Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Apa yang Amira takutkan akhirnya terjadi. Ia telah kehilangan Satria—bukan karena raganya, melainkan hatinya. Kepulangan Satria untuknya bukan lagi membawa harapan, melainkan kenyataan yang tak sanggup ia terima.
Amira menunduk, menahan perih yang mengoyak dada. Ia tahu, cinta yang pernah mereka perjuangkan kini hanya tinggal kenangan—dan kepulangan Satria, justru menjadi tanda bahwa segalanya telah benar-benar berakhir.
Pernikahannya dengan Angga bukanlah kisah cinta yang ia impikan. Semua terjadi begitu cepat, tanpa sempat ia pahami arah dan maknanya. Bukan karena cinta, melainkan karena keadaan—situasi yang memaksa mereka bersama dan amanat sang ayah yang kini sudah tiada.
Amira belajar untuk menerima, meski hatinya selalu menolak. Hari demi hari ia lalui bersama Angga dalam diam, tanpa pelukan, tanpa kehangatan. Ia hanya menjadi istri di atas kertas, sementara jiwanya masih terikat pada nama yang lain—Satria. Sayangnya, Satria menduga bahwa Amira telah benar-benar melupakannya. Bukan hanya perasaan, tetapi juga perjuangannya.
Kini, bukan kebahagiaan yang ia tunggu. Nama yang sering ia sebut itu pun terasa asing. Kepulangan Satria justru membawa luka baru. Luka bahwa ia telah kehilangan segalanya.
Ia menyandarkan kepala di dinding, membiarkan keheningan menyelimuti seluruh ruang. Suara detik jam terdengar pelan namun menusuk, mengingatkannya pada setiap detik yang telah ia lewati dengan penyesalan.
Bayangan Satria terus datang, berulang-ulang, bagai film lama yang tak henti diputar. Tatapan matanya, suaranya yang serak, permintaan maafnya, bahkan kini satu kalimat yang menyakitkan diterimanya hari ini—semuanya mengendap dalam hati Amira, membuat dadanya sesak saat mengingat sosok itu telah berubah.
Amira masih di balkon kamarnya. Sudah entah berapa lama ia berdiri di sana—membiarkan malam menelannya perlahan. Angin terus berembus lembut, memainkan helaian rambutnya yang terurai. Ia menatap ke langit kemudian, mencari sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa. Mungkin harapan, mungkin jawaban. Tapi yang ia temukan hanya bintang-bintang redup yang seolah ikut menyaksikan kesepiannya.
Tak lama, matanya beralih pada dua cahaya lurus yang menembus dari bawah — lampu mobil yang baru saja memasuki halaman rumah. Cahaya itu menyapu tembok, pepohonan, hingga akhirnya berhenti di depan teras.
Amira menatap ke bawah, setelah tahu itu adalah mobil Angga, Amira akhirnya melangkah cepat meninggalkan balkon. Jantungnya berdentum keras, entah karena gugup, takut, atau karena rasa bersalah yang menumpuk tanpa bentuk. Ia menuruni anak tangga dengan hati-hati, mengenakan cardigan tipis untuk menutupi bahunya yang bergetar oleh udara malam.
Begitu sampai di ruang tamu, suara ketukan pintu memanggil. Amira membuka pintu perlahan. Suara engsel yang berdecit halus memecah kesunyian malam.
Di ambang pintu, berdiri Angga. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya sedikit berantakan, dan dasinya sudah terlepas separuh. Tak hanya itu, matanya merah, kelopaknya juga berat, dan dari tubuhnya tercium samar aroma alkohol yang bercampur dengan bau hujan.
"Ma-Mas," Panggil Amira pelan dan ragu. "Ka-kamu mabuk?"
Angga mengangkat pandangannya, menatap Amira dengan senyum yang miring, tipis, tapi penuh kelelahan. "Minggir!" Nada bicaranya tegas, tapi goyah, seperti seseorang yang sedang berusaha menguasai diri di tengah kekacauan batin.
Angga mulai melangkah masuk dengan langkah sempoyongan.
"Mas Angga, bagaimana bisa kamu menyetir dalam keadaan mabuk?" Lanjut Amira sambil mengikuti langkah Angga disamping. "I-itu bahaya, Mas."
