Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita simpanan
Pintu rumah terbuka pelan. Tasya masuk dengan langkah lelah, berusaha menyembunyikan wajah cemasnya. Tapi pandangannya langsung bertemu dengan Revan yang berdiri di ruang tamu, menatapnya tajam sekaligus khawatir.
"Kok lama banget? Katanya cuma ketemu klien sebentar?" suara Revan terdengar penuh selidik.
Tasya terdiam sepersekian detik, jantungnya berdegup kencang. Ia lalu tersenyum kecil, mencoba meyakinkan. "Iya … tadi keasikan ngobrol, jadi agak lupa waktu."
Revan menghela napas panjang, lalu mendekat. "Kamu bikin aku khawatir, Sya." Tanpa banyak kata, tangannya langsung menarik Tasya ke dalam pelukan.
Tasya terkejut, tubuhnya sempat kaku, sebelum akhirnya ia membalas pelukan itu. Ada rasa hangat sekaligus getir di dadanya. Revan menunduk, membisikkan, "besok kalau mau ketemu klien atau siapapun itu, aku ikut, ya?"
Tasya hanya mengangguk kecil di pelukan itu. Hatinya bergetar hebat, antara bahagia dan takut.
Namun momen itu buyar seketika saat terdengar suara serak dari arah tangga.
"Ehem … ada apa ini?" suara Bi Ijah membuat keduanya refleks melepas pelukan dengan wajah kikuk.
Pipi Tasya memerah, sementara Revan cepat-cepat berdeham, pura-pura sibuk merapikan kerah bajunya. "Nggak … nggak ada apa-apa, Bi."
Bi Ijah tersenyum jahil, matanya menyipit penuh arti. "Iya deh, nggak ada apa-apa …" gumamnya sambil berlalu, tapi senyumnya tak hilang.
Tasya menunduk, malu setengah mati. Revan meliriknya sekilas lalu tersenyum tipis, menahan tawa.
Begitu Revan merapikan helaian rambutnya, Tasya buru-buru mengalihkan pandangan. Wajahnya masih memanas, tapi ia berusaha menenangkan diri. Daripada terjebak suasana canggung, ia cepat-cepat membuka suara.
"Revan … investigasi soal data itu gimana? Kamu udah nemuin siapa yang rusak file perusahaan kita?" tanyanya sambil duduk di tepi ranjang, pura-pura santai.
Revan sempat terdiam, lalu menarik napas panjang. Senyumnya memudar berganti dengan ekspresi serius. "Belum, aku udah cek semua jalur akses, tapi pelakunya cukup rapi nutup jejak. Kayak orang dalam yang paham sistem."
Tasya menatapnya cermat. "Berarti ... kemungkinan besar orang deket, ya?"
Revan mengangguk pelan, duduk di kursi dekat meja kerja. "Iya. Dan itu yang bikin aku kesel. Orangnya masih bebas di sekitar kita, pura-pura nggak bersalah."
Suasana kamar mendadak berubah hening, serius. Tasya menggenggam tangannya sendiri, mencoba memberi dorongan. "Kamu pasti bisa nemuin pelakunya, Revan. Aku percaya sama kamu."
Revan menatap Tasya lama, sorot matanya melembut. "Makasih, Sya. Dengar kamu ngomong gitu aja rasanya beban aku agak ringan."
Tasya tersenyum tipis, meski hatinya tetap bergemuruh. Ia hanya ingin Revan tetap kuat, meski dirinya sendiri sedang rapuh.
---
Keesokan paginya, suasana kantor cukup sibuk. Para karyawan sudah berkutat dengan berkas dan laptop masing-masing. Tasya baru saja tiba bersama Revan, tapi wajahnya terlihat pucat dan lelah.
Begitu duduk di meja kerjanya, Fira sempat melirik khawatir. "Tas, kamu nggak apa-apa? Kok pucat banget?"
Tasya tersenyum tipis, berusaha menutupi. "Mungkin karena semalam aku begadang."
Belum sempat Fira menanggapi, Aldo datang menghampiri dengan segelas air mineral di tangannya. "Tasya, minum dulu. Kamu kelihatan nggak fit."
Tasya agak kaget, tapi tetap menerima gelas itu. "Makasih, Al. Aku baik-baik aja kok."
Aldo menatapnya tajam, seolah berusaha membaca kebenaran dari wajah Tasya. "Jangan bohong, ya. Kamu pucat banget. Kalau sakit, bilang. Jangan dipaksain kerja."
Tasya terkekeh pelan, mencoba mencairkan suasana. *Aku sehat, beneran. Paling cuma butuh kopi sama tidur cukup."
