Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 4
"Woy, si anjing!" Kafka memekik heboh, mengundang Selena yang semula menunduk bermain ponsel untuk mendongak dengan panik.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Selena.
Kafka tak memberikan jawaban. Sebab matanya sudah kadung fokus pada pemandangan di seberang, di mana Tenggara si playboy busuk dengan seenak jidatnya memeluk tubuh Ganesha.
Tak mendapatkan jawaban, Selena pun turut melayangkan pandangan. Hanya untuk dibuat terngaga, sampai-sampai tidak sadar telah menjatuhkan ponsel dari genggaman dengan gerak yang begitu dramatis.
"Itu ... Ganesha beneran lagi dipeluk sama Tenggara?" Gadis itu bertanya dengan sisa-sisa suara yang masih bisa dia keluarkan dari tenggorokannya. "Is it real? Bukan mimpi?" sambungnya seraya mengucek kedua kelopak matanya.
Mendengar reaksi Selena yang tak sesuai dengan miliknya, Kafka lantas mendelik. "Reaksi apaan begitu? Temen lo lagi dipeluk-peluk sama cowok bajingan, anjir," omelnya.
Selena menoleh cepat ke arah Kafka, balik memicing ke arah cowok itu. "Ini namanya kemajuan, bodoh. Siapa tahu aja ini bisa jadi awal yang baik buat Ganesha sama Tenggara."
"Nggak usah mimpi!" sergah Kafka, kentara sekali tidak suka pada pemikiran soal bersatunya Ganesha dan Tenggara. "Si playboy busuk itu cuma lagi manfaatin empatinya Nesha, buat ambil keuntungannya sendiri. Sebagai teman, lo seharusnya bantuin gue buat bikin Nesha stop doing stupid things buat tu cowok."
"Stupid things?" Selena tertawa meremehkan. Merasa geli pada pemikiran konyol yang Kafka utarakan. "Nggak ada satu pun tindakan Nesha yang bisa lo sebut as a stupid things, Soe. Dia cuma lakuin sesuatu yang dia bisa buat orang yang dia suka, dan itu sama sekali nggak ada salahnya."
"Alah!" Kafka mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Selena. "Capek emang ngomong sama perempuan, logikanya ketutup sama perasaan!" Kemudian ia kembali menatap ke depan dengan sorot mata yang semakin terlihat tidak suka.
"Sama," celetuk Selena, dengan satu sudut bibir yang terangkat. "Gue juga capek ngomong sama manusia munafik kayak lo."
Dengan kedua tangan yang terkepal di atas kemudi, Kafka kembali menoleh ke arah Selena. "Maksud lo apaan?"
Sebelah sudut bibir Selena semakin naik, sementara sorot matanya terasa menusuk tepat ke manik mata legam milik Kafka. "Lo suka, kan, sama Nesha? Makanya lo paling sewot dan selalu semangat buat bikin Nesha move on dari Tenggara? Ngaku aja, deh, sikap lo udah kelihatan banget soalnya."
"Jangan sembarangan ngomong!"
"Fakta." Selena menyela cepat. "Your body language speaks a lot. Kalau cuma sekadar sikap peduli as a friend, lo nggak akan sampai sejauh ini."
"She's our best friend, wajar kalau gue bersikap protektif ke dia. Gue nggak mau dia jatuh ke pelukan cowok yang salah!"
"Terus, gimana sama gue?" Selena menunjuk wajahnya sendiri. "Gue juga temen lo, Soe, tapi lo nggak pernah nunjukin sikap protektif yang sama."
Kafka menyandarkan punggungnya ke kursi seraya melipat kedua lengan di depan dada. "Jadi, lo iri sama Nesha? Enam tahun kita bertiga temenan, dan lo diam-diam melihara rasa iri ke temen lo sendiri?"
"That's not the point, Soe! Ini bukan soal gue iri atau--"
"Gue nggak suka sama Nesha. Stop ngomong ngelantur, gue nggak suka." Kafka memberikan statement final.
Bertepatan dengan hening yang tercipta setelah tidak ada lagi sahutan dari Selena, hujan turun. Suara rintiknya yang jatuh ke atap mobil menjadi distraksi, untuk pikiran-pikiran mereka yang tak kalah kacaunya ketimbang dua anak manusia yang hujan-hujanan di seberang sana itu.
...----------------...
Enam tahun menjalin pertemanan, belum pernah sekali pun Selena merasakan kecanggungan yang luar biasa dahsyat ketika sedang bersama dengan Kafka. Memang, mereka sering berdebat, adu mulut untuk hal-hal sepele yang sebenarnya tidak penting untuk dilakukan. Tetapi, mereka tidak pernah berakhir saling diam. Selalu mudah mencari cara untuk kembali cair seperti semula. Selalu mudah untuk kembali tenggelam dalam tawa, melupakan perdebatan sengit yang terjadi sebelumnya.
Di luar, hujan masih turun cukup deras. Menangis di Jalan Pulang milik Nadin Amizah mengalun pelan melalui tape mobil, menemani kecanggungan yang seakan tertawa pongah karena telah berhasil menekan Selena untuk tetap diam beku di tempatnya duduk.
Bait demi bait yang terdengar semakin lama semakin membuat Selena tertusuk. Seolah setiap kata yang keluar dari bibir manis Nadin adalah gambaran nyata kondisi dirinya dan Kafka saat ini.
Kita menangis, di perjalanan pulang. Mencari jalan, tak pernah sampai tujuan.
Terlalu hancur, terburai dan berantakan...
