Vira Sita, seorang gadis yatim piatu yang sederhana, dijodohkan dengan Vito Hartawan — pewaris kaya raya — sebagai amanat terakhir sang kakek. Tapi di balik pernikahan itu, tersimpan niat jahat: Vito hanya menginginkan warisan. Ia membenci Vira dan berpura-pura mencintainya. Saat Vira hamil, rencana keji dijalankan — pemerkosaan, pengkhianatan, hingga kematian. Tapi jiwa Vira tidak pergi selamanya. Ia bangkit dalam tubuh seorang gadis muda bernama Raisa, pewaris keluarga Molan yang kaya raya, setelah koma selama satu tahun. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Vira kini hidup kembali. Dengan wajah baru, kekuatan baru, dan keberanian yang tak tergoyahkan, ia bersumpah akan membalas dendam… satu per satu… tanpa ada yang tahu siapa dirinya sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Pagi itu, aroma kayu dan roti panggang menguar dari dapur kecil rumah baru mereka. Jendela terbuka menghadap ke halaman dengan rumput yang baru ditanam, masih basah oleh embun. Raisa memakai apron kuning cerah, sedang mengaduk adonan pancake sementara Elvano sibuk menyusun meja makan mungil mereka—dua cangkir kopi, potongan buah, dan lilin aroma vanila yang belum sempat dinyalakan.
“Kamu tahu,” kata Elvano sambil mengambil alih spatula dari tangan Raisa, “sarapan pertama di rumah sendiri harus dimasak bareng.”
Raisa tertawa. “Kita nggak akan telat kerja?”
Elvano mencium ujung hidung istrinya. “Hari ini kita izin. Studio tutup. Aku mau rayakan pagi pertama kita sebagai pemilik rumah.”
Dan pagi itu berjalan sederhana, tapi hangat. Mereka makan sambil membuka-buka katalog perabot, menulis daftar tanaman yang ingin mereka tanam di halaman, dan berbicara tentang rencana membuka kelas gratis desain untuk ibu-ibu sekitar rumah.
Menjelang siang, suara klakson bertubi-tubi terdengar dari luar pagar.
Raisa membuka pintu dengan cepat dan—“KEJUTAAAN!”—teriak keluarga Molan yang datang rombongan membawa tumpukan karung berisi beras, panci besar, rak buku bekas, hingga pot tanaman hias. Bahkan Rey datang sambil menyeret speaker bluetooth dan langsung menyalakan lagu dangdut remix.
“Kami pikir... rumah baru kalian butuh sentuhan ‘Molan style’,” kata Gavin dengan bangga sambil memeluk Raisa.
Elvano hanya bisa mengelus dada saat Jordan dan Reno mulai mengukur-ukur dinding untuk pasang gantungan punching bag.
“Mau rumah atau gym nih?” bisik Elvano ke Raisa.
“Kamu nggak bisa pilih. Udah jadi menantu keluarga Molan, paket lengkap,” jawab Raisa sambil cekikikan.
Sore itu mereka gotong royong menanam pohon mangga kecil di halaman depan. Mama Molan menaburkan air bunga dan berdoa pelan, sementara Ayah Molan menancapkan papan kayu bertuliskan “Rumah Akar”nama yang spontan mereka sepakati bersama.
Studio Akar dan Cinta yang Menular
Dua minggu kemudian, Studio Akar cabang baru resmi dibuka dengan konsep semi-rumahan. Elvano mendesain bagian depan menjadi galeri kecil, sementara Raisa membangun ruang workshop terbuka yang bisa dipakai siapa saja. Di hari pembukaan, seorang anak perempuan dari desa sekitar datang dengan wajah malu-malu, memperlihatkan gambar-gambar gaun yang ia gambar di belakang kertas bungkus nasi.
Raisa terharu. “Namamu siapa?”
“Dewi, Kak. Aku suka gambar-gambar baju... tapi nggak tahu harus gimana.”
Elvano tersenyum dan menunjuk sudut studio. “Itu meja kosong. Mau kamu pakai?”
Sejak hari itu, anak-anak dan ibu-ibu mulai berdatangan. Ada yang belajar menjahit, menggambar, bahkan membuat aksesoris sederhana. Studio Akar jadi bukan sekadar tempat kerja, tapi rumah kedua.
Malam hari, setelah semua kehebohan selesai dan rumah kembali tenang, datang lagi satu konflik... sepele, tapi bikin ngakak.
“Kenapa kamu tidur pakai kaos promosi Studio Akar?” tanya Raisa sambil melotot geli.
Elvano nyengir. “Kan nyaman. Kaus kita sendiri.”
