangan lo sekarang hanya ingin membalas perbuatan gue ke dia?" Tama belum berhenti.
...
"Apa lo se cinta itu ke dia, Ra?" Suara itu semakin terdengar menyesakkan hati seorang Sora yang sejak tadi berdiri sambil memangku tangan di dada. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Hatinya mulai tersentuh. Luluh. Padahal rencananya bukan seperti itu.
"Lo benar. Gue pulang karena kita memang harus bicara. Seperti kemauan lo. Tapi, sebelum itu, bisa lo jelasin kenapa lo harus hajar Julian?" Sora bergerak ke sisi kanan kasur dan berdiri di dekat Tama yang masih telungkup.
"Seperti kemauan gue? Kalau demi gue, kenapa nggak ikut dari tadi? Kenapa harus menunggu sampai gue ngehajar pacar lo itu?" tanya Tama balik dengan nada skeptis. Kesal karena jawaban Sora seakan mengisyaratkan dia pulang demi Tama. Namun kenyataannya dia hanya memikirkan Julian.
"Lo childish, Tam! Lo nggak berhak menghakimi Julian karena pacaran sama gue! Memangnya kita semua pernah mengusik hubungan lo sama Giselle? Enggak 'kan?? Kenapa giliran kita yang pacaran, lo bertingkah kayak iblis gini?" Sora mulai geram.
"Karena nggak ada yang bisa pacaran sama lo selain gue. Kalau bukan gue orangnya, lebih baik lo jomblo, jadi perawan tua sekalian."
Jawaban Tama sangat jauh dari nada tinggi. Sehingga jatuhnya seperti bercanda di telinga Sora yang justru sedang serius.
"Dan pemikiran konyol itu lo jadiin sebagai alasan untuk membuat Julian babak belur?!"
"Mata lo buta? Apa lo liat muka gue lagi baik-baik aja sekarang?" Akhirnya Tama berpaling setelah sejak tadi membenamkan wajahnya di dalam bantal. Seperti ingin menunjukkan dengan jelas kepada Sora tentang luka-lukanya.
"Lo pantes babak belur karena lo yang memulai! Don't playing victim, Tam." Namun Sora tidak peduli. Baginya Tama seperti laki-laki pengecut yang minta dikasihani setelah bermain api dengan tangannya sendiri. Sungguh tidak masuk akal! Bagaimana bisa Sora mencintai pria brengsek seperti ini?
Tama kembali membenamkan wajahnya. Dia menyadari Sora ada di pihak Julian. Tak sedikitpun perempuan itu menaruh belas kasihan kepadanya. Lantas, masih perlukah dia menceritakan apa yang seharusnya Sora dengar? Apakah mereka masih ada harapan, atau Sora memang sudah terlalu jauh untuk digapai?
Di tengah pikiran yang sedang kusut, tiba-tiba kasur itu berguncang kecil. Lalu Tama merasakan pinggul Sora ada di dekatnya. Now what?
"Balik." Juga terdengar wanita itu memerintah sambil menepuk lengan Tama yang kekar. Terpaksa isi kepala itu dihentikan sejenak karena entah kenapa sikap perempuan ini tiba-tiba berubah.
"Lo denger nggak? Mau diobatin nggak?" Kini dia sedikit mengancam karena Tana tak kunjung bergerak.
"Tama Sean Wijaya!"
Baiklah, sudah panggil nama lengkap, itu artinya dia tidak akan selamat kalau masih berpura-pura tuli. Dengan cepat Tama mengubah posisinya dari tengkurap jadi telentang.
"Naik sini." Sora menepuk pahanya. Di tangan kirinya sudah ada kapas dan alkohol.
"Serius?" Tama ragu. Bukankah itu sejenis sentuhan fisik? Dia tidak akan marah?
"Lo mau diobatin nggak?"
"Kalau lo nggak ikhlas, nggak perlu. Gue nggak minta."
Sora meneguk ludah. Tatapan laki-laki itu kembali dingin. Apa... kata-katanya terlalu kasar?