Mungkin memang salahnya, terlalu lancang mengeluarkan isi kepala perihal sesuatu yang sebenarnya dia sendiri pun belum tahu kebenarannya. Ia hanya menggunakan feeling, mencocokkan segala tindakan yang Kafka lakukan untuk Ganesha dengan teori-teori yang berkembang liar di dalam kepala.
Padahal, sedari dulu, mereka telah membuat janji untuk tidak saling jatuh hati. Mereka ingin membangun pertemanan yang abadi tanpa melibatkan perasaan cinta atau apalah itu, tetapi malah dia sendiri yang membawa topik tersebut ke dalam pertemanan mereka yang sedang baik-baik saja.
Jangan ucap kata itu lagi...
Jangan lupa kita saling men--
Lagu yang mengalun terputus, menyisakan hanya suara rinai hujan yang menembus sampai ke dalam mobil.
Selena menolehkan kepala, memutus tatapan dari titik-titik hujan yang jatuh membasahi jalanan beraspal. Hanya untuk menemukan Kafka terduduk menyandarkan punggung, menatap lurus ke arah depan. Kedua tangan lelaki itu bersemayam di atas kemudi. Cengkeramannya erat, seperti hanya di sanalah dia bisa menopangkan diri.
"I'm sorry," lirih lelaki itu. Suaranya yang berat terdengar timbul-tenggelam di tengah derasnya hantaman air hujan di atas atap mobil. "Gue nggak bermaksud marah-marah sama lo, atau bikin lo merasa kalau perhatian gue ke lo dan ke Nesha itu berbeda. I'm just trying my best buat lindungin kalian, sebagai satu-satunya cowok di circle pertemanan kita."
Sebagai seseorang yang memulai keributan, Selena memilih untuk tetap diam. Dia tahu masih banyak hal yang ingin Kafka ungkapkan. Masih banyak unek-unek yang lelaki itu simpan sendirian selama bertahun-tahun mereka berteman.
Sebab Kafka memang begitu. Lebih suka memendam semuanya sendirian dan selalu berkata I'm fine alih-alih berbagi kecemasan. Ibarat laut, dia adalah bagian paling dalam. Tak satu pun akan tahu apa yang tersimpan di dalamnya, kecuali ia sendiri yang bersedia menampakkannya ke permukaan. Bahkan enam tahun bersama, Selena masih banyak tidak tahu perihal segala hal yang lelaki itu simpan rapat sendirian.
"Gue udah muak ngeliat Nesha jatuh bangun ngejar Tenggara, tapi nggak pernah ada hasilnya. That's why gue selalu cerewet minta dia buat berhenti bucin sama playboy busuk itu." Setelah mengambil napas dalam-dalam, Kafka menoleh. Netra kelamnya bertemu dengan milik Selena, terpaku cukup lama dalam satu garis yang hanya mereka berdua bisa melihatnya. "Demi Tuhan, Sel, gue sama sekali nggak ngelakuin ini karena gue punya perasaan lebih ke Ganesha. We're friends, dan kita udah bikin janji untuk saling jaga satu sama lain tanpa melibatkan perasaan."
"Gue juga nggak pernah lebih mengutamakan Ganesha dibanding lo. Kalian berdua sama di mata gue, sama-sama pengin gue lindungin semampu gue," katanya, suaranya mulai bergetar.
"Katakanlah lo yang sekarang lagi ada di posisi Ganesha. Lo bucin ke cowok yang jelas-jelas nggak bisa kasih timbal balik buat perasaan lo, gue juga pasti bakal lakuin yang sama. Gue juga bakal berusaha semampu gue buat jauhin lo dari cowok itu karena ... karena..." Mendadak, Kafka tak bisa melanjutkan ucapannya. Sebab tiba-tiba saja, dia merasa bersalah. Jika diteruskan, dia mungkin akan mengeluarkan statement yang malah akan memperkeruh suasana.
Sekali lagi, Kafka menarik napas begitu dalam, lalu dia kembali menatap ke depan. "I don't know how to tell you, kalau apa yang gue lakuin bener-bener cuma sebatas upaya buat lindungin temen-temen yang gue sayang." Lantas tatapannya jatuh setelah ia selesai bicara.
Selalu begini. Tidak pernah ada yang bisa Kafka tuntaskan dari perasaannya. Ia selalu berakhir berhenti di tengah-tengah. Membuat semuanya stuck di satu titik yang itu-itu saja. Ketakutannya bahwa keadaan akan berubah jika dia berusaha jujur telah membuatnya menjadi pengecut. Memilih terus bersembunyi di dalam cangkang, di dalam zona nyaman.
Sementara di tempatnya duduk, Selena masih tidak tahu harus mengatakan apa. Maka yang bisa dia lakukan di dalam kekeluan lidahnya itu adalah bergerak mendekat. Perlahan-lahan, hingga kemudian lengannya berhasil merengkuh pundak Kafka, lalu tubuh kekar itu dia bawa ke dalam pelukan.
Masih tak ada satu kata pun yang berhasil lolos dari bibir Selena. Ia hanya memeluk Kafka sebisanya, menepuk-nepuk punggung lelaki itu untuk memberikan kode bahwa setidaknya, dia mengerti apa yang hendak disampaikan kepadanya.
Sorot mata Kafka ketika berbicara dengannya terlalu jujur. Terlalu tulus untuk bisa dia sangkal, atau dia curigai sebagai sebuah bentuk kebohongan. Jadi dalam pelukan itu, Selena berbisik lirih di dalam hati, "I know, Soe. I know. I'm sorry."
Bersambung....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