Tapi ekspresi Aldo jelas tidak puas dengan jawaban itu. Ia masih berdiri di samping meja Tasya, seakan menunggu pengakuan lebih.
Sementara itu, dari kejauhan, Revan yang sedang berbicara dengan tim IT sempat melirik ke arah mereka. Matanya sedikit menyipit, tidak nyaman melihat Aldo terlalu memperhatikan Tasya.
Suasana kantor mendadak riuh. Beberapa karyawan terlihat berbisik-bisik sambil menatap ke arah meja Tasya. Ada yang pura-pura sibuk, ada pula yang senyum-senyum penuh arti.
Tasya merasakan tatapan-tatapan itu, membuat dadanya terasa sesak. Ia baru saja hendak bertanya ke Fira ketika samar-samar terdengar bisikan dari dua rekan di pojokan.
"Katanya sih Tasya itu simpanan om-om, makanya bisa kerja di sini."
"Masa sih? Pantesan keliatan manja banget, nggak heran kalau ada yang modalin."
Tasya membeku di tempatnya. Tangannya mengepal kuat di atas meja.
Tak butuh waktu lama, sumber keributan itu akhirnya terkuak. Vera muncul dengan wajah sok polos, seakan tak bersalah, padahal jelas-jelas dialah yang barusan cerita ke beberapa orang hingga gosip menyebar.
Tasya berdiri, langkahnya tegas menghampiri Vera. "Kamu yang mulai, kan?" suaranya rendah tapi menusuk.
Vera mengangkat alis pura-pura bingung. "Mulai apa, Tasya? Aku nggak ngerti maksud kamu."
"Jangan pura-pura polos, deh. Aku denger sendiri dari orang lain. Kamu nyebarin fitnah kalau aku simpanan om-om." Tatapan Tasya tajam, penuh amarah yang ditahannya.
Beberapa karyawan mulai mendekat, ingin tahu kelanjutan drama itu. Vera malah tersenyum miring, lalu menatap orang-orang sekitar. "Aku cuma cerita apa yang aku denger. Kalau itu nggak bener, kenapa kamu sampai segini marahnya?"
Tasya menghela napas panjang, lalu mendekat satu langkah. "Aku kasih peringatan ke kamu. Sekali lagi kamu berani nyebarin omong kosong tentang aku, aku nggak akan segan buat ambil langkah serius. Ngerti?!"
Wajah Vera sempat berubah kaku, tapi detik berikutnya ia langsung memegang dadanya pura-pura tersinggung. "Kalian lihat kan? Aku cuma ngomong biasa malah diteriakin. Aku malah jadi korban di sini."
Beberapa karyawan mulai bisik-bisik lagi, suasana makin panas.
Tiba-tiba suara tegas memotong suasana.
"Cukup, Vera!"
Semua kepala menoleh. Aldo berdiri di pintu dengan ekspresi dingin, tatapannya menusuk langsung ke arah Vera. Ia melangkah masuk, menatap satu per satu orang yang masih berbisik.
"Kalau kalian semua punya kerjaan, kerjain. Jangan buang waktu buat gosip murahan." Suaranya berat, membuat beberapa orang langsung kembali ke meja masing-masing.
Aldo lalu berhenti tepat di depan Vera. "Dan kamu, Vera. Mulutmu jangan dipakai buat nyebarin fitnah. Tasya itu rekan kerja kita, dia perempuan baik, cerdas dan sangat membantu pekerjaan kita."
Wajah Vera seketika memucat, tapi ia masih berusaha membela diri. "Aku kan cuma menyampaikan apa yang aku denger, Do. Lagian—"
"Jangan main-main sama aku," potong Aldo dengan nada tajam. "Aku tahu kamu yang mulai. Kalau aku dengar sekali lagi kamu nyebar omongan sampah kayak gini, aku sendiri yang bakal laporin ke HRD. Paham?"
Ruangan mendadak hening. Vera menelan ludah, matanya berkedip cepat, lalu pura-pura tersenyum kaku. "Yaudah … aku nggak maksud buruk kok."
Aldo menoleh pada Tasya, suaranya lebih lembut. "Kamu nggak usah ambil pusing. Fokus aja kerja, biar aku yang urus kalau ada yang coba macam-macam apalagi hal yang nggak pentin kayak gini."
Tasya terdiam beberapa detik, hatinya campur aduk antara lega dan bingung. Ia mengangguk pelan, meski masih terasa sesak karena kejadian barusan.
TO BE CONTINUED