Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Hujan Reda, Chemistry, dan Candaan yang Menggoda
Hujan di luar perlahan mereda. Tetesan air di kaca mobil mulai jarang, berjatuhan satu per satu seperti butiran mutiara yang lembut, dan cahaya sore menyelinap melalui awan kelabu—membuat jalanan basah memantul cahaya emas yang indah. Aku menatap Cakra yang mengemudi dengan tenang sekarang, wajahnya masih serius tapi tidak lagi tegang seperti sebelumnya. Napasku mulai normal, tapi hati masih berdebar—seperti ada burung kecil yang masih terbang kencang di dalam dada.
Aku mencoba mencairkan suasana, bikin candaan biar nggak terlalu hening dan bikin aku lebih gugup.
“Jadi… sekarang kita ‘selamat’ dari badai emosi lo, ya? Berhak banget buat nyanyi lagu ‘Badai Pasti Berlalu’ deh—gue nyanyi, lo iringi pake irama wiper.” Suaraku ringan, setengah tersenyum, tapi mataku tetap mengintip reaksinya dari samping—khawatir terlalu banyak ngomong bikin dia kesal lagi.
Cakra menoleh sekilas, alisnya terangkat sedikit, bibirnya mengerut seolah marah tapi aku tahu dia menahan senyum. “Badai emosi… hmm… bisa jadi. Tapi jangan buat gue senyum sekarang. Gue masih nyetir serius—jalan masih licin, jangan sampe lo bikin gue lupa ngeliat jalan.”
Aku menahan tawa, menepuk ringan dashboard yang kaku. “Peres. Tapi… sedikit senyum nggak bakal bikin kita kecelakaan, kan? Lagipula, senyum lo keliatan lebih ganteng ketimbang tatapan dingin yang bikin orang malu.” ettt—keceplosan.
Dia menghela napas pelan, tapi kali ini ada nada ringan di suaranya—seperti dia juga mau bercanda tapi malu ngaku. "Kalau kita nabrak polisi tidur siap tanggung jawab?”
Aku memiringkan kepala, suruh siapa flirting duluan. aku menatapnya nakal tapi tetap sopan, aku akan balas. “Tanggung jawab itu, kan? Gue kan partner-lo. Partner yang baik harus memastikan mood-lo stabil, biar nggak ada badai lagi. Lagipula… Gue kan udah janji bakal bantu lo tetap logis—dan sedikit senyum itu bagian dari logika penenangan!”
Sekilas dia tersenyum tipis—sangat cepat, seolah disembunyikan—but aku langsung lihat. Urat di dahinya masih sedikit tegang, tapi matanya mulai melembut seperti air hujan yang reda. Rasanya… berhasil sedikit mencairkan ketegangan yang ada.
Aku mencoba lebih playful, bikin dia makin santai. Menjaga untuk tidak berlebihan. “Eh, ngomong-ngomong… soal tadi. Gue nggak nanya, tapi… siapa yang bikin lo sampe semarah itu? Masih kepo nih—gue kan orang yang suka tau drama sekolah.”
Dia diam sebentar, kemudian menarik napas panjang seolah mau buang semua beban. “Orang itu… Bicara omong kosong, bikin orang lain terganggu. Tapi gue… terlalu dibawa perasaan. Gue nggak mau lo kepikiran, jadi ya… lebih baik nggak gue ceritain detailnya."
Aku mengangguk, tapi tak bisa menahan senyum kecil. “Huh, serius banget… Ya udah gue bisa nyari tahu sendiri kok."
Dia menoleh, matanya menatapku tajam tapi ada kilatan geli di sudut bibirnya. “Lo ini… nakal banget, tau nggak? Udah tahu gue nggak mau cerita, malah begitu.”
Aku menepuk tangan pelan, pura-pura bangga. "Ya kalau gue mah, semua masalah itu lebih baik diobrolin. Nggak usah ada yang ditutup-tutupin Cak. Nanti terlanjur kepo, jadi curigaan."
