Sakit! Paman, Duke

Setelah perdebatan itu, Caroline memilih sendirian menelusuri jalan Ibu Kota. Hatinya hanya menuruti langkah kakinya. Ia tidak tau mau kemana? yang jelas ia ingin menjauh dari Duke Elios, nona Ariana dan Pangeran Oskar.

Caroline mendongakkan wajahnya, terik matahari berada tepat di atas kepalanya. Caroline menghapus keringat di dahinya. Ia terus berjalan dan berjalan sampai kakinya lelah. Tanpa sadar, kakinya berjalan ke arah jalan kecil. Entahlah tempat itu dimana? yang paling penting, ia ingin menghilangkan kekesalaannya.

"Tuan, tuan." Teriak salah satu seorang pengawal. Caroline melihat ke arah orang itu.

"Tuan Knight." Seru Caroline menghampirinya.

"Tuan, tuan," panggil Caroline khawatir, ia menepuk pelan pipi Tuan Knight.

"Saya tidak tau nona, tiba-tiba Tuan Knight pingsan. Padahal tadi pagi Tuan baik-baik saja." Ucap salah satu pelayan lainnya. Semua orang kelihatan khawatir, mereka takut terjadi apa-apa dengan sang majikan.

Tuan Knight yang merasakan seseorang menepuk pipinya dan memanggilnya. Ia membuka matanya, ia melihat samar-samar wajah pelayan dan pengawalnya yang mengerubunginya. Matanya beralih ke kanan, melihat wajah seseorang yang tidak asing baginya. Ia menatap wanita di sampingnya, pikirannya pun tersadar. Wanita di sampingnya hanyalah bayangan yang menyakitkan bagi dirinya.

"Minggir." Bentaknya menatap tajam ke arah Caroline. "Jangan menyentuh ku." Sambungnya lagi. Tuan Knight bermaksud menyingkirkan tangan pengawal dan pelayan yang membantunya berdiri.

"Minggir," bentaknya lagi.

Hati Caroline merasa iba, ia ingin membantu laki-laki di depannya dan hendak memapahnya. Caroline hendak membantu memapah tubuh Tuan Knight yang terlihat lemah, akan tetapi sebelum Caroline menyentuh bahunya. Dengan kasar Tuan Knight menepis tangannya.

"Aku jijik dengan tangan mu. Seharusnya seorang wanita seperti dirimu, jangan menjadi perusak hubungan orang." Serunya berteriak. Ia tidak memperdulikan orang-orang yang berbisik di depan maupun di sampingnya.

"Seharusnya kamu berfikir, mana ada seorang wanita yang meminta cinta pada laki-laki yang sudah memiliki tunangan." Ejeknya tersenyum sinis. Hatinya terlalu sakit mengingat semuanya. Hari ini ia akan menumpahkan semuanya, detik ini juga hatinya akan puas mempermalukan anak wanita yang pernah ia cintai.

"Wanita apa namanya? jika masih berharap dan mencintai laki-laki lain." Tuan Knight terkekeh. "Sadarlah, Duke Elios hanya pantas untuk nona Ariana."

Deg

Perkataan Tuan Knight tepat memanah di hatinya. Caroline semakin mempererat kepalan tangannya. Hari ini ia benar-benar di permalukan habis-habisan.

"Benar saya salah, tapi cinta tidak pernah salah. Hanya saja tempat dan waktunya salah."

Tuan Knight tertawa, "Benar ! tempat dan waktunya yang salah. Begitu pun aku, maka dari itu jangan pernah mencari alasan untuk bersamanya."

"Aku tidak tergila padanya dan aku tidak mencintainya." Teriak Caroline dengan amarah yang menggebu-gebu.

"Tidak mencintai, tapi sering menempel. Bahkan berpura-pura tak peduli. Padahal peduli."

Seandainya kamu anak ku, aku akan menyayangi mu, tapi sayang, kamu bukan anak ku. Kita lihat saja Belia, sampai kapan Putri kesayangan mu akan bertahan.

"Sama seperti Ibu mu, sama-sama pengkhianat dan wanita licik."

Caroline menggertakkan giginya, ia menunjuk Tuan Knight. "Tuan boleh menghina saya, tapi jangan menghina Ibu saya." Ucapnya tajam.

"Benarkah, tapi faktanya memang benar. Ibu dan Anak sama saja." Ucap Tuan Knight, cukup dirinya yang merasakan sakit hati di masa lalu. Kali ini, Ariana putri satu-satunya, ia tidak akan pernah membiarkan masa lalu menyerang Putrinya. Sebagai seorang ayah ia akan melindungi Ariana.

Dada Caroline naik turun, dalam kamusnya tidak akan ada kata menangis saat dirinya di hina sekalipun.

"Apa yang Tuan dengar dan lihat, belum tentu kebenaranya." Ucap Caroline langsung pergi.

"Sial !" Ucap Caroline menendang sebuah pohon di depannya. "Seharusnya aku tidak membantunya dan tidak perlu khawatir. Andai saja aku tau dia Ayah si benalu itu. Tentunya aku tidak akan menolongnya jika harus mendapatkan penghinaan itu, ingin sekali aku mencakar wajah sok tampan dan sombongnya itu." Gumam Caroline, ia merutuki kebodohannya.