Angga tak memperdulikan kalimat Amira. Ia hanya terus berjalan, langkahnya semakin berat dan goyah saat ia mulai menaiki anak tangga menuju lantai atas.
“Mas … pelan-pelan. Aku pegang,” Ucap Amira lembut, berusaha menuntun. Ia meraih lengan Angga, menggenggamnya dengan hati-hati agar suaminya tak kehilangan keseimbangan di anak tangga yang cukup memuncak.
Sesekali, langkah Angga terhenti sejenak. Kepalanya sedikit menunduk, napasnya berat, aroma alkohol masih begitu jelas terasa. Ia menatap ke depan tanpa fokus, seolah pikirannya melayang entah ke mana.
Amira menelan ludah, tetap menuntun dengan sabar. “Sedikit lagi, Mas… pelan saja,” Ujarnya pelan, suaranya bergetar tapi penuh kehati-hatian.
Begitu mencapai puncak tangga, Angga menarik lengannya perlahan dari genggaman Amira. “Aku bisa sendiri,” Katanya lirih, tapi nada suaranya dingin dan tegas.
Amira terdiam. Jemarinya yang semula masih menggantung di udara perlahan ia turunkan. Tak lama, pintu kamar di ujung lorong terbuka. Dari sana, Satria muncul — wajahnya sedikit terkejut melihat pemandangan di depannya. Tatapannya bergantian tertuju pada Amira dan Angga, membaca suasana hening yang terasa tegang di antara keduanya.
Mas Satria. Batin Amira. Dadanya terasa sesak seketika. Ada getaran halus di ujung jarinya, antara rindu yang tiba-tiba menyeruak dan rasa canggung yang tak bisa ia jelaskan.
"Eh, lo udah pulang ternyata." Sapa Angga dengan nada datar, tapi ada sentuhan sinis yang samar di ujung suaranya.
Satria mengangkat sedikit alisnya, menatap kakaknya tanpa banyak ekspresi. “Baru aja, Kak,” Jawabnya tenang, mencoba menjaga nada suaranya tetap netral.
"Gimana studi lo? Lancar? Lo bilang udah balik mau langsung nikah?" Cecar Angga. Nadanya terdengar seperti menahan sesuatu—antara ejekan dan rasa tidak percaya.
Satria terdiam sejenak. Ia bisa merasakan tatapan tajam kakaknya menembus sampai ke dada. “Lancar, Kak,” Jawabnya pelan namun tegas. “Dan soal itu … iya, aku memang ada rencana ke sana.”
Kata-kata itu meluncur tenang, tapi sorot matanya justru berkata lain. Ia menatap lurus ke arah Amira — dalam, penuh arti, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan di depan Angga.
Amira sontak menegang. Tatapan itu seperti menyentuh sisi hatinya yang paling rapuh. Ia buru-buru menunduk, pura-pura merapikan ujung selendang di bahunya, padahal dadanya berdebar hebat bercampur rasa sesak dan pedih yang berusaha ia telan.
"Gue, dong!" Seru Angga sambil merangkul bahu Amira.
Sontak, hal itu menjadi titik ketegangan di antara mereka bertiga. Udara di ruangan seakan membeku. Amira terdiam, wajahnya menegang. Tangan Angga yang mencengkeram bahunya terasa kasar, membuat napasnya sedikit tertahan.
"Ma-Mas," Lirih Amira melirik Angga. Sedetik kemudian, menatap lurus ke arah kekasihnya.
Satria tampak diam, tapi sorot matanya menyala tajam seperti bara yang menahan ledakan. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di sisi tubuh. Bayangan lampu di wajahnya menegaskan gurat amarah yang berusaha ia kendalikan—campuran amarah, cemburu, dan rasa kecewa.
"Gimana istri gue menurut lo?" Lanjut Angga. "Cantik, gak?!"
Satria terdiam. Matanya menatap lurus ke arah Amira—bukan karena pesona yang dimaksud Angga, tapi karena rasa sakit yang tiba-tiba menyusup begitu dalam. Napasnya berat, dadanya naik-turun menahan emosi yang hampir pecah.
