Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema
Malam itu, di dalam kamar yang pengap, Rayhan masih berkutat dengan beberapa buku. Berkali-kali ia membenarkan kacamata yang melorot. Sesaat pintu terbuka tanpa izinnya, ia melempar kacamatanya ke meja, sudah menebak siapa yang selalu masuk kamar seenaknya: si kembar.
Elsa, melemparkan tubuhnya di atas kasur Rayhan. Lalu Elma duduk di atas meja, meraih kacamata yang tergeletak, dan memakai seenaknya.
Sedangkan pemiliknya masih terdiam, tak ada niatan untuk meladeni tingkah keduanya. Matanya fokus pada lembaran di depan saja.
“Belajar?” tanya Elma.
“Mancing.”
“Dih, ngawur.”
“Lah lo punya mata kan? Gue lagi duduk tenang, baca buku, di meja belajar. Tentu aja gue belajar.”
“Apaan sih? Sensi amat lo kayak cewek PMS. Kita kan cuman basa-basi.” Sahut Elsa, masih berbaring di atas kasur.
“Kurang kerjaan. Sana pergi-pergi!” usir Rayhan kesal.
Keduanya cekikikan, saling lempar komentar. Buat Rayhan, mereka hanya polusi suara. Bising.
Elma memperhatikan raut muka Rayhan yang mulai muak.
“Gue rasa-rasa, lo makin aneh akhir-akhir ini. Lo ada masalah? Kalau ada, lo bisa cerita ke kita. Jangan ngurung diri di kamar terus.” katanya tiba-tiba serius.
“Tumben lo peduli.”
Elma mengangkat kedua bahunya, bibirnya nyengir perlahan. “Iya ... biar dikira jadi kakak yang perhatian aja. Bener gak, Sa?”
Elsa mengangkat kedua jempolnya sebagai jawaban. Kemudian saudara kembar itu tertawa renyah, menghiraukan ekspresi jijik adik laki-lakinya.
Rayhan meletupkan napas kesal, memang niatan kedua kakaknya hanya untuk mengusilinya. Lihat saja kelakuan mereka—yang satu berguling-guling di atas kasur dan satunya lagi mengacak-acak buku yang rapi.
“Lo gak ngamen lagi buat Vania? Ini gitar nyampe berdebu gini,” kata Elsa meraih gitar yang tersimpan di ujung kasurnya.
Elma ikut menyahuti. “Lo juga hari ini gak ke rumah sakit. Nanti dicariin Ali, loh.”
Rayhan memundurkan kursinya, menatap kedua kakaknya bergantian, tangannya melipat di depan dada. Perkataan mereka hanya memperumit pikiran dan hatinya yang ruwet.
“Kalian kalau ke sini cuman buat gue tambah pusing, mending kalian keluar.” Ia menunjuk pintu keluar, berharap Elsa dan Elma mau beranjak dari posisi mereka.
Dan benar saja, keduanya berdiri. Alih-alih menuju pintu, mereka justru mendekat ke arah Rayhan. Elsa mengelus pelan kepalanya, sementara Elma menepuk bahunya. Sorot mata mereka kini teduh, persis seperti seorang kakak yang menyayangi adiknya.
Elsa membuka suara. “Kita gak tahu apa yang sedang lo lalui beberapa hari ini. Tapi, lo gak sendiri. Kita bisa dengerin keluh kesah lo, Ray.”
Elma mengangguk. “Dan lo jangan terlalu keras kepala, tak perlu menjauhi semua orang, itu bukan solusi. Intinya itu komunikasi, jangan pedam semua sendiri. Oke?”
Rayhan tercekat sepersekian detik. Ada bagian kecil di hatinya yang goyah, tapi segera ia tutup rapat. Entah angin apa yang membuat dua singa betina di hadapannya ini menjadi perhatian.
“Apaan sih? Gak cocok kalian sok serius kaya gini. Bikin merinding!” bibirnya meringis, sinis.
Refleks, keduanya menarik tangan mereka cepat-cepat. Dengan mimik wajah yang berubah karena perkataan yang keluar dari mulut mereka sendiri.
“Udah tahu kita gak bisa serius gini, lo malah jadi pendiem di rumah. Bikin kita kepikiran!” ujar Elsa menyalahkan.
Mata Rayhan mendelik malas. Memang dasarnya wanita, selalu ingin menang sendiri. Yang tadinya menguatkan, kini malah menyalahkan.
Merasa kepalanya hampir meledak mendengar ocehan yang tiada habisnya. Rayhan memilih pergi dari kamarnya, sebab begitu sulit mengeluarkan dua sosok yang datang tanpa diundang.
***
Di teras minimarket, Rayhan menyandarkan punggungnya di kursi plastik. Menatap langit malam yang hitam legam. Tak ada bintang, tak ada secercah cahaya—persis seperti hatinya yang suram. Karena cahaya itu memang sengaja ia padamkan.
Ia menghela napas panjang, melepas resah yang mencengkeram dadanya. Suara yang keluar bukan ratapan, tapi pengakuan kasar pada dirinya sendiri.
“Apakah keputusan gue salah? setiap hari terasa begitu sesak dan berat. Gue kasian sama Cassie, tapi... gue rindu Vania. Cahaya yang sempat menerangi hari-hari gue yang monoton.”
Dengan tangan gemetar, Rayhan mengeluarkan sebatang rokok di saku. Api kecil menyala, asap tipis mengepul. Baru satu hisapan, tenggorokannya perih, panas, membuatnya batuk keras.
Rayhan berdecak sebal. “Ck. Katanya ngerokok bisa ngurangin stres. Yang ada malah nambah nyiksa.” Umpatnya lirih.
Niat hati ingin mencoba pelarian baru, jelas rokok bukan jalan untuknya. Musik pernah menjadi tempatnya bersembunyi. Namun ia tahu, jika jemarinya menyentuh senar gitar, bayangan wajah Vania akan datang, lebih nyata dari yang sanggup ia tanggung.
Asap rokok masih mengudara, Rayhan menunduk, matanya merah. Akhirnya air mata itu luruh tanpa bisa ia tahan. Bersama kerinduan yang tak bisa ia ungkapkan.
“Sial ... semua terasa salah. Gue Cuma bisa pura-pura kuat,” rokok di jemarinya bergetar.
“Gue kehilangan diri gue sendiri, Van. Dan yang paling nyakitin, gue mungkin bakal kehilangan lo selamanya.”
Wajahnya masih mengarah ke bawah, saat suara langkah perlahan mendekat.
Refleks ia mendongak.
Dan di sana—di bawah lampu jalan yang remang, Vania berdiri. Menatapnya dengan mata membelalak, terpaku pada asap rokok di jemarinya dan kilau air mata di sudut matanya.
Tatapan mereka bertemu, membeku. Hanya mata berbicara, sementara lidah tak mampu bersuara.
sholeh bgt rayhan nih wkwk