“Tapi itu ada fotoku lagi pegang gunting gede! Gimana romantisnya coba?” keluh Raisa
“Ya romantis versi ‘industri kreatif’,” sahut Elvano santai.
Akhirnya Raisa menyelipkan satu baju tidur satin warna ungu ke dalam lemari Elvano, lengkap dengan tulisan bordir “Suami Idaman Raisa Molan-Mahesa.”
Sejak saat itu, setiap mereka bertengkar lucu, Raisa tinggal mengeluarkan baju tidur itu dan Elvano langsung kalah.
Beberapa minggu kemudian, malam datang tenang. Raisa dan Elvano duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga yang mereka tanam bersama. Lampu taman menyala redup. Angin membawa aroma tanah basah.
“Menurut kamu, kita bakal begini terus?” tanya Raisa.
“Begini gimana?” Elvano memandangnya.
“Berantem soal warna, tertawa soal baju tidur, dan mencintai satu sama lain dengan cara paling aneh tapi jujur?”
Elvano menggenggam tangannya. “Kalau itu yang kamu maksud dengan bahagia... aku mau begini selamanya.”
Mereka berciuman lembut di bawah bintang-bintang, di halaman rumah kecil yang tak sempurna tapi hangat dan penuh cinta.
...----------------...
Studio Akar cabang desa mulai dibuka. Tak semegah studio pusat di Jakarta, tapi justru karena itulah tempat ini terasa hangat. Terletak di pinggiran hutan pinus, dengan dinding kayu dan jendela besar menghadap lereng hijau, tempat ini menjadi ruang tumbuh baru bagi banyak mimpi—terutama mimpi anak-anak desa yang dulu hanya bisa menggambar di pasir atau daun pisang.
Raisa mengajar kelas pertama dengan anak-anak usia sekolah dasar. Mereka duduk bersila di lantai kayu, pensil warna di tangan, wajah-wajah kecil penuh semangat. Salah satu anak perempuan bernama Meli menggambar rumah bertingkat tiga dengan atap dari daun pisang dan jendela berbentuk hati.
“Mas Elvano, lihat gambar ini!” seru Raisa, menyodorkan hasil karya Meli.
Elvano yang tengah mengecek sambungan listrik dari panel surya ke studio, menoleh dan tersenyum. “Rumah masa depan,” katanya. “Yang dibangun bukan pakai uang, tapi imajinasi.”
Hari itu, Studio Akar terasa seperti surga kecil di dunia. Bukan karena besar atau canggih, tapi karena setiap dindingnya menyimpan harapan.
---
Di depan perapian kecil rumah kayu mereka, Raisa dan Elvano duduk berdua, dibalut selimut wol yang sama. Di luar, suara serangga malam dan desir angin jadi musik pengantar.
Raisa membuka sebuah buku harian kecil—isinya bukan jadwal atau tugas, tapi kutipan dan pertanyaan yang dulu ia tulis saat masih magang di dunia desain. Salah satu halamannya bertuliskan:
"Kapan terakhir kali aku merasa damai bukan karena dunia baik-baik saja, tapi karena aku bisa menerimanya walau tidak sempurna?"
Raisa menunjukkan halaman itu pada Elvano. “Menurutmu... jawabannya apa sekarang?”
Elvano menggenggam tangannya. “Jawabannya kamu. Kita. Semua ini.”
Hening. Lalu Raisa menyandarkan kepala di dadanya. “Aku takut bahagia ini terlalu indah untuk jadi nyata.”
Elvano mengusap punggungnya pelan. “Kalau begitu, kita nikmati pelan-pelan. Seperti ngeteh. Biar hangatnya meresap.”
---
Tiga Bulan Kemudian – Kabar Baru
Suatu pagi, Raisa tampak lebih pucat dari biasanya. Elvano yang sedang membuatkan roti bakar langsung menghampiri.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Elvano khawatir
Raisa duduk di kursi rotan sambil memegangi perutnya. “Kayaknya... aku telat datang bulan deh.”
Elvano mematung. “Telat? Maksudmu…?”
Raisa mengangguk pelan, tersenyum canggung. “Aku belum tes, tapi feeling-ku kuat.”
Seketika roti di tangan Elvano jatuh ke lantai.
“Kita... kita bakal punya bayi?” tanya Elvano gugup
Raisa mengangguk lagi.
Elvano mengangkat Raisa dari kursinya dan memeluknya erat, berputar di tengah dapur. “Kamu yakin? Ya ampun, Raisa, kamu yakin?”
“Tunggu hasil tes dulu, Pak Arsitek,” kata Raisa terkekeh.
“Tapi perasaanku juga kuat,” balas Elvano. “Aku bakal jadi bapak paling heboh se-Ubud!”
bersambung
balas mereka satu per satu dengan pembalasan yang syantik.