"Gue yakin... gue yakin. Anak pungut kayak lo pasti bakal lebih sukses dari gue!" Ungkap Angga dengan senyum menyeringai. "Cewek lo pasti lebih cantik tapi, kan?"
Amira menatap keduanya bergantian, suaranya tercekat di tenggorokan. “Mas, cukup…” Bisiknya lirih, tapi tak seorang pun tampak mendengarnya.
Satria terdiam. Ia tidak membalas, tidak juga menegur. Entah karena menahan diri, atau karena terlalu lelah untuk beradu dengan orang seperti Angga.
Sedangkan, Amira menelan ludah, hatinya semakin terasa perih—bukan hanya karena kata-kata Angga yang merendahkannya, tapi karena Satria diam saja. Ia menunggu … berharap setidaknya satu kalimat pembelaan keluar dari pria itu. Tapi yang datang hanyalah keheningan.
Ya.
Tanpa sepatah kata pun, Satria bergerak. Langkahnya berat, tapi tegas. Setiap hentakan sepatunya di lantai terdengar menggema, melewati mereka, menyisakan keheningan yang menekan dada Amira—meninggalkan aroma parfum yang kini terasa menyakitkan.
Angga tersenyum tipis sebelum akhirnya berbalik, melangkah masuk ke dalam kamar tanpa bicara lagi. Sementara itu, Amira masih bergeming di tempat. Tatapannya tertuju pada arah kepergian Satria, menelusuri punggung lelaki itu hingga benar-benar menghilang dari undakan anak tangga ke lantai bawah.
Ada perasaan sesak yang menumpuk di dadanya—campuran antara sedih, kecewa, dan marah pada dirinya sendiri. Ia tahu, seharusnya ia menahan Angga, atau mungkin memanggil Satria … tapi tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Udara terasa berat. Hening yang tersisa menggantung di antara detak jantungnya yang tidak beraturan.
"AMIRAAAA!" Seru Angga dari dalam kamar.
Amira yang membisu sontak tersentak ketika suara bentakan Angga menggema. Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah cepat menuju kamar, menunduk dalam, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk.
Begitu berada di dalam, Amira menutup pintu rapat-rapat. Bunyi klik dari kait pintu terdengar tegas. Ia menelan ludah pelan. Matanya langsung tertuju pada sosok Angga yang terbaring lemas di atas ranjang. Kemejanya kusut, sebagian kancing terbuka, dan aroma alkohol menyengat keluar dari tubuhnya.
Tanpa pikir panjang, Amira gegas menghampiri. Langkahnya pelan tapi penuh kewaspadaan, seolah takut membuat suara sekecil apa pun yang bisa membangunkan pria itu.
“Mas…” Panggilnya lirih, hampir tanpa suara. Ia berdiri di sisi ranjang, memperhatikan wajah Angga yang pucat dan lelah. Napasnya berat, sesekali diselingi gumaman tak jelas—mungkin sisa kata dari amarah dan mabuknya malam ini. “Mas… tidak seharusnya kamu bicara seperti itu pada Mas…” Suaranya terputus sesaat. Tenggorokannya tercekat, seolah kata-kata yang ingin ia ucapkan menolak keluar. Napasnya bergetar, dan matanya mulai memanas.
“Ma–Mas Satria…” Ucap Amira akhirnya, dengan suara nyaris berbisik. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan, menelusuri pipinya perlahan.
Ia menunduk, menatap lantai yang kini kabur oleh genangan air mata. Bayangan wajah Satria masih terlintas jelas di benaknya — tatapan itu, dingin tapi sarat luka. Tatapan yang dulu selalu menenangkannya, kini justru menorehkan perih yang lebih dalam.
Amira mengusap air matanya dengan cepat, tapi semakin ia mencoba menahan, semakin deras air itu jatuh. “Kenapa semuanya harus seperti ini …” Gumamnya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, hanya bergema pelan di antara napas berat bercampur aroma alkohol yang masih memenuhi isi kamar.
Ia memandangi Angga yang tertidur lemas di hadapannya. Wajah suaminya itu tampak tenang, seolah tak ada beban, sementara hatinya sendiri porak-poranda oleh perasaan bersalah dan kehilangan yang bertabrakan di dalam dada. "Mas Satria," Ulangnya penuh permohonan.
****