Dia tersenyum tipis lagi, dan aku bisa lihat pipinya sedikit memerah—bikin jantungku berdebar lebih kencang. Aku menahan senyum karena merasa… berhasil bikin dia sedikit lebih santai, meskipun cuma sebentar.
Aku memutar sedikit badan, menunjuk ke kaca depan yang sudah lebih jernih. “Lihat deh… jalan licin, hujan barusan deras, kita bisa selamat itu Alhamdulillah. Jadi gue bisa bangga sama diri gue sendiri, kan? Dan lo… harus bangga juga, karena berhasil dikawal partner terbaik di sekolah—yang sekaligus bisa lari estafet dan ngebantu manajemen emosi.”
Cakra menahan tawa kecil, suaranya lembut seolah takut bikin aku kesal. “Partner terbaik… lo ini… terlalu pede. Lupa ya kalo kemarin lari estafet, lo ngos-ngosan sampe mulut terbuka dan nyari air minum sembarangan?”
Aku mengangkat bahu, pura-pura serius. “Ya, itu bagian dari kontrak kita. Partner profesional harus percaya diri—meskipun ngos-ngosan. Bomat dengan komuk cantik atau nggak. Kalau dipikir-pikir gue nggak punya skill orang bakalan ngomong ‘pacar pura-pura Cakra nggak kuat lari, cuma pandai ngomong’.”
Dia tersenyum lebih lebar sekarang, dan aku bisa lihat matanya mulai cerah seperti langit yang baru reda hujan. Aku merasakan getaran hangat di dada—seperti chemistry kecil yang muncul tiba-tiba tapi nyata, bikin hati gue bervibrasi. Aku menoleh, menatap hujan yang mulai reda di luar, tapi tetap menjaga nada bicara ringan.
Aku lalu mencondongkan badan ke arah dashboard, bersuara sedikit nakal tapi logis. “Eh… kalau misalnya gue nggak ada di sini, siapa yang bakal bikin lo berhenti sejenak, tarik napas, dan berpikir tenang, dingin? Kan bisa bahaya tuh kalau cuma di jalan, marah-marah sendirian. Bisa sampe nabrak pohon atau bikin mobil mogok.”
Cakra menoleh ke arahku, matanya sedikit melembut—sangat melembut, bikin aku merasa tersentuh sampai bikin mulut kering. Mata bulatnya entah kenapa seolah membesar dan tidak berkedip. “Lo… serius deh. Tapi memang… mungkin lo yang paling bisa bikin aku tenang. Seperti… pelarian dari semua kebingungan dan omong kosong orang lain.”
Aku menahan tawa pelan, tapi tak bisa menahan perasaan aneh—hangat, gugup, tapi senang banget. “Lihat kan? Jadi partner-lo itu penting. Gue nggak cuma ikut mobil ini, tapi juga ikut ngurus hati lo yang… kadang kayak badai. Seperti perahu yang bantu nyelamatin kapal dari ombak—meskipun perahu ini kadang ngos-ngosan juga.”
Dia tersenyum tipis lagi, dan kali ini aku merasakan bahwa jarak antara kita sedikit menyusut—seolah udara di mobil jadi lebih hangat dan dekat. Aku menoleh, menatap jalan, tapi hati masih berdebar.
“Eh, tapi jujur deh… lo nggak boleh kebawa emosi lagi. Gue kan, cuma partner pura-pura… kalau lo sampe bikin panik lagi, kontrak kita bisa batal. Lagian, siapa yang mau pacaran sama orang galak di tengah hujan deras? Gue udah cukup deg-degan hari ini.” Aku menyenggol bahunya pelan, setengah bercanda—sentuhan ringan yang bikin jantungku berdebar lebih kencang, seolah ada listrik yang mengalir.
Dia menoleh cepat, bibirnya mengerut sedikit, tapi ada senyum tipis di sudut mulutnya. “Galak? Gue?”
Aku mengangkat bahu, pura-pura cuek. “Ya siapa lagi? Monyet?"
