Olivia pernah memberanikan diri melakukan hal paling gila di hidupnya: menyatakan perasaan ke cowok populer di sekolah, Arkana. Hasilnya? Bukan jawaban manis, tapi penolakan halus yang membekas. Sejak hari itu, Olivia bersumpah untuk melupakan semuanya, terlebih dia harus pindah sekolah. Namun, dia pikir semua sudah selesai. Sampai akhirnya, takdir mempertemukan mereka lagi di universitas yang sama.
Arkana Abyaksa—cowok yang dulu bikin jantungnya berantakan. Bedanya, kali ini Olivia memilih berpura-pura nggak kenal, tapi keadaan justru memaksa mereka sering berinteraksi. Semakin banyak interaksi mereka, semakin kacau pula hati Olivia. Dari sana, berbagai konflik, candaan, dan rasa lama yang tak pernah benar-benar hilang mulai kembali muncul. Pertanyaannya, masih adakah ruang untuk perasaan itu? Atau semuanya memang seharusnya berakhir di masa lalu? Dan bagaimana kalau ternyata Arkana selama ini sudah tahu lebih banyak tentang Olivia daripada yang pernah dia bayangkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fayylie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 20
Malam itu kamar asrama terasa jauh lebih ramai dari biasanya. Lea, Teresa, Jevan, Devon, dan Arka duduk lesehan di lantai beralaskan karpet tipis, dikelilingi tumpukan bungkus snack, beberapa kaleng bir yang sudah setengah kosong, dan aroma mie instan yang belum lama habis dimakan. Percakapan mereka jadi sumber riuh ruangan itu.
Jevan melirik jam dinding, lalu nyeletuk sambil meneguk bir, “Eh, serius deh, Oliv kemana sih? Udah malam gini belum balik juga. Tadi katanya cuma dicek doang ke rumah sakit. Kok lama banget?”
Lea langsung menyambar, nada meledek nggak bisa ditahan. “Halah, Jev. Lo khawatir ya? Jangan-jangan lo beneran naksir Oliv?”
Jevan pura-pura kaget, terus ngakak. “Siapa bilang? Gue cuma temen baik… ya walau kalo bisa lebih dari temen ya nggak nolak juga.”
Serentak Lea, Teresa, dan Devon heboh ketawa. “Woooo, ketauan! Jevan naksir sama Oliv!” Teresa sampai menepuk-nepuk bantal saking semangatnya.
Arka yang sedari tadi diam aja, cuma ngeliatin ke arah meja dengan ekspresi datar. Tapi jelas banget kupingnya nggak bisa bohong, sedikit merah waktu Jevan ngomong ‘lebih dari temen’.
Devon yang udah mulai mabuk dikit malah bikin suasana makin absurd. “Eh, tapi beneran deh. Menurut gue, Oliv sama cowok tadi—siapa namanya? Juna, ya?—mereka serasi banget sumpah. Gaya cowoknya kalem, care, ganteng pula. Cocok lah.”
Teresa langsung nyeletuk, “Loh, bukannya lo sendiri yang bilang naksir Oliv, Von? Kok malah bilang dia cocok sama cowok lain?”
Devon cengar-cengir, ngangkat jari telunjuk kayak dosen sok serius. “Sabar, sabar, gue belum selesai ngomong. Oliv sama Juna cocok, iya. Tapi Oliv sama gue… jauh lebih cocok!”
Lea langsung melempar bantal ke arah Devon. “Astaga, capek banget gue dengerin absurditas lo tiap hari. Kenapa sih pede banget?”
Teresa ngakak sampe keluar air mata. “Von, Von… bener-bener deh lo. Hidup lo kayak drama komedi.”
“Eh, serius gue, coba aja pikirin. Gue punya sense humor, gue bisa bikin Oliv ketawa tiap hari. Cowok lain belum tentu bisa, kan?” Devon ngotot, bikin semuanya makin muak tapi nggak bisa berhenti ketawa.
Di tengah kekacauan itu, Jevan kembali menyelipkan kalimat dengan nada lebih tenang, walau tetap tajam. “Ya, tapi serius. Selama Oliv nggak pernah bilang kalo dia pacaran sama Juna atau siapa pun, berarti masih ada kesempatan buat gue deketin dia kan.”
Semua yang ada di kamar mendadak agak hening. Lea melirik ke arah Arka yang dari tadi cuma diam. “Eh, Ka. Lo sendiri gimana? Dari tadi diem aja. Menurut lo, Oliv gimana?”
Teresa malah nambahin dengan jahil, “Atau jangan-jangan… lo sendiri juga naksir Oliv?”
Belum sempat Arka buka mulut, Jevan langsung motong dengan nada yakin. “Ah nggak mungkin. Arka udah punya pacar. Masa iya naksirOliv?”
Semua mata otomatis tertuju ke Arka, nungguin reaksinya. Tapi cowok itu tetap diam beberapa detik, ekspresinya sulit banget ditebak. Dia tiba-tiba berdiri, ambil dompet dari meja. “Gue keluar bentar, mau beli minum sama cemilan tambahan.”
Baru melangkah ke pintu, Jevan setengah bercanda setengah serius nahan. “Eh, bentar Ka. Jawab dulu deh. Lo suka sama Oliv apa nggak?”
Kali ini Arka berhenti, tangannya masih di gagang pintu. Dia menoleh sedikit, tatapannya tenang tapi juga dalam, bikin suasana kamar otomatis tegang. Lalu keluar kalimat yang gak nyambung dari pertanyaan tapi bikin semua terdiam.
“Apa yang bukan milik gue, nggak akan gue ambil. Tapi apa yang jadi milik gue… nggak akan gue biarin orang lain ngambil.”
Selesai bilang itu, Arka langsung keluar kamar, ninggalin yang lain bengong sambil mikirin maksud ucapannya. Lea sampe melongo, Teresa garuk-garuk kepala, Jevan mendengus nggak jelas, sedangkan Devon masih santai nyeruput bir seakan nggak terjadi apa-apa.
“Anjir,” gumam Lea akhirnya. “Itu maksudnya apa coba? Filosofis banget.”
Teresa nyeletuk, “Maksudnya… jangan-jangan Arka emang ada rasa ke Oliv?”
Jevan diam, matanya mengeras. Sementara Devon malah cuek, “Ah udah lah, gue lapar. Mie instan lagi yuk?”
Dan kamar itu pun kembali riuh, tapi semua masih kepikiran sama kata-kata ambigu Arka barusan—terutama Jevan, yang matanya kelihatan penuh perhitungan.