"Ma-maksud gue... lo... lo nggak usah manja-manja. Gue masih marah sama lo. Tapi mau gimana lagi? Cuma gue yang bisa ngobatin lo sekarang. Gue nggak mau lo mati pas lagi ada di apartemen gue. Jadi lo harus nurut kalau mau sembuh. Paham?" Perempuan itu berusaha berkilah. Ditatap begitu oleh Tama, kenapa rasanya jadi berdebar ya? Dan salah tingkah.
"Gue nggak akan mati hanya karena adu jotos. Tapi gue bisa mati kalau lo benar-benar jatuh hati ke Julian."
Semakin berdebar dan semakin membuat perasaan Sora terbang melayang. Ini tidak baik. Ini... situasi darurat. Ini....
Brak! Botol alkohol yang ada di tangan Sora terjatuh ke lantai karena pergerakan Tama yang tiba-tiba. Secepat benda itu jatuh ke lantai, secepat itu pula tubuhnya ambruk ke atas kasur dengan Tama berada di atasnya.
"I'm dying inside, Sora. Gue sekarat melihat semua orang bersorak untuk kalian berdua. Rasa cemburu gue sudah berada di ambang batas. I can't handle it anymore." Wajah putih itu sampai memerah hanya karena sebuah pengakuan rasa cemburu.
"Jadi gara-gara itu lo sama Julian bertengkar? Gara-gara gue?" Mata dan hidung Sora tiba-tiba terasa perih.
"Lo milik gue. Nggak ada seorangpun yang boleh milikin lo, sekalipun hanya karena taruhan. Sekalipun hanya satu bulan. Gue nggak ikhlas."
"Apa lo juga ngomong manis gini ke Giselle, Tam?"
Tama menggeleng. "Gue dan Giselle nggak seperti yang kalian bayangin. Trust me, Sora."
Kedua alis gadis itu nyaris menyatu. Apa maksudnya? 'Nggak seperti yang kalian bayangin' gimana maksudnya? Apa ini yang ingin Tama ceritakan kepadanya sejak tadi siang?
"Apa... apa maksud lo?"
"Gue hanya cinta sama lo. Dari dulu, sebelum kita jadi partner ranjang pun, gue udah interest sama lo. Tapi ada misi di balik hubungan gue dengan Giselle yang tak seorangpun bisa tau. Termasuk anak-anak."
Masih tertegun, Sora menatap wajah tampan penuh luka yang ada di atasnya. Jarak yang begitu dekat membuat hidung mereka bahkan nyaris bersentuhan. Sora kehilangan fokus. Apa tadi katanya? Ada misi di balik hubungan dia dan Giselle? Ah! Sora malah lebih fokus pada napas Tama yang menerpa wajahnya.
"T-trus? Apa... dari tadi siang... lo pengen ngasih tau tentang ini ke gue? Setelah empat bul- hmpphh." Kalimat Sora terpotong karena Tama sudah tidak sanggup menahan diri. Seluruh tubuhnya, dari atas sampai ke bawah, bahkan sampai ke dalam-dalamnya, sudah bereaksi berkat posisi yang sungguh mematikan ini. Bibirnya membekap bibir tipis yang sejak tadi bergerak-gerak minta dilumat.
Rupanya Sora juga merasakan hal serupa. Jantungnya tiba-tiba melonjak kaget. Namun dia menginginkan ini! Dia haus akan Tama dan segala isi-isinya. Tangan gadis itu melingkari leher Tama secara otomatis. Membuat tubuh kekar pria itu terjatuh seutuhnya di atas dada Sora, setelah sejak tadi hanya bertopang di siku.
Ohhhhh, benteng pertahanan itu sudah runtuh. Pintu tebal yang dikunci rapat selama empat bulan terakhir, telah berhasil diterobos oleh si pemilik hati. Sora lumpuh. Kalah.
Deru napas kasar milik keduanya terdengar di sela-sela ciuman panas yang sedang berlangsung. Sahut menyahut dengan decap-decap basah hasil penyatuan dua bibir yang telah lama saling merindu. Sora bagai makanan terfavorit Tama yang sudah begitu lama ingin dia cicipi sebebas ini.
"Tama. Hhhh... hhh... hhh." Sora menarik diri sejenak. Dia harus bernapas kalau tidak ingin mati karena ciuman bergairah ini.