Cakra menarik napas panjang, matanya menatap jalan, tapi aku bisa lihat dia tersenyum lebar sekarang. “Bosannya. Mungkin lo benar. Tapi jangan kebanyakan bertingkah. Nanti gue bingung sampe lupa ngemudi dan kita belok ke arah yang salah.”
Aku menatapnya lagi, sambil tersenyum tipis. “Iya deh, semua tindakan gue ada alasannya. Semua demi keselamatan lo, keselamatan kontrak, dan… keselamatan kita berdua. Ini semua sudah dipikirkan dengan matang—seperti ngerjain soal matematika yang sulit.”
Dia menoleh, tatapan tajam tapi ada hangatnya yang tidak bisa disembunyikan. “Jadi, sekarang Lo lebih cerewet ya?"
Siapa bilang? Aku merapatkan bibir. Sadar aku terlalu banyak mengoceh hari ini kepada Cakra. "Besok-besok gue nggak gini lagi."
Cakra menghela napas pelan, wajahnya terlihat lebih rileks—bahkan tenang seperti danau yang sudah tidak bergelombang. Aku tersenyum tipis dalam hati—akhirnya berhasil menurunkan sedikit ketegangan dia tanpa harus terlalu memaksa. Chemistry kecil ini… lucu, hangat, tapi tetap aman sesuai kontrak yang kita buat—seperti garis batas yang jelas tapi tetap bisa dilewati dengan senyum.
Aku mencondongkan kepala ke jendela, menatap sisa hujan yang jatuh ke pohon di pinggir jalan—dedaunan mereka basah dan mengkilap di cahaya sore. Memang mulut dan hatiku sedang bergelung dengan kalimat-kalimat untuknya. “Tapi Cak, kalau besok ada badai emosi lagi, lo janji nggak bawa-bawa ke jalan ya?"
Dia menoleh, senyum tipis, matanya sedikit berbinar seperti bintang yang baru muncul setelah hujan. “Iya… janji. Tapi kalau ada yang bikin gue kesel, lo tetep harus ada, kan? .”
Aku tersenyum nakal, menyenggol bahunya lagi pelan—sentuhan yang lebih tegas sedikit, bikin dia sedikit terkejut. “Ya kali mau dua kali, ogah."
Dia menahan tawa, tapi aku bisa dengar nada ringan di suaranya yang bikin hati aku hangat sampe ke jari-jari. “Lo, partner paling aneh deh tapi… paling bermanfaat juga—”
Tanpa sengaja malah tangan aku memencet tombol didasboard mobil, dan membuat radio menyala. Badanku terjengat panik. "Ih, gimana matiinnya Cak?"
"Masa nggak bisa?"
"Gue kan nggak biasa pake mobil. Et—tapi lagunya bagus nih. Jangan dimatiin deh, biar refresh."
Aku tersenyum tipis, menatap setirnya yang dia pegang dengan lembut sekarang, dan hati terasa aneh—hangat, lega, tapi tetap sedikit deg-degan. Di mobil ini, di tengah hening dan cahaya sore, chemistry kecil muncul. Aku merasa… bisa mengontrol sedikit situasi, bisa menenangkan orang lain, dan tetap menjaga diriku sendiri sesuai kontrak.
Aku meneguk air mineral dari tas yang masih ada di saku, tersenyum tipis lagi. Hari ini… mungkin berakhir dengan hujan yang reda, dan aku yang bekser, bolak-balik ke kamar mandi. Tapi aku belajar satu hal. chemistry itu muncul dari perhatian kecil, candaan yang lucu, dan logika yang tulus—not cuma dari kata-kata manis. Dan… aku menikmati setiap detik kecil itu, meskipun harus selalu ingat: ini cuma pacaran pura-pura. Tapi siapa tau…?
Jangan berharap terlalu banyak, Kayyisa. Kontrak cuma kontrak. Batinku menegur, tapi hati aku tetap senyum.
✨ Bersambung…