"Yesh babyhhhh." Tama juga terengah. Kedua tangannya mengusap kening Sora yang sudah berkeringat dengan senyum yang merekah di wajah. Menaikkan kadar ketampanannya yang terverifikasi di atas rata-rata.
"Gue benci lo, Tam."
"Tapi lo nggak pernah berhenti mencintai gue . Iya kan?" Tebakan Tama tidak mungkin salah. Karena penerimaan Sora akan ciumannya masih sama seperti dulu.
"Ge-er. Gue mungkin rindu romansa ini, tapi gue tetap benci sama lo."
"Kalau gitu, kita bahas nanti. Sekarang...." Tama menjeda kalimatnya sambil menekan pinggulnya ke bagian tengah paha Sora yang sudah terbuka lebar. "Dia pengen ketemu sama lo, Sayang."
Napas Sora tercekat. Berhubung dia hanya memakai piyama dengan bahan satin, sudah tentu itu sangat tipis. Dia langsung bisa merasakan senjata Tama yang sudah mengeras. Dan jangan lupakan bagaimana cara pria itu memanggilnya. Itu sungguh-sungguh memabukkan di telinga.
"Jangan kejauhan selingkuhnya, Tam. Sampai di sini aja." Namun wajah Giselle masih melintas di dalam benak perempuan itu. Dia merasa bersalah.
"Come on. Empat bulan gue menahan ini, Ra. Gue tersiksa melihat lo setiap hari tapi nggak bisa menyentuh lo." Tama juga sudah mabuk. Tatapannya sayu dan sendu. Dia sungguh menginginkan Sora malam ini.
Ini menakutkan sekaligus membingungkan bagi Sora. Seharusnya keputusan Sora tergantung pada penjelasan Tama tentang hubungan dengan Giselle bukan?
Tapi, kenapa godaannya sangat besar? Tubuh wanita itu seperti sudah siap untuk menari-nari di atas Tama. Pita suaranya pun seperti sudah tidak sabaran ingin menyerukan nama laki-laki itu dengan lantang. Oh Tuhan, apa yang harus dia pilih?
Tama kembali memberikan ciuman untuk membantunya membuat keputusan. Laki-laki itu semakin membangkitkan hasrat Sora dengan gerakan lidahnya yang liar. Sora gelagapan. Namun tetap berusaha mengimbangi ciuman nikmat itu semampunya. Rasa geli menjalar ke seluruh titik tubuh, termasuk bagian basah yang diinginkan Tama.
Bolehkah? Tapi dia pacar wanita lain.
"Sora... dia nggak bisa menunggu lebih lama lagi. Tolong katakan iya," mohon Tama frustasi. Adiknya sudah meronta-ronta minta masuk ke dalam sangkar.
"Tama, lo tau gue kayak gimana." Sepertinya pertahanan Sora mulai goyah.
Mendengar itu, Tama langsung kesenangan. "Iya. Gue tau lo juga pengen," tebaknya percaya diri. Saat Sora mengangguk untuk mengkonfirmasi, saat itu pula Tama merasakan hidupnya kembali berwarna.
"I love you, Sora. I love you," ucapnya tulus bercampur napsu. Kembali menarik dua belah bibir tipis Sora dan melumatnya agresif.
Lalu hal pertama yang Tama lakukan adalah meraba dada Sora dari dalam piyama yang wanita itu kenakan. Oohhh, after months, akhirnya dia bisa meremas squishy ini.
"Tama, ssshhh." Sora mendesah kenikmatan. Sumpah demi apapun, dia tidak akan menyesali keputusannya sudah pulang malam ini. This is a beautiful night.
"Gue udah nggak sabar mendengar teriakan lo pas klimaks. Lo siap, sayang?" tanya Tama sambil memainkan puncak dada Sora yang sudah ada di depan mata.
"Iya, Tam. Tapi, lo ada k*ndom 'kan?"
Laki-laki itu menggeleng, dengan wajah yang kini kembali berhadapan. Begitu dekat. Jari-jarinya yang besar mulai meraba lembah yang sudah basah seperti terkena banjir bandang.
"Mulai sekarang, jangan ada k*ndom di antara kita."
***